Membaca Wajah Kita dari Negeri Tetangga

by A.Alexander Mering

Menulis tentang negeri sendiri dari tempat ini terasa menyedihkan. Tempat di mana kita menggaruk kepingan sejarah tanah kelahiran.
Jika bukan nasib, niscaya saya pun takkan pernah tiba di sini. Sebuah Bandar yang ramai tapi bersih. Tempat dimana warganya tidak pernah tampak tergesa-gesa walau bertampang pekerja keras. Mereka menyebutnya Bandaraya Kuching. Kota dimana sejarah bukan dianggap sekedar sampah.Karena itu kota ini tak pernah sepi dari turis asing dari seluruh dunia.
Selama duduk di kedai kopi jarang sekali terlihat kelebat wanita cantik, apalagi dari kalangan pribumi. Kalau ada pun pasti tubuhnya terbalut baju kurung dan tudong (jilbab).
Ini hari ke kedua kami berada di Kuching untuk urusan bisnis. Saya, Fakun dan Julianty, Accounting Borneo Tribune pagi itu nongkrong di Choon Choon Cafe. Saya memesan Laksa Sarawak. Tahun 2007, salah satu koran Nasional Malaysia, The New Street Times pernah menobatkan laksa di Café ini paling enak di Sarawak.Mata kami tertuju ke jalan. Orang-orang dengan wajah dingin bercampur turis lalu-lalang.
“Selain Siti Nurhaliza, sejak kemarin saya belum pernah melihat wanita cantik di Malaysia,” kata Fakun tiba-tiba. Fakun adalah art design senior dan juga Kepala Percetakan di PT Borneo Tribune Press. Putra Sambas ini pernah berguru pada Georgia Scott, Director Art Design New York Time untuk memperdalam ilmunya. Tahun 2004 dia keliling Eropa dan tentu kenyang melihat beragam wanita cantik. Siti Nurhaliza yang dimaksud Fakun adalah salah satu artis Malaysia terpopuler di Indonesia.
”Kalah lawar lawan cewek Pontianak,” sambung Fakun.
Saya jadi tergoda mengomentari. Lawar dalam bahasa Pontianak artinya keren.
“Apalagi jika dibandingkan cewek Bandung ya Bang?”
Julianty yang akrab dipanggil Yanti saja cuma mendelik sambil menyeruput minuman, china tee. Dia satu-satunya wanita di meja kami.
Seorang pelayan wanita separuh baya datang ke meja. ”Hari ini Laksa Sarawak off lagi, esok okelah pasti ada” .Saya kecewa sekali. Dalam dua hari, ini cafe keempat yang disinggahi dan selalu bilang hari ini sedang libur berjualan Laksa Sarawak.
Karena jengkel, saya mengirim SMS pada Radin Azhar Ahmad. ”U thu, Memang org Swk tak senang bagi I mkn Laksa la. Layanan org Msya tak oke”.
Radin adalah wartawan Sastra dan pendidikan di koran Utusan Sarawak, dia warga Malaysia dan teman akrab saya sejak lama. Radin tak membalas SMS. Malamnya dia menjemput kami ke Hotel tempat menginap. Di mobil dia menyabar-nyabarkan saya dan mengajak berburu laksa ke Satok. Dasar bukan rezeki, warung kaki lima penjual laksa—tak jauh dari jembatan penyeberangan Wisma Satok—malam itu pun tak berjualan makanan menyerupai bihun itu.
Saya memang suka laksa. Tak peduli milik sarawak, Brunei, Semenanjung, Singkawang atau Pontianak. Lebih dari itu, saya ingin dua rekan sekerja saya ini mencicipi makanan kegemaran saya.
”Puuss oleng.....pusssoleng...,” kata saya sambil menyentukan ujung jari ke mulut dan kening berulang-ulang, menirukan kebiasan atau petuah nenek moyang agar tidak kemponan. Jaman dulu orang Dayak maupun Melayu Kapuas Hulu percaya, jika gagal makan sesuatu, padahal sudah disebutkan maka akan celaka. Bukan karena percaya pada pitua itu, tapi karena ingin menunjukkan bahwa saya sedang jengkel.
Apa boleh buat, Saya dan Radin memesan nasi-ayam, Fakun dan Julianty memesan mie Kolok, atau mie sapi.
***
Kuching bukan Kuala Lumpur atau Jakarta yang sumpek dan Padat. Siang hari, jarang sekali terdengar klakson mobil atau bising knalpot sepeda motor seperti di Pontianak.
