Sepotong Senja yang Entah Untuk Apa

Photo by Pixabay

Cerpen: Wisnu Pamungkas


Ini tentu saja tentang sebuah senja, senja yang memerah, membiaskan cahaya alam dengan warna-warni yang berpedar di udara. Senja yang dihiasi mega-mega berarak, matahari sore dan kepak burung yang melintas di kejauhan, seperti sebuah mimpi yang teramat manis dikenang. Itulah senja Midesia, senja dekat gereja di sebuah hutan jati, di pinggir kota yang selalu membuatku ingin mengenangmu. Tetapi tentu saja tak persis sama, seperti senja di sebuah pantai yang pernah kuceritakan padamu dan senja yang selalu kau angan-angankan itu.


Ini adalah senja yang nyata Midesia, ada dan betul-betul pernah ada. Aku dapat melihat dan merasakan dengan jelas setiap kali melintas di sana, bukan seperti senja-senja lain yang sengaja dihadirkan hanya untuk dijadikan sebuah kisah atau angan-angan belaka. 


Meskipun senja itu tidak terlalu istimewa buat kamu (bila engkau membandingkannya dengan sepotong senja di sebuah pantai lengkap dengan warna lembayung, matahari memerah dan buih ombak yang lengket di pasir yang selalu basah). Tetapi ia tetap saja sebuah senja, senja yang juga bisa membuat setiap orang ingin merasa jatuh cinta. Karena disana ada juga sepasang kursi malas, di bawah pohon jati yang selalu menghadap ke udara.


Kamu bisa melamun sepanjang hari, membayangkan ranting-ranting merangas serta daun-daun yang berjatuhan diterpa angin sore-sore yang tentu saja nikmat Midesia (coba saja sendiri kalau nggak percaya…!). Kamu juga bisa merendam sepasang kakimu yang indah itu pada sebuah kolam yang sejuk dengan warnanya yang bening sambil menikmati segelas coca-cola dingin kegemaranmu. Atau iseng-iseng mengintip ikan-ikan mas yang berenang dengan bebas dan bahagia di sana. Entah sampai kapan mereka tidak akan merasa lelah Midesia? 

Kalau kamu ingin, kamu boleh menebarkan remah-remah roti di rerumputan hijau itu Midesia, karena merpati-merpati dan burung jalak disana sangat bersahabat (meskipun mereka sering bertengkar dengan induk-induk mayar yang bulunya berwarna gelap, saat berebut makanan). Mungkin kamu juga bisa melihat burung-burung gereja yang sedang membuat sarangnya di semak-semak di seberang Gereja, sungguh Midesia!


Dari kejauhan kamu pun masih bisa mendengarkan sisa-sisa nyanyian burung punai menembangkan lagu kemerdekaannya yang mungkin sebentar lagi tinggal dongengan. Kamu dapat sepuas-puasmu menghirup aroma tanah yang lembab dan harumnya daun-daun jati yang larah Midesia. Tetapi memang senja semacam itu akan tetap menjadi senja yang semu, senja yang hanya ada dalam angan-angan belaka karena kamu pasti takan mungkin pernah mau kuajak ke sana meski hanya sekejab saja, Midesia. Sudahlah….


***

Ketika enggkau menerima surat ini, mungkin aku sudah tiba di Lisabon, tanah leluhurku. Atau aku tidak akan pernah pulang sama sekali. Aku hanya ingat bahwa pekerjaanku di sini terlampau berat dan menyita hampir seluruh waktu hidup yang pernah kupunya. Aku terlalu sibuk membunuh musuh-musuhku, menghukum para penghianat yang telah memperjudikan harapan-harapan para pejuang, para ahli waris sah tanah ini di masa lalu.


Dari tahun ke tahun aku hanya bisa membebaskan fikiran-fikiranku, menelantarkan kerinduanku dan menggelayuti diriku sendiri dengan lamunan-lamunan kosong tentang kamu.


Aku tidak sempat pamit padamu (kurasa inilah cara yang paling baik untuk kita berpisah). Aku juga tidak sempat pamit kepada Julio, kepada Francissco, kepada mama dan papa Alfonzzo yang selalu dengan sabar dan penuh kasih merawat dan membesarkanku di Los-Palos. Hanya salam hormat dan kerinduan disertai kasihku saja yang masih bisa kukirimkan dari jauh untuk mereka. 

Untuk Bapa Josse, aku pun hanya bisa menitipkan terimakasih disetai maafku yang tak terhingga (sampai detik ini aku tidak pernah lupa mendoakannya sebagaimana beliau telah membibimbingku ke dalam kesabaran dan cinta di Lifau) karena keberangkatanku ini teramatlah rahasia. Aku pun minta maaf kepadamu bila kedatangan suratku—yang mungkin untuk terakhir-kalinya—ini ternyata hanya membuatmu merasa tidak begitu bahagia.


