Loncek Baguas* (Indonesian version)

Ngeblog di bawah pohon sirsak
Oleh: Alexander Mering

Riko termangu di bawah pohon nangka. Ternyata ‘kapal’ tidak melemparkan apa-apa, walaupun sekadar sepotong kue tawar. Padahal ia dan 6 bocah lainnya telah berteriak sampai serak meminta, sehingga bayangan pesawat terbang itu benar-benar menghilang ke balik belantara. Mereka menyebut pesawat itu Kapal Terbang.

“Kapal, minta’ koeh, kapal minta’ koeh, kapal minta’ koeh!”

Bocah lain masih berteriak, membuat koor berirama turun-naik yang akhirnya berhenti, berganti suara kelereng yang menggelinding antara  debu jalan tanah kuning Kampung Loncek.

Tak ada yang peduli tanggal berapa hari itu, yaitu 28 Oktober. Bahkan para tetua-tetua kampung tak ada yang peduli pada angka keramat bagi Bangsa Indonesia tersebut. Lagi pula apa pentingnya kampung  yang tak ada di peta itu bagi negara sebesar Indonesia?

Sebelum tahun 2010, komunitas adat Dayak Salako di Kampung Loncek memang masih terisolir. Paling tinggi, anak-anak  sekolah sampai bangku SMP. Itupun kalau orang tuanya punya  kolega di kota.  Jalan satu-satunya mencapai Kampung Loncek  kala itu hanya sungai.  Dibutuhkan sehari-semalam perjalanan untuk tiba di Kampung Loncek dari Kota Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat. Itu pun hanya bisa naik motor kelotok.

“Kalau air surut bisa tiga hari tiga malam di perjalanan,” kata Yohanes Aboy. Aboy adalah Ketua Umat Katolik di Kampung Loncek.

Secara administratif Kampung ini masih bagian dari Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya,   Kalimantan Barat. Kampung Loncek dibuka  dua orang bernama Nek Motek dan Timanggong sekitar tahun 1910.  Keduanya mendirikan rumah panjang, khas masyarakat Dayak dan membuka ladang untuk keluarga mereka di sekitar kaki bukit Loncek. Sesepuh Kampung Loncek, Ga’eb, yakin kalau nenek moyang mereka berasal dari komunitas Ambawang 40, di sekitar Desa Lingga, Kecamatan Kubu Raya. Sebagian lagi perantauan dari Banyuke, Kabupaten Landak.

Riko kecil kecewa. Gontai dia melangkah  pulang membawa pertanyaan kecil di kepalanya. “Mengapa pesawat terbang tidak lagi menurunkan kue dari langit?” Padahal ayahnya pernah bercerita, dulu ada ‘Kapal’ turun di kampung mereka, membagi-bagikan kue untuk anak-anak. Riko  hanya bisa bermimpi suatu hari kelak akan naik kapal terbang dan pulang membawa kue yang banyak.

Lima belas tahun kemudian—karena terlibat dalam gerakan orang muda putus sekolah program PNPM Peduli—pemuda kurus dan keriting itu terpilih mengikuti pelatihan fasilitator lokal yang diselenggarakan oleh Partnership di Jogja. Inilah untuk pertama kalinya Riko naik ‘kapal’ terbang. Meski sudah 23 tahun, tapi dia tak pernah kemana-mana selain ke Pontianak. Karena itu betapa gugup dia, ketika pertama kali melangkah masuk ke kabin pesawat terbang.

“Hmm, begini rasanya, menjadi orang Indonesia?” gumamnya perlahan.

***
Riko hanya satu dari 200 lebih Orang Muda Putus Sekolah (OMPS) di Desa Teluk Bakung yang menggantungkan hidupnya sebagai perambah hutan.  Kepala Dusun Loncek, Donatus Dino kepada saya mengatakan dari 197 kepala keluarga disana, 90 persen adalah perambah hutan. Para wanita menyadap karet atau bekerja sebagai kuli di perkebunan kelapa sawit. Mereka yang memiliki modal dan koneksi, biasanya mempekerjakan orang-orang dari Kabupaten Sambas untuk menebang kayu di hutan mereka.

“Karena itu jumlah orang Sambas yang bekerja kayu di Loncek, bisa mencapai ribuan orang,” kata Dino. Artinya, lebih banyak dari warga Loncek sendiri.

Saat ini hutan yang tersisa tak sampai 7.000 hektar lagi.  Karena sejak tahun 80-an, Desa Teluk Bakung dan sekitarnya telah dipetak-petak oleh sejumlah perusahan  menjadi kawasan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) mereka. Orang kampung cuma jadi kuli, di tanahnya sendiri.