Karena sejarahnya kota ini ramai dikunjungi turis asing dari berbagai belahan negeri. Sebaliknya di Kalimantan Barat, dengan alasan pembangunan, satu-persatu peninggalan bersejarah rontok atau dirobohkan. Yang belum musnah pun tak pernah ditulis, apalagi diurus. Sangat sukar kita menemukan bangunan tua bersejarah di Kalimantan Barat. Kecuali sisa keraton bekas kerajaan di beberapa kabupaten, dan puing-puing.Contoh ironis adalah bekas kantor Republik Lanfang di Mandor kini sudah hancur. Tugu peringatan yang dibangun Belanda sebagai peringatan atas keberhasilan mereka memerangi sisa-sisa orang di republik Monterado abad 18 lalu sudah tumbang, tersia-siakan. Padahal tugu itu tak jauh di belakang Kantor Camat. Waktu saya memotretnya tahun 2007 lalu, tugu batu itu sudah condong dan nyaris melesak ke dalam kolam bekas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Belum ada guru sejarah di Kalimantan Barat yang mengajarkan fakta bahwa pernah ada dua republik di West Borneo ini. Beberapa penulis asing mengidentifikasi kedua negara ini sebagai republik awal di dunia. Karena Republik Amerika sendiri baru berdiri pada 1776. Republik pertama didirikan di Monterado tahun 1770. Republik Lan Fang tahun 1777 di Tung Ba Lit (sekarang Kecamatan Mandor). Republik Rakyat Cina saja baru menajdi republik 1911. Artinya di Kalimantan Barat jauh lebih dulu. Tapi tentulah tidak sesempurna pemerintahan republik yang anda kenal saat ini seperti Republik Indonesia.
Diidentifikasi republkik karena sistem yang diterapkan para pemimpinnya kala itu. Misalnya Lo Fang Pak, yang memimpin Republik Lanfang dipilih langsung perwakilan kongsi dagang, ada eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Saya menemukan jejak demokrasi awal di Kalimantan Barat justru dari Kuching Chinese Muzium, di komplek Water Front City yang terletak di pinggiran Sungai Sarawak tahun 2004 lalu. Tapi baru dalam kunjungan yang kesekian kalinya, 28 Desember 2006 saya baru benar-benar menyadarinya sebagai kepingan dari puzzle sejarah Kalimantan Barat ketika berada di puncak kejayaannya sebagai negeri emas.
Jaman Charles Brooke berkuasa bumi kenyalang ini, museum tersebut adalah sebuah bangunan makamah (pengadilan) bagi warga Cina di Sarawak. Tapi setelah M’Sia merdeka, bangunan itu dijadikan museum tempat menyimpan beberapa catatan dan situs peninggalan warga Tionghoa di Sarawak. Di antaranya adalah beberapa peralatan pertambangan emas dan cacatan sejarah warga Tionghoa asal Kalimantan Barat yang kabur ke Sarawak pada pertengahan abad 17. Mereka adalah para penambang emas di Monterado dan Mandor yang ketika itu merupakan dua negara paling kaya di pulau Borneo. Bahkan Singapura ketika itu tak lebih dari sebuah kampung nelayan yang isebut Tomasek. Belakangan barulah saya mencari-cari summary from the book Hakka people - Jews of the Orient by Kao Chung Xi. Lalu Buku Lo Fang Pak karya Zhang Yong He yang tebalnya 305 halaman, Orang Cina Khek dari Singkawang karya Harry Purwanto dan sejumlah buku lain yang terkait dengan keberadaan orang Tionghoa di Kalbar. Ah, ternyata begitu banyak yang saya tidak tahu tentang tanah tempat saya berpijak selama ini.
”Ada yang saya tahu, kalian tidak tahu. Ada yang kalian tahu, saya tak tahu. Karena itulah hidup menjadi begitu penting dan juga indah untuk dituliskan,” gumam saya kala itu.
***
Meski hati kerap jengkel mendengar perselisihan Indonesia-Malaysia, karena pekerjaan saya tak bisa menolak untuk selalu datang ke negeri bekas jajahan Inggris tersebut. Jengkel karena banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dianiaya tanpa perikemanusiaan di sana, jengkel mendengar teman-teman sering diperlakukan tidak adil. Jengkel ketika di tv ricuh tentang rebutan Lagu Rasa Sayange, reok, hingga pulau yang dicaplok.
Tapi Kalimantan Barat beda dari pulau Jawa, apalagi Jakarta. Jakarta boleh disandingkan kemajuannya dengan Kaula Lumpur, ibu kota negara Malaysia. Sementara Kalbar yang bertemu moncong dengan Sarawak Malaysia, negara bagian Malaysia Timur, perbedaannya ibaratkan langit dan Bumi. Sarawak dengan jumlah penduduk sekitar 2,3 juta orang diurus dengan baik oleh pemerintahnya, sedangkan Kalbar yang luasnya 146.807 kilometer persegi dengan penduduk hampir 4 juta jiwa nyaris tak terurus.
