Menjacalonkan diri Menjadi Manusia

Oleh: Alexander Mering

Suatu pagi, rumah kami disebu serombongan ibu-ibu dan beberapa bocah. Istri saya kaget. Saya lebih kaget lagi. Antara mengigau dan separuh sadar saya melompat dari tempat tidur mengira ada kerusuhan.  

Tanpa asalammualaikum atau basa basi lagi, salah seorang ibu di ruang tamu mulai dengan marah-marah. Suaranya mirip rombengan kaleng biskut yang diseret-seret orang gila di perempatan lampu merah. Gawat! Dia hampir mengamuk. Pakai pukul-pukul meja segala. 

“Guru macam apa itu, nilai PKn raport anak saya kok dapat 50!”


Oala, barulah otak saya nyambung. Tetangga saya itu rupanya sedang marah dan kecewa lantaran nilai raport anak perempuannya yang duduk di kelas 3 SD pada semseter ini dapat angka merah.  Devi nama bocah perempuan itu. Ibu itu juga bilang kalau anak lelakinya juga ikut-ikutan marah dan melempari adiknya  dengan HP. "Untung tak pecah," katanya. Padahal semester-semester sebelumnya, Devi selalu ranking kelas.


Tapi protesnya kok ke rumah saya? Bukan mendemo kita, dia ngajak saya ikut protes ke sekolah,” kata Istri saya  kemudian menerangkan. Oo, ternyata ibu-ibu itu mencari sekutu.

Mereka berkumpul di ruang tamu kami, bersama Lindu (putri sulung saya). Devi adalah teman sekelas Lindu. Dan lindu juga sama apesnya dengan Devi. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Lindu dan Devi sama-sama dapat nilai 50, alias lima, alias merah! Lebih parah lagi nilai Maria teman mereka, ada tiga biji nilai limanya! Masih dengan seragam pramukanya, Maria menenteng raportnya ke rumah kami dengan ekspresi nyaris menangis. 

Padahal di SDN 29, Lindu adalah ranking kelas. Jika bukan ranking I,  paling rendah dia ranking II. Devi dan Maria juga kerap menjadi juara di sekolah.

Nah, semester ini nilai Lindu dan konco-konconya itu anjlok habis.  K arena itu mereka nekad menemui guru kelas. Argumen sang guru singkat dan jelas, "salah tulis," sambil tak lupa minta maaf.  Lantas angka 50 di ubah menjadi 60 seakan itu benar-benar karena tak sengaja. Beberapa mata palajaran nilainya juga ada yang diubah. Kini nilai rapot ketiganya sedikit membaik. Hanya sedikit!

Setelah medengar laporan istriku tentang ujung perkara itu, aku hanya bisa mengurut dada.  Lindu, Devi dan Maria adalah generasi yang tengah sibuk mencalonkan diri menjadi penerus bangsa dengan tanda merah di raport.

Tiba-tiba kepala saya terasa pusing. Seluruh carut-marut dunia pendidikan terbayang dan menyeruak serempak, memenuhi tempurung kepala saya yang sempit. Duh biung…., mengapa untuk sekadar menjadi manusia saja di negeri ini begitu sulit?

Lain waktu saya ngumpul di warung kopi simpang empat Plamboyan Pontianak. Bang Man teman saya yang penjaga malam, ngecap soal kesibukannya menjadi Calon Legeslatif (Caleg) 2009.

“Kalau dah jadi anggota dewan, nantik aku beli oto, letih dah jadi orang miskin,” katanya.

Teman-teman saya yang wartawan, yang advokat, yang pemborong, yang bengak, yang…pun banyak mencalonkan diri jadi Caleg. Elit politik kita, beberapa bulan lalu pun sibuk saling sikut untuk pencalonan Bupati dan Wakil Bupati. Tak lupa bawa-bawa massa atas nama agama dan etnik.  Inilah kalau pendidikan kita adalah warisan amtenar.  Selesai sekolah pun mentalnya tetap ingin  jadi kuli. Padahal di negara maju pendidikan melahirkan banyak enterpreneur.

Akhir 2008 kemarin, sekitar 8 ribu orang di Kalbar sibuk mendaftarkan diri Jadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), padahal yang diterima sedikit. Lagi-lagi saya merenung, betapa sibuk dan hingar-bingarnya dunia di sekitar. Bising motor, orang ngedumel, pedagang kaki lima digebuk, sirine polisi, pidato pejabat, senyum krubi’ (tengkuyung) koruptor di TV, dan…HP saya tiba-tiba berdering.

Nomornya asing, tapi masih nomor dalam negeri. Rupanya telepon dari seorang teman lama. Sejak kami lulus SMA di Sintang saya tak pernah bertemu dia lagi. Entah dari mana dia mendapatkan nomor telepon saya.
Cerita hidupnuya kudengar dramatis. Dari separuh gelandangan berhasil menjadi orang hebat di Jawa Barat. Setelah ngaur-ngidul sana-sini, ujung-ujung bicara soal pekerjaan dan kesibukan. Termasuk keinginannya menjadi Caleg. Dia mempromosikan habis-habisan partainya. Cara mempromosikannya persis sales tukang kredit panci keliling. Dia bercerita ingin pulang kampung untuk menangguk suara pemilih. Tapi yang membuat kesal, dia separuh menghina profesi saya yang hanya seorang jurnalis. 

“Memangnya kerja lain tak ada ya..bla..bla...?”

"Kampret ini orang." Aku memaki dalam hati. Tapi karena teman lama tak apalah sedikit bersabar dan membiarkan kupingku menjadi tong sampah iklan politik.


“Ohya, Kisanak gak ikut sibuk-sibuk mencalonkan diri? Banyak lo wartawan jadi Caleg”.

Aku diam. Andai saja dia ini bukan teman lama,  pasti sudah kumaki-maki dia panjang pendek di telpon!

“Hmm, gak sibuk juga sih…, tapi untuk jadi Caleg belum kepikiran”.


"Ayo dunk! Ikut partai aku aja, dijamin...."
Aku masih berusaha menahan diri. Tapi dia terus saja nyrocos tentang dirinya sendiri. Kini omongannya persis tukang obat di pasar pagi yang ngaku kebal bacok.  Bah, sebentar lagi aku  pasti benci, atau muntah barangkali.

"Loh…jadi Kisanak sibuk apa sekarang?”
“Mencalonkan diri...."

"Hmm, katanya tadi tak mau jadi Caleg. mencalonkan diri jadi apa?"

"Menjadi manusia!” kata saya setengah membentak. 

Aku langsung mematikan HP karena sudah tak tahan lagi.  Terakhir masih kudengar di ujung sana dia tertawa sambil bilang," halo, halo...ki...." 


***


(publish in Borneo Tribune, 7 Januari 2009)


Next Post Previous Post