“Warga kami hanya menebang kayu-kayu sisanya,” kata Valentinus Agip. Agip satu dari sedikit pemuda desa Teluk Bakung yang beruntung karena bisa mengecap pendidikan hingga bangku kuliah dan menyandang gelar  S.Sos.  Karena itu dia terpilih dan menjabat sebagai Kepala Desa Teluk Bakung  sampai sekarang.

Kami berbincang hampir dua jam tentang nasib kampung-kampung dalam desa yang dipimpinnya, termasuk Kampung Loncek, tempat program PNPM Peduli dilaksanakan. Karena sejak ditetapkannya Desa Teluk Bakung menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) disusul izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit berskala besar oleh pemerintah,  komunitas masyarakat adat Dayak Salako di kawasan itu semakin terjepit.

Mereka tak saja telah kehilangan hak atas tanahnya yang diwarisi secara turun temurun, tetapi juga kehilangan hak atas sumber daya alam berikut nilai-nilai adat budaya serta kearifan lokal di dalamnya. Padahal nenek moyang mereka sudah tinggal di kawasan itu, jauh sebelum negara bernama Indonesia ini difikirkan.

“Beberapa warga saya pernah mencoba membuat sertifikat tanah tapi di tolak oleh kantor BPN karena  masuk dalam kawasan HP,” keluh Agip.

Suatu malam bulan Oktober 2011, Riko bersama 15 OMPS lainnya ‘memproklamirkan’ terbentuknya sebuah organisasi tani di Kampung Loncek. Saya hadir sebagai fasilitator, yang membantu mengorganisasi idea dan mimpi mereka.  Anggota utamanya adalah para orang muda yang juga perambah hutan. Semuanya ada 15 orang, 10 lelaki dan 5 perempuan. Beberapa warga dan orang tua yang hadir malam itu sangsi pada gerakan Riko dan rekannya.

Paling-paling ga’ angat-angat tahi manok,” celetuk seseorang.

Orang tersebut bilang paling-paling gerakan Riko Cs itu hangat-hangat tahi ayam saja. Saya menoleh, mencari asal suara yang terdengar samar antara gaduh mesin genzet yang dipakai untuk penerangan kami rapat kampung malam itu. Maklumlah, walau Negara Indonesia sudah merdeka 67 tahun, Loncek masih belum dianggap sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang penting oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Saya hanya mengenal satu dua orang saja diantara mereka, sejak kunjungan pertama saya tiga  minggu lepas ke kampung ini. Karena itu kami mulai dengan perkenalan. Aturannya kami sepakati, yaitu menyebutkan nama dulu, pendidikan dan baru terakhir pekerjaan. Saya yang pertama dan dilanjutkan peserta rapat.

“Aku Herpina, hanya tamat SD, sehari-hari menyadap karet.”
“Saya Emerensiana, saya tak tamat SMP, juga menoreh karet.”

Saya mengernyitkan dahi.  Dua peserta tadi, memelankan suara saat menyebutkan pekerjaannya yang petani karet. Begitu juga mereka yang kerjanya merambah hutan.  Sedangkan Petronela Lia dan seorang peserta lain yang bekerja di perkebunan kelapa sawit tampak lebih percaya diri. Belakangan saya tahu mereka memang merasa bangga disebut pegawai ketimbang petani.

Kade’ Pegawai kan bagaji,” kata Lia. Seperti juga rekan-rekannya, Lia berhenti sekolah di bangku Sekolah Menengah Atas.

Saya mengernyitkan dahi lagi. Wah, jika mereka sendiri sudah tak bangga menjadi petani, hanya karena dua kalimat tadi, bisa gawat ini.

Minggu itu juga saya langsung mengajak mereka diskusi tentang dua terminologi  ‘pegawai’ dan ‘gaji’.

Kami mulai membedahnya dengan rumus SWOT analisis. Setelah semua masukan dicatat di kertas pelano. Akhirnya saya baru faham, kata ‘pegawai’ bagi mereka hampir seperti sebuah sugesti. Jika menjadi pegawai,  seseorang sudah dianggap sukses. Padahal kebanyakan dari mereka hanya bekerja sebagai buruh yang bekerja 7 jam dengan upah rata-rata Rp 35.000 sehari. Bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul tiga sore, termasuk waktu istirahat 1 jam.  Waktu tadi tidak termasuk waktu bolak balik-kampung ke kebun sawit yang jaraknya lumayan jauh. Berangkat  pukul enam pagi dan baru pulang ke kampung lagi sekitar pukul empat sore.  Apabila ada lembur, upah tadi bisa sedikit bertambah. Oala, itu toh yang mereka fikirkan tentang pegawai dan gaji.  Lantas aku pun meminta mereka mendefinisikan ulang kata ‘gaji’ dan ‘pegawai’ tadi.

