Ancaman Empat Huruf di Limabelas Huruf

by A. Alexander Mering

“Brur,….masih doyan keluyuran ke tempat begituan?"
Yang diajak ngomong mesem-mesem. Dia baru saja keliling Melawai. Rambut kribonya tak bergerak sama sekali ditiup angin kota metropolitan.
“Wah, Brur…, ini bukan soal moral atau takut dosa. Tapi ini Jakarta, bung! Kota ini urutan ke empat penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.”
“Aii…mama, Papua nomor satu…”
Alamak, orang ini, malah bangga tanah airnya di peringkat pertama penyebaran penyakit mematikan tersebut.
Itu kisah lama, pertemuan dengan seorang teman di apartemen Permata Senayan tahun 2006 lalu. Dia menginap di sana beberapa hari untuk ikut sebuah kegiatan di Jakarta.
Lalu bagaimana dengan nasib Kalbar? Juli 2007 lalu, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat mengeluarkan data kasus HIV/AIDS per September 2006 sebanyak 504 kasus, Desember tahun 2006 sebanyak 635. Artinya kasus meningkat sekitar 45 %. Kapanlagi.com menulis rata-rata peningkatan penderita penyakit ini meningkat 20 persen di Pontianak.
Kemudian akhir November kemarin, ranking Kalbar naik ke peringkat ke-5 besar sebagai daerah rawan penyebaran penyakit mematikan ini. Tapi anehnya tak banyak yang bergeming terhadap fakta ini. Padahal Januari-Oktober 2008, jumlah penderita positif HIV di Kalbar sudah 370 orang dan yang terinfeksi AIDS 151 orang. 22 orang sudah tewas duluan.
Apakah karena cara membunuhnya tidak sedramatis bencana alam? Terlalu pelan dan nyaris tanpa pertumpahan darah?
Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy, mengingatkan kita, data di atas masih jauh dari keadaan sebenarnya, karena penularannya sulit terdeteksi, yakni seperti fenomena gunung es.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah LSM dan sejumlah lembaga lain yang peduli, hanyalah untuk memperlambat kalau tidak dapat menangkalnya sama sekali. Karena penyebarannya sangat terkait dengan prilaku manusia, dengan berbagai dalih.
Kaum mudah paling banyak ditunding menjadi media penyebarannya, konon karena generasi kini makin gampang melakukan seks pra nikah hingga seks bebas selain menggunakan obat terlarang yang menggunakan jarum suntik. Letak geografis Kalbar yang berbatasan dengan negara tetangga juga turut ditunding jadi biang kerok.
Padahal jika ditelaah dengan berbagai kacamata, implikasinya sangat besar, menyelusup ke segala aspek kehidupan. Baik moral, ekonomi, politik, etika agama hingga hukum. Spanduk, Baligho, stiker hingga iklan di media seakan-akan cuma menjadi asesoris yang malah menambah meriah dunia.
Yang kita kuatir pada suatu titik di depan, ada orang di Kalbar bertabiat sama dengan teman dari Papua di atas. Atau pulau Borneo ini kelak terpaksa dijaga dengan kondom seperti iklan yang dibintangi Edo Kondolongit yang ditayangkan di salah satu tv swasta. (publish in Borneo Tribune 4 Desember 2008)
Next Post Previous Post