Hikayat Pahlawan dan Cinta*)

Jejak, Photo by Mering

Cerpen: Wisnu Pamungkas


Aku hidup dalam pengecualian. Terlahir untuk melarung, walau tanpa secarik pun peta kebahagiaan. Ayahku adalah keniscayaan seorang manusia. Ide tentang kebebasan dari sebuah tempat yang disebut surga1). Tapi yang hingga sekarang tak aku fahami adalah mengapa ia harus membunuh untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kabarnya ibuku adalah sepenggal dongeng dari kitab mitos kehidupan. Tak pasti siapa yang mengarangnya. Namun dari sejumlah literature yang kubaca—tentang hidup—kemungkinan besar ibu genetikaku adalah hasil cloning dari sel dan roh seorang Santa.2)

Aku hidup dalam pengecualian. Seperti angin berhembus menerpa daun nyiur. Tiada yang mengerti mengapa milky way menjadi tempat aku digejewantahkan.
Aku hidup dalam pengecualian. Tapi jika boleh aku memilih lagi, aku akan minta dilahirkan di sebuah pantai. Pantai dengan senjanya yang sendu, senja yang temaram dan membiaskan cahaya alam yang abadi. Pantai yang melahirkan suatu perasaan selalu ingin memandang laut, debur ombak, batu karang sambil menanti mata hari terbenam. Tentu saja matahari yang menjelma seperti lempengan biscuit tembaga raksasa yang melorot perlahan-lahan dari cakrawala ke kaki langit.

Tapi apa boleh buat, justru aku dilahirkan di sebuah kaki bukit, di mana senja adalah sesuatu yang terlarang untuk dipandang, apalagi untuk dicintai.
Mungkin kehidupan yang diberikan kepadaku pun hanya untuk menggenapi nubuat tentang sebuah kisah sengsara di galaksi ini. Karena itu aku melarung sepanjang abad, sebelum ditawan dan disalibkan.

Takdir mengirimku ke portal waktu yang tak dikenal ini. Menjadi musafir di Padang Merdeka3). Dan aku merasa ekor mata wanita itu telah menatapku sembunyi-sembunyi dari balik tudung-nya, di sebuah sudut dengan kacamata tak berwarna. Walau tanpa menoleh, tapi aku dapat merasakan signal gaib yang seakan kukenal dari sebuah tempat di masa lalu, menyentuh dawai kalbu. Perasaan itu tak ubahnya angin kecil dari sebuah lembah yang menyentuh lembut rambut seorang samurai.

“Hai…,” aku tak kuasa menahan bibir yang terlanjur bergerak menyapanya.
“Adakah kita pernah berjumpa sebelumnya?” sahut wanita itu ramah.

Aku terperanjat. Tapi bukan karena jawabannya. Tapi karena selarik aura biru menembus tudungnya, menerabas, menabrak tabir perak yang membungkus tubuhku saat itu. Aku tersentak dan juga terpesona. Sebab ada energy yang tak nampak tapi tiba-tiba telah bersenyawa, bersatu menjadi selubungku. Akrab, hangat dan sangat bersahabat. Aku bukan dari tempat ini, jadi aku tak mengenal pasti apa yang telah terjadi. Adakah ini yang dalam bahasa manusia jatuh cinta? Aduh, ini bukan video game-kan? Aku mulai panik. Perasaan aneh yang tak mudah untuk dikenali sebenarnya. Tapi semula aku hanya mengira semacam kegembiraan atas perjumpaan yang telah begitu lama diimpikan. Tapi mengapa? Ah, tidak ada alasan karena aku tak pernah bertemu muka makluk ini sebelumnya.

“Anda sebenarnya berasal dari mana?” tanya gadis itu lagi di lain waktu, setelah kami semakin akrab.

“Walau tak pasti, tapi kitab masa depan mungkin ada penjelasannya tentang ini,” jawabku. Ketika itu kami duduk di sebuah caffe kecil di sebuah pantai sambil memandang riak sungai. 

Dengan kecantikannya yang agung, ia duduk di sampingku. Pandangannya jauh menembus ke balik langit sore. Indranya seperti sebuah teropong yang mencari jejak yang pernah ia kenal di balik senja. Ah, mungkin juga sebuah misteri yang telah menghantarkan kami pada pertemuan ini. Entahlah. Diam-diam aku merasakan sepasang bayangan berkelebat dalam lebat hujan menuju suatu tempat yang disebut Indonesia.
Aku membayangkan, jika benar kami berasal dari keping yang satu, berarti kami satu atom. Satu isotop, satu zat yang sama atau entah apa pun namanya. Tapi kekeliruanku adalah saat terlahir aku dinamai Pahlawan. Padahal aku belum pernah pergi ke medan perang seperti ayah.

Ayah juga tak pernah memberi jawaban. Apalagi ibu, karena ia hanya sibuk berdoa. Saat aku ragu pada hidup, aku berjumpa wanita itu? Ia menubuatkan sesuatu, menubuatkan sebuah masa ketika aku ditawan dan disiksa?

Tak ada yang dapat menjelaskan ramalan itu. Tidak juga magnit dan internet. Akibatnya aku mabok dan setiap kali sadar tahu-tahu sudah terluka dan wanita itu merawat aku dalam pelukannya yang harum dan hangat.

