Once Upon a Time in Zamboanga

Oleh: A. Alexander Mering

Sejak hampir seminggu berputar-putar di Philipina, Mohammad dan aku akhirnya masuk asrama. Tanpa TV, tanpa koran, tanpa kabar dari kampung halaman, karena signal cellphone pun terbatas di sana. Bagi Mohammad ini pengalaman pertamanya ke luar negeri.
Kami mendapat sebuah ruangan ‘bawah tanah’ yang bagus. Pintu dan jendelanya menghadap ke lereng bersemak-semak, pohonan rindang dan bunga-bunga. Ruangan itu terbagi menjadi dua bilik dan satu kamar mandi.
“Kayaknya kita berdua peserta Istimewa, ya?”
“Mungkin karena kita tiba duluan”.
“Tak juga, buktinya, selain kebagian kamar khusus, cuma kita yang diberi kesempatan mengunjungi banyak tempat di Zamboanga”.
Aku berfikir lagi, mengumpulkan bukti-bukti. Sementara bunyi jangkrik dan dengung serangga malam mulai menembus ventelasi. Di luar jendela mata hari sudah pergi, menyisakan kepak kelelawar dan bising tokek besar di dinding, tepat di samping kamar kami.
“Ya, mungkin ente benar”.
“Lihatlah, betapa cemburunya peserta lain karena tak mendapat izin ke Santa Cruz Island seperti kita, dengan asalan keamanan”.
Mohammad menoleh ke luar. Dia membayangkan pasti lebih sedap jika ngobrol di sana sambil menyedot rokok Marlboro dalam-dalam. Mohamad mengantongi dua bungkus rokok dari Jakarta. Suara Jangkrik makin nyaring di telinga. Aku mengerti maksud Mohammad, kami pun pindah ke luar. Duduk di sudut, lantai semen, di bawah sinar lampu neon 19 Watt.
“Bukan cuma peserta, staff Silsilah pun ingin ikut kita ke pulau”.
“Mereka tak mendapat izin”.
“Ya, kita sangat beruntung. Bahkan diberi pengawal berkeliling daerah”.
Mohammad mangut-mangut. Aku menyiapkan pulpen dan kertas, siap wawancarainya malam ini .
Sebatang rokok pupus. Aku memungut puntungnya dan memasukkan ke dus kosong. Mohammad nyengir kuda, merasa tak enak hati.
Mohammad lahir di desa Montor Madura, 31 tahun silam. Abdul Gani—
almarhum ayahnya—dulu adalah seorang pedagang. Ibunya jualan bawang. Keluarga ini cukup mapan, memiliki armada angkutan, trayek Sambas-Tebas. Saat kerusuhan Sambas pecah 1999-2000, bus milik Abdul Gani turut berjasa mengangkut para pengungsi asal Sambas ke Pontianak.
Sejak ayahnya meninggal beberapa bulan silam, Mohammad praktis menjadi kepala keluarga. Aku teingat suatu petang Mohammad tidak masuk kursus bahasa Inggris, karena harus mengantar jenazah ayahnya ke Pulau Madura.
Kini Mohammad menyulut sebatang lagi rokoknya. Udara malam mulai terasa dingin. Tapi aku minta dia terus bercerita. Kemarin aku mendengarnya selalu bilang tempat ini seperti tanah moyangnya di Madura. Berbukit-bukit dan banyak pepohonan.
“Usai nyantri di Pesantren Salafiah, Sampang, saya pulang ke Pontianak. Sebelumnya saya tinggal dengan Nenek, di Madura”.
Dia batuk-batuk sekejab. Tokek berbunyi lagi di dinding, persis di atas kepala. tempat kami sedang duduk.
“Saya masuk Fakultas Hukum Universitas Panca Bakti Pontianak.”
Tak lama kemudian dia terpilih menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Madura. Tahun 2000 turut menjadi relawan kemanusiaan korban kerusahan Sambas. Keaktivannya dalam organisasi membawanya berkenalan dengan sejumlah aktivis Non Government Organization (NGO). Tahun 2003 Mohammad sempat bekerja untuk sebuah proyek yang didanai UNDP dan bergabung dengan Elpagar bersama Pubertus Ipur.
Di Elpagarlah aku untuk pertama kalinya mendengar cerita tentang Mohmmad. Mohammad menjadi salah satu staff Ipur untuk bidang Advokasi. Sebagai muslim yang taat, tiap Jumat Mohmmad pergi ke Masjid terdekat. Tak dinyana anjing penjaga sekretariat mereka hari itu terlepas dari ikatan dan membuntuti Mohmmad sampai ke masjid. Orang pun bubar karena kaget. Mohammad lebih kaget lagi dan malu. Dia mengusir anjing itu pulang.
“lalu bagaimana ente bisa menjadi pendiri CRID?”
“Oh, itu bermula dari pertemuan dengan Pastor Johanes Robini, OP di Hotel Gajah Mada Pontianak. Waktu itu Pastor datang bersama pengurus NU pusat”.
NU adalah singkatan dari Nahdatul Ulama. Mohammad salah satu pengurus inti NU Kalbar. Sedangkan CRID adalah akronim dari Centre for Research Interreligious and Dialog yang dirikan 2 tahun lalu di Pontianak.
Dia menarik sebatang rokok lagi. Menyulutnya dengan sebelah jari. Asap mengepul menembus sinar neon.
Aku teringat saat Mohammad dicegat petugas Imigrasi di Bandara Soekarno Hatta, sebelum kami bertolak ke Manila. Dia dicurigai dan diinterogasi. Menurut petugas ada nama yang sama dengan Mohammad masuk daftar cekal ke luar negeri.
Sampai di Bandara Ninoy Aquino International, Manila, aku was-was lagi. Petugas Imigrasi negara itu menahannya semula. Tentu saja mereka berbahasa Inggris, Mohammad kelabakan. Aku yang menanti giliran dipanggil petugas untuk menterjemahkan.
“Benarkah nama dia hanya Mohammad?”
“Yes Sir, dia teman saya”.
“Coba anda masuk ke sini, dan lihat banyak nama Mohammad di direktori kami, tapi tetap ada nama tengah atau nama keluarga”.
“Tapi nama dia memang cuma Mohammad, Sir”.
“Benar?”
“Yes Sir, di Indonesia satu nama itu biasa.”
Petugas itu tetap ragu. Dia menatap aku dan Mohammad bergantian.
“Kami diundang Silsilah mengikuti seminar Internsional yang diselenggarakan di Zamboanga, Sir,” lanjutku sambil menyodorkan nomor kontak Silsilah. Tapi dia bilang tak perlu. Aku mengurut dada, sedang Mohammad cuma nyengir kuda sambil berlalu.
Malam semakin larut. Tokek yang tadi ribut di dinding pun tampaknya sudah pergi. Tinggal beberapa serangga yang sibuk menubruk lampu.
Mohamad akan Shalat malam. Sebelum masuk kamar, dia sempat mengingatkan aku agar bangun pagi untuk mengikuti doa pagi di Capel terdekat. Dalam hati aku bergumam,”Ah, betapa indahnya sebuah persahabatan.”

SANTAI
Di sela-sela kegiatan, aku dan Mohammad ambil kesempatan untuk berbincang lebih dalam dengan Prof. Alih S Aiyub, sorang Intelektual Islam di Zamboanga dan berfoto bersama dengan coordinator Intensive program Silsilah Jovie S. Emauel. FOTO James Bello Mallicay/Silsilah



Next Post Previous Post