Mereka yang menyadap karet bekerja tak lebih dari 5 jam saja. Tanpa harus lembur dan tekanan dari majikan, rata-rata petani bisa mengantongi Rp 70.000 tiap pagi. Karena mereka adalah tuan dan bos bagi dirinya sendiri!

Satu hektar kebun karet lokal memproduksi tidak kurang dari 5-7 kg setiap pagi. Sementara harga karet di tingkat tengkulak kala itu sekitar Rp 10.000/kg. Kalau dijual langsung ke pabrik tentu lebih mahal lagi.

Saya katakan, bayangkan kalau kalian memiliki 2 hektar saja kebun karet unggul yang disadap setiap hari. Sebagai catatan, produksi karet unggul per hektar rata-rata 25 kg setiap pagi.

“Jadi mana yang teman-teman pilih, jadi bos atau kuli?”

“Bosssss!”  teriak mereka serentak.

***
Ada dua kubu utama di Kampung Loncek. Yaitu kelompok yang pro dan yang kontra perusahaan kelapa sawit. Leonardus adalah salah satu yang kontra. Dia ketua Orang Muda Katolik (OMK) di Loncek dan juga ketua KTM PPB yang pertama. Leo pernah bercerita kepada saya, bahwa dia dan beberapa pemuda lain pernah membuat aksi penolakan kepada perusahaan sawit dan nyaris dihukum oleh ketua adat setempat.

“Tanah dan hutan kami tinggal sedikit, semua sudah diserahkan ke perusahaan,” kata Leonardus gusar. Karena menurutnya kehadiran kebun sawit membuat air sungai di kampung mereka tercemar, ikan makin sulit didapat, burung dan hewan buruan lain pun hampir tak ada lagi untuk ditangkap. Karena itulah ia dan konco-konconya meradang.

Sikapnya ini menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antara Leonardus Cs dengan beberapa pemuka masyarakat dan aparat desa setempat yang meraka anggap pro sawit. Seminggu saya berfikir keras bagaimana membuat kedua kelompok ini bisa akur. Sebab jika tidak, bukan saja akan membuat program PNPM Peduli yang saya jalankan disana bisa terhambat, tetapi juga bisa menjadi bom waktu seperti kasus di Mesuji di Sumatera Selatan.

Saya katakan kepada mereka, melawan perusahaan sawit dan ribut dengan aparat desa bukan solusi. Bahkan hanya akan menghabiskan energi saja.

“Kalian harus ingat, perusahaan punya uang, kalian punya apa? Perusahaan bisa mendatangkan aparat keamanan, apa kalian mampu membayar pengacara, kalau kalian ditangkap?”

Peserta rapat terdiam. Suasana jadi tegang, mungkin mereka tak setuju yang saya katakan. Tapi kalimat itu sudah terlanjur terucapkan. Cahaya neon tak bisa menyembunyikan wajah mereka yang gelisah. Saya juga gelisah, karena tak tahu bagaimana memecahkan masalah. Peluh mengucur deras dari balik baju.

“Lalu  ahe nang diri’ panjawat, bang?” Laurensius Edi berkata pelan, memecah keheningan.

Dia teman Leonardus dan juga tuan rumah tempat kami rapat malam malam itu. Kelak Laurensius Edi menjadi salah satu fasilitator lapangan pada program PNPM Peduli yang diselenggarakan oleh YPPN dan Partneship. Dia bertanya dalam dialek setempat. Kalau diartikan kira-kira edi bilang, ”Lalu, apa yang bisa kami lakukan?” Saya beruntung bisa berbahasa Dayak Salako, meski  dari suku Dayak yang berbeda. Dalam percakapan informal sehari-hari di Loncek, bahasa Salako adalah bahasa utama.

“Kalau kalian melihat sawit sebagai ancaman, kalian juga harus berani melihatnya sebagai peluang.” Saya bukan sedang kontra, apalagi membela sawit. Tapi saya sedang kehabisan kata-kata saat berhadapan dengan orang-orang muda yang berjiwa keras ini.

Diluar dugaan saya,  malam itu juga mereka berhasil menyusun rencana kerja organisasi. Tujuan utamanya adalah memperkuat basis kampung yang tersisa. Caranya antara lain dengan membudidayakan karet unggul dengan secara kreatif, dan memetakan tempat-tempat keramat, mendokumentasikan budaya serta sejarah Kampung Loncek.

