Semoga Bukan Durian Terakhir Wisnu Pamungkas

Oleh: Khairul Fuad

Tiba-tiba dikagetkan kemunculan Bang Wisnu Pamungkas di ruang kantor ketika asyik berselancar di dunia maya mencari data untuk kegiatan kantor. Masih seperti kebiasaannya selalu berpenampilan casual, tas punggung yang selalu melekat di belakang, dan tetap dengan rambut panjang sebahu. Namun, kemunculannya tampak terengah-engah bercucuran keringat berbulir-bulir sebesar biji jagung karena menenteng bungkusan besar.

Kemudian, bungkusan besar itu dibuka, ternyata Bang Wisnu Pamungkas membawa berpuluh-puluh durian, pantas saja kalau terengah-engah. Akan tetapi, ia tidak sekadar membawa berpuluh-puluh durian, tetapi berjenis-jenis khas durian yang tumbuh di Kalimantan Barat. Pulau yang satu ini memang terkenal dengan hasil buah-buahan, siapa tidak kenal jeruk Pontianak walaupun sebenarnya berasal dari Tebas Kabupaten Sambas. Demikian juga durian, beberapa kabupaten memiliki kekhasan duriannya sendiri-sendiri.

Otomatis, cacing-cacing di perut ini menari-nari karena aroma yang ditimbulkan oleh durian walaupun kata orang Barat baunya sangat menyengat. Dengan taksabar dibuka langsung durian itu. Sambil bersama-sama makan durian, Bang Wisnu Pamungkas menjelaskan durian yang tengah dimakan. 

Durian yang tengah dimakan ini durian Karangan yang tajam baunya, berasal dari Balai Karangan Kabupaten Sanggau. Sementara itu, durian yang menanti dilahap adalah  durian Sehak yang rasanya berlemak, berasal dari Kabupaten Landak. Begitu juga durian Sambih yang tergeletak di samping durian Sehak, juga berasal dari Kabupaten Landak.

Walaupun sedang terbuai oleh lezat durian nan menggoda, Bang Wisnu Pamungkas tidak kehilangan concern menjelaskan durian-durian yang lain. Ia menjelaskan durian Batang Tarang dari Kabupaten Sanggau yang sangat favorit di pasaran dalam genggaman tangannya sambil menahan sakit hujaman durinya menyentuh telapak tangannya. Setelah itu, ia menunjuk durian Punggur dari Kabupaten Kubu Raya di pojok ruang kantor yang tadi menggelinding saat bungkusan dibuka. “Durian yang sebesar buah Kelapa adalah durian Tembaga, durinya runcing kecoklat-coklatan”, jelasnya sambil membuka durian Sehak yang tadi dinanti.

Tiba-tiba Bang Wisnu Pamungkas menghentikan lumatan daging durian yang sedang dimakan, seperti tersedak di tengah tenggorokannya. Tampaknya ada lintasan yang mengganggu pemikirannya. Kemudian, ia tertunduk sambil menahan kata-kata yang keluar secara terbata-bata. Ia berkata bahwa mungkin ini durian-durian terakhir yang disantap. Sejurus itu, ia menerawang jauh ke pedalaman Kalimantan Barat yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian.

Sebenarnya hiruk pikuk terjadi di pedalaman Kalimantan Barat yang bersumber dari suara chainsaw yang memekakkan telinga dan siap meluluhlantahkan pohon-pohon khas Kalimantan Barat yang memang tinggal sisa. Bang Wisnu Pamungkas mengkhawatirkan deru chainsaw meratakan juga pohon-pohon durian yang khas Kalimantan Barat dengan tanah. Apalagi deru chainsaw memiliki payung hukum sehingga orang-orang ramai menumbangkan pohon-pohon durian. Gundah gulana semakin menyergap batinnya. Dengan demikian, warisan nenek moyang tidak dapat dijaga untuk anak cucu kelak.

Jika ketiadaan durian di daerah-daerah asli penghasilnya, Kalimantan Barat akan kehilangan plasma nutfah yang khas dimilikinya. Bagi Bang Wisnu Pamungkas, ketiadaan durian maka ketiadaan pula truk-truk pengangkut durian yang hilir-mudik memenuhi permintaan pasar di Pontianak. Ketiadaaan pula harum wangi durian yang dihasilkan oleh lapak-lapak para pedagangnya di sepanjang jalan Pasar Mawar. Tidak ada lagi kesibukan para juru parkir yang menata motor-motor para pembeli durian, baik yang dibawa pulang maupun dinikmati di lapak-lapak tersebut.

Kemungkinan besar anak-anak cucu bisa jadi merasakan lezatnya durian Sehak yang berlemak lewat buku sejarah, itu pun kalau tidak luput ditulis. Jika tidak diperhatikan dengan saksama, terutama keseimbangan ekosistem dalam pembangunan, nasib durian Kalimantan Barat seperti nasib parit-parit di Kota Pontianak yang memang tinggal cerita. Ujung-ujungnya, orang Kalimantan Barat bisa jadi tidak dapat merasakan  kelezatan  tumis udang tempoyak lagi.  

Tanpa terasa berbiji-biji durian telah terkelupas dagingnya dan menyebabkan pusing perlahan merambat memenuhi kepala. Sudah tiba waktunya mengakhiri lumatan daging biji durian yang terakhir. Di saat daging durian meluncur di tenggorokan untuk terakhir kalinya sambil memejamkan mata, bersamaan itu juga Bang Wisnu Pamungkas tiba-tiba beranjak dari pandangan sebagaimana kemunculannya yang tiba-tiba juga. Sejurus itu, laman mering.web.id terklik untuk disudahi. Terima kasih Durian Cintanya Bang! Semoga bukan durian terakhir.
                                                                                   

Matahari hampir terbenam 280511

*) Publish in Borneo Tribune, 3 Juni 2011 

Next Post Previous Post