Sehon Sang Loya


Pria itu tak berbaju. Cuma mengenakan pantolan warna coklat dan berikat pinggang ketat. Saya menyalaminya ragu-ragu.

”Mering,” kata saya singkat.

Belum lagi dipersilahkan duduk, keringat saya sudah jatuh. Panas dan gerah sekali. Di luar sana, matahari khatulistiwa seolah ingin membakar seluruh kota.

Andika Lay, guide saya membuka pembicaraan. Kami duduk mengitari sebuah meja kayu kokoh di tengah-tengah ruangan tamu. Saya dan Andika sudah lama kenal,
karena kami sama-sama pengurus Unit Pemadam Kebakaran Gotong Royong Siantan. Mereka berbicara dalam bahasa Tionghoa. Seperti orang bego saya cuma mengangguk-angguk saja karena tak faham.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya bertemu pria ini. Sekitar sebulan sebelumnya saya sempat menjabat tangannya saat peresmian Toa Pek Kong di Selat Sumba II, Siantan Tengah.

Jadi kami cepat akrab. Empat gelas kopi pun tandas. Tapi saya menyerumput sedikit saja. Seorang wanita bertubuh subur nongol dari dalam rumah membawa 6 iris nanas segar yang menerbitkan air liur. Saya cuma bisa menelan ludah, kuatir maag saya ’marah’ jika nekad me
mamah hidangan tersebut.

”Ayo..., ayo…makanlah.”
”Terima kasih,” kata saya pasrah.

Atas nama penyakit maag, sebenarnya saya tak akan minum kopi atau makan buah nanas. Tapi apa boleh buat, dari pada menyinggung perasaan sang tuan rumah.
Akhirnya saya berterus-terang juga, kalau saya mengidap penyakit maag.

”Nah, kebetulan, beliau ini kan tabib,” kata Andika.
Asap rokok Ji Sam Soe yang dikepulkan pria itu berdenyar-denyar di ruangan tengah. Dia minta izin, menyentuh urat nadi saya.
”Saya periksa me’ orang, untuk cari tahu penyakitnya.”

Yang dia maksud me’ adalah urat nadi di pergelangan tangan. Saya diam, dia
juga diam mengamati detak jantung saya.

Sekali lagi dia menyedot kreteknya dalam-dalam. Lantas minta izin sebentar ke dalam, mengambil beberapa bungkus ramuan, juga seteko cairan hitam ke coklat-coklatan. Itu arak obat khas shinse,” kata Andika ketika melihat saya agak cemas.

”Terima kasih.”
”Ini saya ada ramuan obat maag, kasi air panas. Tutup sebentar, baru diminum,” katanya sambil menyodorkan dua bungkus bubuk warna tanah.
”Ohya, kalau ini obat arak, untuk kasi sembuh yang tangannya kesemutan, suka kedinginan, sakit pinggang, lemah syahwat, atau sakit tulang urat.”

Saya memandang Andika. Dia tersenyum memberi isyarat agar tak menolak. Pria itu menuangkan beberapa cc cairan ke cawan saya.

”Alamak, ini bakal panjang ceritanya,” pikir saya.

Dua butir peluh di jidat kembali luruh. Panas-panas begini kok disuguhi arak. Arak yang bisa mendongkrak syahwat pula.

***

Awal tahun 50-an, hiduplah seorang Loya terkenal di Purun. Namanya Chang Kim Chiung. Sejak umur 16 tahun ia sudah dinobatkan sebagai Loya sekaligus tabib yang pandai meracik obat. Rumahnya hanya sektiar 2 Km dari bekas kantor cabang Lan Fang Kongsi yang sekarang menjadi vihara Tri Dharma di Purun Kecil, Kabupaten Pontianak. Lan Fang atau Lo Fong Fak adalah presiden pertama Republik Lanfang tahun 1777 yang berpusat di Tung Ban
Lit. Sekarang disebut Mandor.

Chang memiliki beberapa buku, mengenai tanaman obat-obatan dan ilmu tabib. Tak diketahui persis asal-usul Chang. Bahkan cucunya pun tak tahu. Mungkin saja nenek moyangnya salah satu dari anggota kongsi dangang Cina dalam kekuasaan Republik Lanfang. Menurut Schaank (1893) sebagian besar orang Tionghoa yang berada di Mandor ketika itu berasal dari lembah bagian Hulu Sungai Han, di daerah Timur Laut Guangdong, Cina bagian Selatan. Bila melihat nama Chang yang disandangnya, kemungkinan besar nenek moyangnya berasal dari Hu Lai.

Hari Poerwanto dalam bukunya yang bertajuk Orang Cina Khek dari Singkawang, terbitan 2005 lalu, menuliskan bahwa asal-usul orang Tionghoa Kalbar, adalah dari daerah pedesaan di Provinsi Guangdong, Cina Selatan. Mereka adalah komunitas yang berbahasa Hakka atau Khek.
Chang sang loya adalah orang Khek. Walau tinggal di desa, reputasinya sebagai tabib dan loya dikenal hingga ke Mempawah, Singkawang, Pontianak dan sektiarnya.