Sejak saat itu, saya mendapat tempat di tengah-tengah mereka. Saya selalu diundang setiap kali ada pertemuan maupun hajatan para perambah hutan. Setidaknya sekarang mereka sudah mulai berfikir tentang masa depan. Karena itu saya tak peduli apa kata orang di luar sana tentang Loncek. Bahkan Pastor yang memberi pelayan rohani disana pernah bilang kampung Loncek adalah sarang Judi, warganya biang karoke dan hiburan yang tidak sehat. Belakangan, pastor tersebut berbalik bangga dan simpati, malah turut mempromosikan gerakan orang muda Loncek dalam kotbah-kotbahnya.

“Palinglah bah dua-tiga tahun lagi kami bisa kerja kayu, setelah itu kami mau kerja apa? kata Sarjono.   Sarjonolah yang kelak menggantikan Leonardus, dan menjadi ketua KTM PPB periode kedua dengan gelar Pucuk.

“Pucuk! Pucuk! Pucuk!”

Teriak mereka serentak sambil memukul ubin lantai sebagai tanda penobatan Sarjono menjadi ketua kelompok.

***

Dinihari bulan Mei 2012 lalu, saya dikejutkan dering telepon saat tengah tidur nyenyak. Antara sadar dan masih bermimpi saya meraih handphone tersebut di sudut meja kamar.  Maklum saja, ini pukul 04.00 pagi waktu Washington D.C.  

“Selamat sore bang, nian Leo. Ahe kabar kitak?"

Suara dari seberang sana menyapa. Saya mengucak-ucak mata.

“Selamat sore, eh selamat pagi. Disini masih dinihari, he..he..”

Gajah, maaf, maaf boh bang. Kukira waktunya sama man ka’ diri"

Dalam bahasa Indonesia, artinya kira-kira,“Astaga, maaf ya bang, aku kira waktunya sama dengan disini.”  Kata gajah dalam bahasa  Salako, menyatakan keterkejutan atau kaget, seperti kata ‘Astaga’ dalam bahasa Indonesia. 

Leonardus menelepon dari Bogor. Ia dan 5 anggota KTM PPB lainnya dikirim kantor Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) selama sepekan untuk mengikuti pelatihan organic farming di Bina Sarana Bakti, Cisarua. Saya tersenyum mendengar suara di ujung sana sedang berebutan ingin bicara.  Terasa rindu juga saya pada kampung halaman, setelah  seminggu terdampar di kota Obama karena mendapat fellowship dari pemerintah Amerika Serikat untuk International Visitor Leadership Programme (IVLP).

Laurensius Edi menyampaikan berita yang membuat mata saya jadi melek sempurna.

“Sekitar 40 ibu-ibu WK di kampung telah membentuk kelompok tani. Mereka terinspirasi oleh kita, bang”.

Saya tersanjung. Kembang kepis lubang hidung saya, untung tak ada yang melihat. Edi terus nyerocos, melaporkan perkembangan terakhir yang terjadi di Kampung Loncek dan di Kalimantan Barat. Saya bilang pada Edi dan Leo sekembalinya dari Bogor untuk segera membantu niat ibu-ibu tersebut. WK adalah singkatan dari Wanita Katolik, sebuah istilah untuk organisasi  ibu-ibu dan perempuan dalam Gereka Katolik Roma.  Belakangan ibu-ibu tadi menamakan dirinya Kelompok Tani Burung Arue (KTBA). Akhir November 2012 jumlah mereka menjadi 60 orang dan terus bertambah. Tiap minggu mereka bergotong- royong teratur dan belajar bersama KTM PPB.

Sepulangnya dari Amerika, saya menemui Solastika, ketua KTBA.  Dia perempuan paruh baya yang juga ibu dari Petronela Lia, anggota KTM PPB. Solastika mengutarakan mengapa ibu-ibu di kampung itu membentuk kelompok tani.

“Kami mulai dengan membuka lahan baru. Setelah itu akan meminta anak-anak kami dari KTM mengajari bagaimana berkebun karet yang baik dan benar,” kata Solas.

Dada saya terasa sesak oleh rasa saat pulang dari rumah Solastika. Dalam sejarah masyarakat Dayak, orang-orang mudalah yang mesti belajar kepada orang tua.  Dan inilah baru kali pertama terjadi, ada orang-orang tua yang dengan lapang dada mau belajar kepada anak-anak mereka sendiri secara terlembaga.  Belakangan bapak-bapak di kampug itu juga tak mau ketinggalan. Mereka membentuk  kelompok baru yang diberi nama Kelompok Tani Sabaya Mao (KTSM). 