Kukatakan. Aku tak percaya sejarah Adam atau penamaan Jesus orang suci itu terulang lagi. Pastilah terlalu mengada-ada jika Tuhan juga mengutus malaikat menghadrik ibu seperti ia kepada Hawa. Seperti ia memerintahkan Maria menamai anaknya Jesus. Akhirnya aku berspekulasi kalau ini adalah konspirasi kosmic yang terlalu dilebih-lebihkan. Dan celakanya tak pernah ditulis dalam kitab kehidupan.

Aku diam, wanita itu ikut terdiam. Ia telah menjadi teman gaib yang memiliki wujud. Kami tak menemukan jawaban. Sore itu kami hanya menatap sisa kelebat burung menghilang di kaki cakralawala bersama mata hari Khatulistiwa yang perlahan-lahan lenyap.
“Engkau adalah tawanan?” ujarnya tiba-tiba. 

“Aku tidak mau!” kataku seakan mengucapkan sepotong doa terakhir.
“Tapi aku tahu engkau adalah seorang tawanan,” ujarnya dengan bibir gemetar. Kurasakan tangan dan tubuhnya juga berguncang.

Wajahnya perlahan-lahan membiru menandakan ia akan segera nenghilang. Ah, barulah aku sadar bahwa sesungguhnya kami adalah satu. Karena itu, ketakutanku adalah kengeriannya. Pedihku adalah air matanya. Saat mata kami beradu sore itu, aku melihat sabda yang melesat bersama mata panah. Aku menjadi semakin lemah. Seumur hidupku, aku belum pernah menghadapi ketakutan sengeri ini.

Jika Jesus berkeringat darah menjelang disalibkan. Maka aku bahkan sekarat tanpa keringat, karena sudah mengering disapu ketakutan.

Aku tenggak secawan anggur bercampur coca-cola sekali lagi, menghalau ngeri. Ketika pelayan caffe menuangkan lagi anggur terakhir ke cawanku, aku mulai merasa aneh. Pandanganku berubah semakin terang walau agak berkunang-kunang.

“Maafkan, karena kita bukanlah pewaris hukum waktu. Maafkankan aku sayang,” isaknya dengan tubuh melayang dan mata berkaca-kaca. Aku merasakan betapa besar makna cinta saat itu. Menjelang detik-detik aku melihat kitab langit terbuka, aku seperti mendapat pengetahuan. Ternyata ruh kami telah bersama sejak lama, menjalin cinta yang melampaui hukum bumi dan waktu serta tradisi galaksi manusia.

Dari sebuah naskah sejarah penciptaan yang dibentangkan, kuketahui kami adalah sekepingan di masa lalu. Kami dipisahkan oleh sebuah ledakan dahsyat di alam semesta raya sehingga tercerai dan baru berjumpa semula setelah melewati portal waktu dalam hitungan entah berapa miliar tahun cahaya. 

“Aku mencintaimu, sangat!” rintihku.
“Karena itu engkau akan disalipkan.” 

Wanita bertudung itu pun berlari menembus awan sambil menangis. Ia meninggalkanku di tepi pantai itu. Sementara tali gaib yang menghubungkan aku dan dirinya semakin mengeras, dingin dan akhirnya beku. Langit berubah mendung, cakrawala mengangga dan tampaklah sebuah lubang hitam. Dari dalamnya terdengar suara bergemuruh.
Aku hidup dalam pengecualian. Bahkan mungkin diciptakan tanpa DNA Adam dan Hawa. Kini tibalah saatnya Pahlawan disesah.

***

Hati Pahlawan itu terluka. Sebuah panah menancap telak di dada kirinya sebelum ia sempat mengelak. Laskar cinta menawannya, merusak separoh dari jantungnya hingga hampir saja ia menyerah dan menghujat Tuhan. Tapi ia menggigit lidahnya hingga hampir putus, supaya itu tidak ia lakukan. Ia menahan ngilu-rindu yang mengiris seluruh perasaannya. Ia pejamkan mata dan membayangkan surga untuk mengobati rasa sakit, tetapi laskar cinta itu menyesahnya dengan cambuk yang di setiap ujungnya terdapat pengait. Siksa yang dijalaninya melebihi rasa sakit bekas tusukan sebuah bayonet.

Nun di masa lalu, ayah pernah menangkap seorang malaikat. Mencabuti semua bulu sayapnya dan mengikatnya di tiang gawang lapangan sepak bola. Ketika hujan turun dan banjir datang seluruh tubuhnya tercuci oleh air hingga bugil. Ia telah menjadi sosok manusia biasa sebelum langit menangkapnya kembali4) dan menjadikannya seekor burung. Orang-orang di kota itu kemudian mengisahkan kedua kisah itu sebagai sebuah legenda hingga sekarang.

Lorong Kota Hantu, 2005


Catatan:
*) Edisi Revisi 27 Januari 2007
1) Llawan kata dari Neraka
2) Wanita yang dikuduskan dalam tradisi agama Katolik Roma, jika lelaki disebut Santo.
3) Nama sebuah lapangan di tengah-tengah kota Kuching, Sarawak, M’Sia
4) Lirik Lagu yang dipetik dari album Bintang Di Surga, Peterpan.

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more