Aku memang harus pergi seperti sepotong senja yang telah aku ceritakan padamu dalam surat ini. Aku harus pergi—meskipun bukan itu yang aku ingini—hanya itu yang kutahu kini! Sebab bertahun-tahun sudah lamanya aku mengembara. Menuruni ngarai dan mendaki bukit-bukit sejarah tanpa peduli. Aku sudah menempuh hujan dan badai.


Aku pun sudah mengembara dari belentara ke belentara, berpindah-pindah dari gua ke gua, sebab hidup sudah tidak lagi cukup hanya mengandalkan kesabaran dan cinta. Rasanya aku tidak perlu lagi mengisahkan padamu bahwa selama perjalananku aku telah menyaksikan begitu banyak peristiwa.


Telah banyak kusaksikan bagaimana kehidupan ini berjalan dalam bayang-bayang perang dan kematian.*) Perkawinan antar pasangan, kelahiran dan penguburan, semuanya berlangsung seperti sebuah keharusan ritual yang tak lagi memiliki kesakralan apa-apa, sebagaimana layaknya sebuah upacara. 

Tentu saat aku menulis surat ini untukmu, aku tengah terluka Midesia. Sebab engkau tak lagi bisa datang padaku karena sebuah takdir yang memaksa kita untuk berpisah jauh. Aku terluka Midesia, manakala kutahu bahwa kenyataaan telah merengut habis sisa-sisa kebahagianku dan impian-impian (atau mungkin hanya impianku saja?) kita yang indah tentang sebuah musim dimana senjanya tetap memerah. Senja bersama bayang-bayang memudar dalam sebuah silhuet memanjang yang abadi, membiaskan cahaya temaran di cakrawala, menyiram punggung gunung-gunung dan menyepuh pantai yang dirambati buih-buih ombak sepanjang masa.


Aku sungguh-sunggu terluka Midesia, dan pedihnya melebihi rasa sakit bekas tutusukan sebuah bayonet. Tapi apakah itu masih ada artinya? Ketika engkau tengah membaca surat ini, aku pasti sudah beranjak meningalkamu terlalu jauh. Meninggalkan keping kebahagiaan, meninggalkan kisah manis yang pernah kita jalani bersama menjelang malam natal di Ramelau. Kau tentu masih ingat bagaimana malam itu kita telah terperangkap dan tidak bisa turun ke kota (saat itu kita dalam perjalanan dari Ambeno menuju Dili bersama Mingguel, Orlando, Evangelista, Dominggas dan Georgia orang Fatu Kiru itu).


Sambil menyanyikan Malam Kudus, kita pergi ke atas bukit menanti cahaya roket yang berpedar dan tembakan-tembakan meriam dari kapal dengan perasaan seperti menunggu sebuah pesta kembang api. Atau di saat-saat terakhir kita masih bersama di danau Lihumo. Kita diundang paman Costadio untuk merayakan paskah di Era Ulu’_dan bibi Antoneta berteriak-teriak memanggil kita supaya segera pulang, karena senja di danau sudah hampir berubah petang.


Miuda, Namora-ku terkasih dan Medisiaku yang tercinta. Aku meninggalkan segenap kesanggupanku untuk melupakanmu atau apa saja yang masih mungkin untuk kukenang sepanjang hayat. Dan lihatlah, aku sudah pergi Midesia, agar rasa kasih dan kekagumanku padamu selama ini akan tetap utuh. Aku harus pergi karena rasa sayang dan kerinduanku terhadapmu saat ini sama dahsyatnya dengan keinginanku untuk membunuh. Karena perjuanganku, aku memutuskan untuk pergi. Bukan karena aku ingin menyia-nyiakan cintamu.


Ini adalah semata-mata karena aku telah terlanjur setia pada rasa kasih dan takdir pengeharapanku akan masa depanmu. Setia kepada cita-cita dan juga untuk dan demi cinta kasih kita yang kudus. Seandainya aku tetap disini pun engkau tak akan pernah boleh tahu aku dimana. Yang pasti sebelum aku menuliskan surat ini pun kita sudah lama terpisah. Dan engkau takan mungkin bisa datang kepadaku karena dunia yang kudiami ini adalah dunia yang tak terjamah oleh perasaan cinta yang terdalam sekali pun: dunia dimana sejarah tidak pernah dimulai dan diakhiri, dunia dimana kesakitan, kesendirian dan derita menjadi abadi. Ya, dunia dimana kasih sayang manusia tidak lagi cukup hanya ditebus dengan air mata dan darah. Aku meninggalkanmu supaya dalam penderitaanku ini kau pun tidak akan pernah menyerah.


