Mata Enggang

Motor Bandung mengangkut pupuk Kelapa Sawit, melewati TNDS, Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu. Photo by Mering
By Wisnu Pamungkas

Ayah mungkin hanya ingin menjadi merpati, tetapi para leluhur melemparnya ke hutan,
menjelma musang, terseselip di kelip-kelip, lumut lindap dan bayang-bayang bulan

Menurut ibu, kota tak pernah menjadi rumah ayah
Walau mereka sudah menikah, mall tak berjaya membius ayah,
karena Indonesia adalah surga yang menjelang punah

Ayah melonglong, merindu kampung, merindu daun bergesek dan rimba rindang
Berhari-hari ayah mengenang kepak enggang di liang pulau
Ketika tambang menjadi cacar melumuri tanah,
Ketika kelapa sawit menjelma keramat di setiap tempat
: Nisan ayah tersungkur penuh bilur-bilur sejarah

Di atas rawa ayah bertapa, meleburkan diri ke pusar semesta,
merapal mantra dari jaman permulaan, Asa’ Dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh….
Borneo kala itu hanya dihuni Puyang Gana, saat musang masih mengasuh ayam betina,
beruang memikul tandan pisang, saat kucing dan ikan masih makan semeja

Ooo, Ayah adalah mata Enggang,  adalah tunas padi dan sajak kelebat kunang-kunang  

Benua Landjak, 16  April 2012 
Next Post Previous Post