Manila, Jakarta Tempoe Doloe

By: A. Alexander Mering

Begitu keluar dari bandara Ninoy Aquino International, aku seolah bertemu Jakarta tahun 70-an. Di kiri kanan jalan berdiri Rumah Toko (Ruko) warna kusam di antara kabel listrik yang berseliweran. Bangunan hampir seluruhnya coklat atau kelabu, kecuali beberapa gedung pencakar langit yang menyeruak di kejauhan.
Eceng gondok seakan disengaja memenuhi sungai Pasig, sungai terpanjang di kota itu. Sementara sampah dibiarkan tumpah, seperti sebuah musim yang sulit dipercaya.
"Maaf, kami agak terlambat, karena mobilnya mogok,” kata Putri.
Aku angalihkan pandangan dari jendela.
“Tak masalah, kami berterima kasih sekali sudah dijemput.”
Putri muncul bersama Raul Ortega dan Bong. Nama lengkapnya Pablito Bay Bado. Keduanya adalah dosen di University of Santo Thomas (UST), salah satu universitas terkemuka di Manila. Putri adalah mahasiswi mereka. Dia gadis Jawa, pantas dengan mudah tadi aku mengenalinya, saat turun dari mobil penjemput.
Mereka adalah kolega Pastor Yohanes Rubini, Op, inisiator berdirinya Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID), sebuah lembaga yang bergerak pada isu perdamaian lintas agama di Kalimantan Barat.
“Ternyata masih ada yang berbahasa Indonesia di sini.”
Mohammad langsung tersenyum sumringah.
Mohammad adalah aktivis CRID. Aku dan Mohammad dikirim ke Philipina untuk belajar di Silsilah. Yaitu sebuah lembaga yang didirikan Fr. Sebastiano D’Ambra, PIME, tahun 1984 lalu di kota Zamboanga. Gerakan lembaga menginspirasi inisiator CRID, karena gerakan dialognya yang bertujuan mewujudkan persefahaman dan memperbaiki hubungan antara orang Islam dan Katolik maupun Protestan bersama-sama, menjaga hubungan antara penganut agama dan tradisi yang berbeda.
“Gila, apa bedanya supir disini dengan di Jakarta?”
Aku dan Putri tersenyum. Mohammad geram ketika sebuah Jeepney menyalip mobil kami. Kenalpotnya menyalak seperti anjing galak, memuntahkan asap hitam ke udara.
Suara dan tampangnya mirip Tuk-tuk di Thailand dan India, tapi yang ini lebih besar dan panjang.
“Itu mobil perang peninggalan tentara Amerika,” terang Putri.
Aku terpesona. Jadi kota ini dipenuhi kendaraan perang? Kendaraan itu nganggur pasca Amerika hengkang dari Philipina. Pemerintah setempat lantas memanfaatkannya untuk angkutan kota.
Nah, untuk menghilangkan kesan militernya, mobil itu pun di modifikasi dengan asesoris aneh yang mengingatkan aku pada sebuah penjara. Tralisnya terbuat dari besi stainless, kiri kanan body penuh tulisan.
“Oplet yang aneh,” sela Mohammad.
Kami melaju ke rumah keluarga Ortega di jalan Don Qihote. Di sini Wajah kota menjadi lebih terang dari sebelumnya, tetapi fikiranku terlanjur melampawai waktu. Karena tadi aku berkhayal akan bertemu Koesplos dan Oma Irama waktu muda di ujung jalan. Tapi di bandingkan Jakarta, Manila seakan berhenti tumbuh setelah Markos tiada.

PORT SANTIAGOBedanya, sejarah di Pontianak dihancurkan, tapi di Philipina situs sejarah tetap dijaga dengan baik agar dapat dipelajari oleh generasi berikutnya, misalnya Port Santiago ini. Selain menjadi tempat wisata, tetapi ia menjadi museum Negara yang menyimpan peninggalan sejarah jaman kejayaan spanyol dahulu kala di Manila. FOTO Mohammad/Borneo Tribune
Next Post Previous Post