Melawan Pahlawan

Cerpen: Wisnu Pamungkas

Ayah membayangkan pertumpahan darah. Seribu serdadu, seribu tombak, hujan panah dan gemerincing pedang pada sebuah perperangan yang berlangsung selama seratus tahun sebelum negeri itu bebas dari penjajah.
Tapi sayang kini ayah hanya bisa duduk di depan layar monitor, mencari sebuah negeri yang tak pernah mendengar nama seorang pahlawan.
Ayah berjingkat-jingkat mencari biografi seseorang sebelum ia mengucapkan selamat jalan di jembatan perbatasan, mencari negeri lain untuk diproklamasikan. Dalam pembebasan, ayah sangat menentang campur seorang pahlawan dalam sejarah. Karena kata ayah, negeri yang mengagumi pahlawan adalah banci.
“Seribu sedadu, seribu rakyat, seribu pejuang yang mati itulah pahlawan! Mengapa hanya mencari seseorang untuk di kultuskan dan dicatat dengan tintah emas dalam buku sejarah,” protes ayah. Ayah menolak berkompromi, ia mengumpulkan semua catatan untuk membuktikan bahwa pendapatnya sahih. Namun walau demikian hari-hari tetap hanya bisa dihabiskannya di kursi. Melompat dari tombol ke tombol mencari negeri yang belum pernah di jamah manusia. Ayah ingin menjadi Colombus barangkali,meski cuma bermodal segelas kopi. Setiap pagi ayah menjelajah ke situs-situs purba sebuah negeri, mengejar-ngejar pahlawan untuk ditawan.
“Aku hanya memberi pelajaran kepada mereka!” kilah ayah ketika ditegur oleh seorang rekannya lewat e-mail dari negeri yang entah dimana.
Ayah lalu menunggang kuda, masuk ke dalam hutan, menghunus belati. Ia menolak kehadiran seorang pahlawan. Karena itu berhari-hari ia mengejar pahlawan dengan satu tekad, yaitu mencekiknya sampai mati!
Ayah menyedot kopi tubruknya sekali lagi. Dalam perkiraannya pastilah kendaraan gaibnya itu sudah membawa ruhnya ke taman sebuah istana. Memandang kian kemari, mencari kesatria penunggang kuda hitam yang mengenakan baju zirah. Sudah lama ayah mengindam-idamkan pertualangan dengan satu tujuan: membebaskan setiap sejarah negeri di manapun dari campur tangan seorang pahlawan. Ayah mengendap-endap bagai pencuri, memasuki sebuah benteng tanpa diketahui. Ayah hampir merasa pasti bahwa di negeri itu hanya tinggal satu pahlawan saja. Negeri itu harus ditaklukan sebelum diberikan kemerdekaan. Proklamasi, kami bangsa antah berahtah….

***

Setiap kali marah, ayah melabarak ibu seperti melabrak sebuah negara. Ayah memang fenomena seorang tentara yang tak pernah sudi mengalah. Karenanya dalam kekerasan hati ayah ia kerap kali merasa kesepian, minum kopi tubruk sambil memburu pahlawan. Tak jarang ayah merasa terasing di rumahnya sendiri. Terasing dari ibu, dari anak-anak yang tidak lagi merasakan cinta ayah seperti tahun sebelum revolusi pecah. Jika ingin kasih sayang, ayah memperolehnya dengan cara merampok ibu. Jika ibu membutuhkan kasih sayang ia hanya menangis tanpa sedikit pun keberanian untuk jujur kepada ayah yang sibuk menghadapi perang. Dikemudian hari setelah aku dan adik-adik dewasa, diam-diam kami menghunus pisau, menunggu saat-saat membalaskan dendam ibu.
Tapi hingga sekarang rencana itu tak juga kami lakukan, karena semua orang begitu sibuk ke medan perang.
Tak seperti yang kami bayangkan, setelah beribu-ribu pahlawan mati di tangan ayah, tak seorang pun di dunia ini mengaku memiliki negeri. Penjahat yang pernah menginjak-injak kuburan nenek moyang mereka dan menumpahkan begitu banyak darah sanak saudara kini menjadi teman sepenanggungan dalam satu selimut.
Hal tersebut telah mengundang kemarahan ayah sebagai seorang pembunuh bayaran yang sebelumnya hanya memerlukan sekedar seorang pahlawan untuk dicekik. Tapi belakangan ayah tak dapat menahan diri lagi.
Next Post Previous Post