Nah Midesia, dalam rindu, sejak semula aku telah menghindari semua sebab mengapa kita sudah dipertemukan, semua kekuatan dan asalan yang kemudian memungkinkan kita untuk berjumpa dan berpisah.


Kubiarkan semuanya lewat Midesia, meninggalkan goresan demi goresan yang memahat, merobek-robek luka yang entah sudah sedalam apa (sedalam kesadaranku untuk tetap mengasihimukah?). Hari ini pun seandainya bisa kulukiskan, engkau pasti bisa merasakan betapa perihnya, betapa menyakitkannya sebuah pembelaan yang tulus terhadap kejujuran, terhadap kebenaran rasa kasih yang kudus.


Aku sudah membayar lunas seluruhnya dengan penderitaan, dengan kesabaran dan doa. Dan cintamu pun pasti sudah tak sanggup lagi untuk menyilihnya sebagai penebus. Aku tahu ini tidak adil Midesia, terutama bagi diriku sendiri. Tapi aku sudah menerimanya sebagai suatu hadiah, sebagai suatu anugerah dan bencana sekaligus. Menerima rasa sakit demi rasa sakit ini dengan sumrigah dan cinta. Bukankah orang-orang di tanah ini juga memiliki muzijat yang sama, ketabahan yang sama untuk menjalani nubuat sang nasib. Diam-diam mereka juga sebenarnya butuh air mata, tetapi apa boleh buat kalau mereka sendiri juga sudah lupa bagaimana caranya menangis.


Dan aku Midesia, aku….hanyalah salah seorang dari keluarga Sequeria yang pernah terdampar di sini karena masa lalu, karena sebuah sejarah yang telah terlanjur memahatkannya. Maka akupun tak mungkin bisa menolak untuk tidak menjadi bagian dari apa yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, yaitu orang-orang ini yang kemudian menjadikan aku merasa cukup berarti dan memiliki cinta. Aku memang tidak pernah mencatatnya Midesia karena aku sebenarnya tak memiliki cukup pengetahuan tentang tanah ini, tentang engkau, tentang peperangan, tentang hutan dan persembunyian serta masa depan yang binasa.

Tetapi aku bisa merasakannya sebagai sebuah kekuatan yang mampu membuatku berani mencintai perjuangan tanah tumpah darah ini dengan segenap pengorbanan yang tak pernah mempersoalkan nyawa.


Untuk itu, aku sudah tidak ingat lagi berapa banyak sudah aku kehilangan dan rasanya aku pun sudah tak perlu lagi mengingat apakah yang pernah aku dapat untuk bahagia.

Akhirnya Midesia! Akupun sudah tak lagi memiliki sekedar keinginan untuk menghitung apa yang sama sekali tidak pernah aku punya sebab yang masih tinggal pun—hanya penderitaan dan penderitaan senantiasa—tak pernah mampu mengingatkan aku kepada satu hal yang cukup berguna. Sesuatu yang mungkin dapat membuatku terus bertahan dalam penderitaan dan kesendirian di tanah tumpah darah ini yang teramat kucinta.


Dengarlah Midesia. Sekali-kali jangalah engkau pernah memiliki harapan lagi terhadapku. Anggap saja aku sudah mati dan aku pergi karena tidak ada lagi lain pilihan. Karena tak ada lagi kebenaran yang lebih benar dari apa yang sudah dinubuatkan dan harus dan akan kita genapi. Supaya kita tidak terlanjur banyak melakukan kesalahan dan menanggung dosa serta kemungkinan lain yang mungkin lebih buruk lagi dari apa yang sudah menimpa kita selama ini.


Aku sudah menghitung dengan cermat bahwa dengan begini engkau akan lebih bahagia, dewasa dan mengerti tentang sebuah persoalan, pengorbanan dan sakit hati. Bagiku, kamu terlalu priyai untuk saya sakiti Midesia. Kamu terlalu lux untuk saya raih dan untuk saya bahagiakan.


Pundakmu bukan dipersiapkan untuk memikul beban yang teramat berat ini Midesia. Aku terlalu mengasihi kamu untuk meninggalkanmu dengan sebuah cara, maka dengan segenap kesadaran, ketidakberdayaan dan kemiskinanku kutulis dan kukirimkan surat ini dengan pedih, kerinduan dendam dan cinta.

Pontianak, 17 April 1996



Catatan :
*) dipetik dari salah satu Cerpen Seno Gumira Adjidharma dalam antologi Saksi Mata.
Matahari: Nama sebuah gedung di Dilli
Miuda (bahasa Tetum) Namora (bahasa Portugis) artinya: Kekasihku
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url