”Dari Pontianak Entikong, mane bisa tido’ ”
”Ngapa pula bang?”
”Nanti lah kau rasa....”
”Disini sesak rasanya dada, tapi begitu tiba di Tebedu langsung lega”.
Aku tersenyum. Fakun dan Yanti membahas jalan provinsi yang juga jalur internasional Pontianak-perbatasan Entikong dengan Sarawak yang sempit dan dihiasi banyak lubang. Sementara saat masuk negara tengangga langsung disambut jalan yang lebar dan mulus. Perbatasan Entiong yang seyogyanya menjadi pintu gerbang dan etalase tak lebih baik dari dapur Jakarta. Tak usah cerita bagaimana pembangunan di Kota Kuching di Banding Pontianak.
Dalam perhelatan saya dan teman-teman kali ini, 2 Mall Besar di Kuching baru diresmikan, yaitu The Spring dan Boulevard, sementara Mall Gajah Mada di Pontianak malah tutup. The Spring terletak dalam kawasan Bandaraya Kuching, sementara Boulevard di Batu Tiga, tak jauh dari terminal antar negara. Yanti langsung sibuk berbelanja. Tak cukup hari itu, keesokannya ditemani Azzis sekeluarga dia memborong lagi. Azzis adalah wartawan Utusan Borneo, teman saya sejak tahun 2004.
”Jika na beli belah kat sini, harus bawa wang satu goni,” komentarnya.
Azziz benar. Harganya barang-barang sangat mahal. Apalagi jika di-kurs-kan dalam rupiah yang ketika itu RM 1 sama dengan Rp 2.850. Saya cuma gigit jari karena uang di kantong sisa RM 15.

Kuching tahun ini relatif sepi. Walau ada turis bercampur muka-muka orang pribumi dan TKI, tetapi tak seramai tahun-tahun sebelumnya. Tapi mungkin itu hanya yang kelihatan selama 3 hari kami di sana.
”Tapi sejak setahun terakhir pun, Kilang-kilang telah berpindah ke Bitulu dan Miri,” kata Abdul Hakim Bujang, pagi itu. Hakim adalah salah satu direktur Percetakan Intan di Kuching. Dia dulu wartawan Sarawak Tribune. Pernah juga bekerja di Bernama, The New Street Times dan hingga kini masih menulis untuk Malaysia Kini. Hakim dan George, bosnya mengundang kami minum di Kuching Park sebelum membicarakan bisnis.
Yang dimaksud Kilang oleh Hakim adalah pabrik-pabrik dan industri di Kuching telah banyak di pindahkan ke Miri dan Bintulu. Kini Kuching benar-benar menjadi kota jasa dan perdagangan. Pantas saja tak banyak TKI yang kerap mejeng di kawasan waterfront city.
Ada seloroh orang Sarawak untuk emnggambarkan ramainya TKI di Miri dan Bintulu sekarang ini. Akim menceritakannya pada kami.
”Kalau You baling batu di sana, dua kali kena kepala orang Malaysia, 10 kali kena kepala TKI,” katanya.
”Wah jika jual goreng pisang khas Pontianak disana pasti laku sekali,” kata saya.
”Di bintulu itu semacam ada Indonesia Corner, tiap hujung pekan ramai orang Indonesia berkumpul kat sana,” sambung Hakim.
Untuk membuktikan perkataan itu, saya, Fakun dan Yanti berjalan-jalan sepanjang Waterfront. Bak orang kalap Yanti memborong barang-barang. Tak cukup menelusuri Waterfront, ia pun turun naik Sarawak Plaza dan River Side sampai toko-toko kecil di sepanjang jalan. Kaki saya sudah seperti batu karena penat.Walau penat tapi Fakun dan Yanti senang sekali karena malam itu Radin menjemput kami lagi untuk bekeliling-keliling kota. Sekitar pukul 12.00 waktu setempat kami meninjau percetakan Sarawak Press Sdn. Bhd di Jalan Abel, persis di depan kantor Redaksi Utusan Sarawak. Fakun dan Yanti langsung akrab dengan karyawan percetakan di sana. Seperti tamu resmi kenegaraan, mereka diantar mengamati mesin Heidelberg yang sedang bekerja sambil ngobrol sana-sini. Entah apa yang mereka perbincangkan. Bising suara mesin membuat telinga terasa pekak. Menurut salah seorang pegawai, hanya tiga koran saja yang dicetak malam itu. Koran Utusan Sarawak, Estern Times dan koran Mandarin yang saya lupa namanya. Di luar masih ada 2 kontainer kertas diparkirkan di depan percetakan. Embun sudah mulai turun ketika kami kembali ke hotel.(publish in Borneo Tribune, 27 Januari 2008)
Next Post Previous Post