Dari Graffiti Gang Surya ke Amerika


(Pemerintah Provinsi Kalbar Biayai Bryan ke Markas PBB untuk Menerima Penghargaan)
By Alexander Mering

“Berkat karyamu, ibu dan kepala sekolahmu pun akan melihat New York. Kakek sangat bangga padamu.”
Senyumnya mengembang. Tangannya terentang khas orang tua saat bocah itu menghambur ke ruangan. Dua manusia dari generasi yang berbeda saling berjabat tangan.
Matanya sama-sama sipit walau berasal dari puak suku yang berlainan. Tak ada yang mengikat mereka secara bilogis, tapi sebuah tempat dari masa lalu yang masih utuh hingga sekarang membuat mereka begitu dekat. Sekolah Suster Pontianak, sebuah sekolah, tak jauh dari lapangan sepak bola kebun sayok (PSP) Pontianak.
Keduanya sama-sama orang hebat, mewakili generasinya masing-masing. Pria yang menyebut dirinya kakek itu adalah Laurentius Herman Kadir, Wakil Gubernur Kalbar. Dan bocah SD berusia 7 tahun tersebut Bryan Jevoncia, juara dunia lomba desain perangko PBB bertajuk "We Can End Poverty". (Kita Dapat Mengakhiri Kemiskinan).
“Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat akan menanggung biaya perjalanan Bryan ke Amerika,” kata Pria berusia 66 tahun itu.
“Ayo bilang terima kasih,” kata Rosina, mama Bryan.
Ramai yang hadir pada pertemuan yang berlangsung hampir sejam di ruangan itu. Ada wartawan Berkat, Pontianak Post, Antara, Ruai TV, TVRI, ada Asisten III Pemprov Kalbar, Drs. Kamaruzzaman, MM, pejabat Diknas, Kepala sekolah, guru-guru SD Suster, tempat Bryan belajar.
Ada bahagia. Ada keharuan. Ada nostalgia ketika Kadir mengetahui di mana Bryan menuntut ilmu. Meski tak persis sama dengan keadaannya sekarang, sekolah itu masih di tempat yang sama SD dan SMP Suster Pontianak.
“Peserta didiknya semua wanita, saya dan kawan-kawan sering ke sana dulu,” kenangnya. Tak jarang mereka menyelinap ke tengah-tengah barisan untuk sekadar berbicara dengan gadis-gadis itu.
“Susternya galak-galak. Jika ketahuan habislah diteriak-teriaki.”
Kini yang sekolah di sana tak cuma para wanita, gurunya pun tak segalak di zaman Kadir. Bahkan Rosa de Lima, kepala sekolah didampingi beberapa guru turut tertawa bahagia di ruang kerja Kadir hari itu bersama Bryan.
Berkali-kali Kadir menyampaikan kebanggaannya bahwa ada putra Kalbar yang masih sangat belia tapi telah mengukir prestasi tingkat dunia. Tak cuma sekolah, tapi nama daerah dan negara juga menjadi harum. Karena itu katanya gubernur langsung merespons dan minta agar Bryan dibantu.
Bryan dijadwalkan menerima penghargaan dari PBB pada 17 Oktober 2007 mendatang atau bertepatan dengan peringatan dekade pertama Hari Internasional "Education for Poverty".
Waktu tiga minggu yang tersisa jelang keberangkatan diharapkan dapat dioptimalkan untuk mengurus administrasi keberangkatan. Karena budget terbatas kata Kadir, Pemrov hanya mampu memberangkatkan Bryan, Kepala Sekolah, Ibu Bryan dan seorang pendamping dari Pemprov Kalbar.
Rosina dan Rosa de Lima berterima kasih sekali karena Pemprov sudi membantu biaya perjalanan mereka ke negeri Paman Sam mendampingi Bryan. Sebab sejak Rosina menerima telepon pemberitahuan dari staf Kedutaan Besar RI di New York awal Agustus lalu, ia belum mendapat kepastian dana dari Deplu.
Siang itu Bryan duduk manis di dekat Kadir. Terkadang mereka bercakap-cakap. Kadir selalu memanggilnya cucu. Wartawan sibuk menjepretkan kamera dan mencatat wejangan sang wakil gubernur. Putra Sungai Utik Kapuas Hulu yang sukses meniti karirnya dari bawah sekali ini mengatakan sekolah hendaknya bisa mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap pakai agar selesai sekolah tidak berbondong-bondong melamar menjadi pegawai negeri.
Prestasi bidang pendidikan selama ini telah membuat pemerintah pusat memberikan penghargaan untuk Kalbar. “Penghargaan itu untuk Kalbar, meski yang menerimanya gubernur,” tegas Kadir. Prestasi yang ditunjukkan Bryan juga bukti bahwa Kalbar tidak kalah dari daerah lainnya di Indonesia, bahkan dunia.
Gambar Bryan mengangkat kisah ibunya yang menjadi penjahit. Digambarkan seorang ibu yang tengah menjahit dibantu sejumlah anaknya.
Iseng-iseng saya bertanya pada mama Bryan, apa yang ia rasakan saat mengandung Bryan. Sang ibu lama tercenung, ia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Setelah itu ia berkata pada saya sambil tersenyum, “Rasanya tak ada, saya hanya mengidamkan durian saja.”
Saat Kadir menutup pertemuan. Bryan berpaling ke arah saya di belakang kursi. Saya mengedipkan mata. Ia mengacungkan telunjuk, ibu jari dan kelingking. Itu kode darinya, mengajak saya bermain dim-dam atau suit-suitan lagi. Saya berbisik, “Besok ya kita main lagi.” Memang sejak pemberitaan Bryan terekspose di Borneo Tribune saya menjadi dekat dengan si anak fenomenal ini.
Di penghujung perjumpaan, sang kakek meminta sang cucu menggambar sekali lagi. Menggambar sebuah cerita, gambar hitam putih kehidupan penjahit yang turut berjuang memberantas kemiskinan di sekitar kita. (publish in Borneo Tribune 27 September 2007, hal 1)


Next Post Previous Post