Sekarang KTM PPB tidak hanya sibuk mengerjakan pekerjaan organisasinya, tetapi juga menjadi fasilitator sekaligus tutor bagi kelompok tani lain.  Meski beberapa anggota ada yang keluar karena menikah atau pindah ke kampung lain, tetapi partisipan dan volunteer KTM PPB terus bertambah. Pengurusnya sekarang sudah 25 orang dengan tetap mempertahankan cirinya, yaitu para remaja dan orang muda putus sekolah.

Tak banyak yang saya ajarkan kepada mereka, malah kami sering belajar bersama pada tiap kesempatan. Misalnya tentang  bagaimana melakukan hal-hal sederhana dengan tidak melupakan akar budaya dan kearifan masyarakat tempat mereka berpijak. 

Misalnya pada program karet unggul, kami tak sekadar asal menanam dan membudidayakan karet. Tiap bibit diberi label,  berdasarkan tempat asal karet, nama  orang yang menanam dan jenis cloning karet. Misalnya bibit L-Mering IRR39.  Kami menyebut cara ini sebagai ‘pantak baru’ . 

Pantak adalah semacam prasasti untuk mengabadikan nama orang-orang yang dianggap berjasa atau terkenal di masyarakat Dayak Salako. Pantak biasanya terbuat dari kayu atau batu yang dipahat berbentuk patung seperti totem pada suku Asmat. Dengan cara ini  KTM PPB berhasil me-mantak-an nama orang-orang di batang bibit karet yang mereka produksi. Selain bertujuan untuk mengabadikan nama orang yang menanam karet tersebut, juga sebagai cara memproteksi bibit buatan mereka agar tidak bisa dipalsukan.

Setakat ini KTM PPB sudah memiliki 1000 batang bibit mata entries dan lebih dari 20.000 bibit karet batang bawah yang sebagian sudah siap diokulasi.

Inisiatif ini akhirnya sampai ke telinga Wartawan Media Indonesia dan contributor The Jakarta Post. Suatu hari bersama seorang photographer dan wartawan lokal, Pontianak Post, mereka datang ke Loncek. Tapi apa yang terjadi?  Rombongan wartawan itu malah ”dihukum adat!”

Tapi tentu bukan karena melakukan kesalah, hukum adat yang dimaksud adalah penghormatan kepada tetamu dengan meminta mereka menanam karet di lahan pusat pembibitan karet KTM PPB. Nama para wartawan serta photographer tersebut pun diabadikan menjadi label bibit karet.

Saya juga meminta para wartawan tadi memberi pelatihan singkat untuk para pemuda kampung. Terutama tentang  teknik penulisan sederhana dan cara mendokumentasikan tempat-tempat keramat, budaya  serta sejarah kampung mereka yang hampir pupus.

“Kami ingin membuat buku kampung loncek,” pinta saya.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, Media Indonesia menerbitkan 2 halaman penuh pada rubrik Fokus nusantaranya, cerita tentang gerakan KTM PPB dengan judul ‘Titik Balik Para Perambah’. Sementara Koran The Jakarta Post menurunkan berita dengan Judul 'Rubber cultivated to protect family lands'. Pasti berbunga-bungalah hati saya.

“Woiiii, diri’ ada tama’ Koran!”

Teriakan Apan  pagi itu membuat geger kampung.  Beberapa perambah yang hendak berangkat bekerja turut berkerumun di rumah Leonardus. Apan bilang kami semua masuk koran. Tentu saja kami belum melihat korannya. Saya pun baru mendapat informasi via SMS dari seorang teman sekantor di Pontianak. Saya langsung menyambar laptop dan berlari mencari signal ke luar rumah, dekat pohon sirsak. Berharap bisa mengakses kedua situs media besar tersebut.

Selebrasi menanam karet untuk para tetamu KTM PPB sekarang menjadi  semacam ‘ritual’  baru di Kampung Loncek. Siapa saja yang datang akan ‘dihukum adat’ menanam karet. Tak terkecuali Kepala Dusun Loncek dan Kepala Desa Teluk Bakung. 

“Kalau pun presiden yang datang,  dia juga akan kami ‘hukum adat’ menanam karet!” 

Begitu sumpah Pucuk  dan Riko kepada saya suatu ketika, selepas hujan, persis saat peringatan hari Sumpah Pemuda. Bedanya Sumpah Pemuda dibacakan tokoh pemuda dan orang-orang terpelajar di Keramat Raya, Jakarta Pusat.

Kali ini Sumpah Pucuk, diucapkan dua perambah hutan muda yang putus sekolah sambil melinting rokok. 


* Baguas dalam bahasa Dayak Salako artinya bergoyang



Next Post Previous Post