Nah, pria yang tengah menjamuku ini adalah cucu Chang Kim Chiung. Warga gang Mantuka dan sekitarnya memanggilnya Loya Sehon. Di kartu namanya yang belambang yin dan yang, tertulis Chang Se Hon. Tapi nama sebenarnya adalah Chang Dji Fa. Saat kami wawancara, Sehon ditemani Abi alias Ali, ketua RT setempat. Ali juga tak mengenakan baju, di lengannya ada tato entah motif apa.

Ayah Sehon adalah Chang Khun Jau. Dia cuma petani sederhana di Purun. Sehon dilahirkan dalam keperihatinan 14 Oktober 1952 silam di tempat yang sama. Ia tak pernah bercita-cita menjadi Loya, hingga suatu hari jatuh pingsan dan kesurupan.

Peristiwa itu terjadi setahun setelah sang kakek meninggal dunia. Umurnya baru 15 tahun kala itu.
”Mula-mula, saya dikira gila,” kenangnya.

Namun setelah dibawa ke Pek Kong Sam Sip Liuk Kong Sen di Purun, barulah diketahui kalau itu adalah pertanda Sehon akan menjadi seorang Loya seperti Chang Kim Chiung, kakeknya.

Beberapa Loya yang dimintai bantuan mengatakan roh-roh penolong kakeknya selama ini ingin ‘bermigrasi’ ke tubuh Sehon. Namun karena Sehon belum siap, dia jadi sering kesurupan. Ini pula yang jadi biang Sehon muda putus sekolah di kursi kelas 4 SD. ”Akibatnya saya pun tak bisa baca,” katanya merendah.

Meski pun sederhana tapi Sehon bukan orang Miskin. Saya sempat melihat seperangkat elektronik bermerk. Di rumahnya yang berwana pink di gang Mantuka, RT 3 RW 13, Siantan Tengah, ia mampu menghidupi 6 anaknya dan seorang cucu yang masih bayi.

***

Di lain waktu Kami duduk mengitari meja persegi empat sederhana berwarna merah agak kusam di lantai dua rumahnya.

Meja itu sengaja diletakan di ruangan terbuka, terpisah dari ruangan pemujaan. Di sebelah barat balkon ada Thien Sin Ja. Yaitu kotak merah kecil penjaga untuk meletakkan dupa sembahyang. Hari sudah menjelang senja ketika wawancara kedua kami dibuka. Kali ini Sehon mengenakan kaos berkerah biru gelap.

“Saya meracik obat sendiri, tapi jika tak ada obat, saya tulis resep saja,” katanya. Sebenarnya dia bicara agak pelat, tak persis seperti yang saya tulis. Tapi saya paham yang diucapkannya.

Kali ini pun kami ditemani tiga gelas kopi. Untuk Andika, Sehon dan Saya. Sekali lagi saya menolak sambil minta maaf.

“Pak Sehon belajar dari mana meracik obat?”

Dia diam sejenak. Lalu pamit ke ruang pemujaan. Tak lama kemudian nongol lagi dengan beberapa buku kumal di tangan, Buku itu ditulis dengan aksara mandarin, lengkap dengan gambar. Salah satunya tentang tanaman dan obat-obatan. 

Saya jadi teringat beberapa catatan Mahuan yang diceritakan Gavin Menzies dalam buku Cina Menemukan Dunia 1421. Mahuan adalah juru tulis Laksamana Cengho yang banyak meninggalkan catatan tentang tanaman obat-obatan seperti di buku Sehon ini. Beberapa di antaranya buku warisan Chang Kim Chiung. 

Tapi buku yang berwarna pink—yang sebenarnya sudah tidak pink lagi—didapatnya dari keturunan Dewa Liu. Nama sebenarnya adalah Liu Shian. Konon dia adalah manusia yang telah mencapai kesempurnaan dan dianggap dewa, wafat 160 tahun silam. Liu Shian semasa hidupnya mengabdi sebagai pendeta di Thian Kao Tong di Banti Lung, Anjuangan.

“Ini Buku Kitab Dewa Langit,” ujarnya.

Fungsinya untuk mengobati kesurupan, mengusir bahkan memusnahkan roh jahat. Kalau roh itu tidak bandel cukup diusir dengan mantra Nyit Nyet Sen Kong. Tapi jika melawan, roh jahat bisa dimusnahkan dengan merapal mantra Sam Kong Cin Jin.

Sebentar kemudian Sehon sudah komat-kamit merapal mantra. Sementara telapak tangan kanan ditempelkan di dada, seperti pendeta China saat berdoa.

“Liu tho lin chiang ng fong ban fab loi thing tian kim kong thu miau fab. Siu ap yau sia, chamhie jang bu cung, jau sia put fuk cin toa kaou….”

Permainan irama mantra membuat kerongkongan saya tercekat. Saya berkeringat lagi. Tapi Andika bilang tak apa-apa. Sehon cuma mendemonstrasikan bagaimana caranya merapal mantra. Owala…, saya kira tadi Sehon kesurupan.

Meski Loya, tapi Sehon tidak pernah melakukan praktik seorang Tatung. Yaitu mereka yang mengamalkan kekuatan supra natural hingga kebal senjata tajam. Beberapa juga karena kesurupan roh nenek moyang. 

Di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, biasanya ada pawai Tatung besar-besaran. Lengkap dengan pakaian kebesaran layaknya para dewa bila Chap Go Meh tiba. Meski berbeda, atraksi Tatung hampir mirip dengan Thaipusam di Singapura. Mereka juga menusuk pipi, lengan dan bagian tubuh lainnya. Kadang-kadang berjoget di atas pedang to kiau.

Loya Sehon ogah berurusan dengan senjata tajam. “Dewa Liu melarang saya buat demikian,” katanya. Rambutnya yang berdiri tegak seolah tak bergerak ditiup angin senja.

Sehon fokus mengobati pasien sebagai Loya dan shinshang saja. Surat Kejaksaan Negeri Pontianak berbingkai kaca tergantung di salah satu sudut ruang pemujaan. “Tanda pendaftaran aliran kepercayaan masyarakat shinshang/akupunktur.” Demikian bunyi surat itu. Jaksa Pratama Ariefsyah M Siregar SH, menandatanganinya pada 08 September 2000 silam.

Selain altar, persembahan dan dupa, di ruang pemujaan juga penuh gambar dan patung dewa. Patung Lo Fong Fak hingga patung Budha. Mulai dari yang setinggi pinggang hingga ibu jari orang dewasa. Ada juga baju kebesaran Dewa Liu yang dipakai Sehon kala mengobati pasien. Semuanya tersaput jelaga dan debu dupa.

Dari orang awam, pegawai negeri hingga aparat negara datang ke padanya. Ada yang berobat atau sekadar minta nasihat. Mulai dari yang cuma sakit perut hingga yang kena guna-guna, yang kesurupan roh jahat atau sakit cinta. Sehon tak segan-segan menolong orang. Bahkan ketika saya ingin membayar sejumlah obat Maag yang dia berikan, Sehon menolak.

Di ruang pemujaan itu ada juga Jau Chiam. Yaitu tabung bambu yang kerap diguncang orang Tionghoa meramal peruntungan.

Karena penasaran saya tanya bagaimana ia bisa menguasai begitu banyak pengetahuan ketabiban. Padahal ia sendiri mengaku tak bisa membaca. “Saya belajar, bahkan harus menjalankan puasa yang ketat dan tak makan daging,” katanya.

Anehnya, tak cuma Dewa Liu atau roh-roh leluhur yang bisa merasuki Sehon saat mengobati pasien. Menurut beberapa warga yang pernah ditolongnya, Sehon juga bisa kerasukan roh Dato’. Saya tak pandai mendevinisikan apa sebenarnya roh Dato’. 

Apakah yang dimaksud adalah roh kakek atau sesepuh? Tapi biasanya yang dimaksud adalah roh orang yang semasa hidupnya punya kharisma dan kuasa seperti Sultan atau tokoh besar orang Melayu maupun Muslim.

Pantas saja di lantai 2 belakang rumah Sehon bergantung kelambu kuning. Di dalamnya ada foto 3 Sultan. Tiga dalam ukuran besar, berbingkai kaca. Tapi yang berukuran 2 x3 cm banyak sekali. Biasanya orang yang datang meminta untuk dijadikan jimat. 

Kertas berisi beberapa mantra juga ada. Dia memberi saya selembar kertas kuning berisi mantra. Mantra Bungkam Serakah. “Bismilah Kap kup likap lakup….dan seterusnya.” Sengaja tak saya tulis lengkap isi mantra ini atas permintaan Sehon.

Entah bagaimana roh Dato’ dan para dewa bisa memakai tubuh Sehon sebagai perantara dan penyembuh.

Saya pernah mengikuti diskusi situs. www.wihara.com, seorang anggota tetapnya, Dilbert menerangkan dalam dunia Sam Kaw (Tri Dharma) semuanya berhubungan satu sama lain.

Dewa dewa Taoisme, Kong Hu Cu, Agama Buddha semuanya bisa berhubungan baik satu sama lain. Setiap Ki Tong (medium) yang mempunyai dewa-dewa dari ketiga agama tetap didampingi oleh Dato’ beragama lain. Menurut Dilbert, biasanya muslim atau Hindu. Antara lain Dato’ Macam Putih, Dato’ Harimau Putih, Dato’ Kuda Putih. Beberapa kali mediumisasi Dato’, para Ki Tong fasih sekali melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Padahal saat sadar tidak mungkin berbuat demikian. Ah puyeng! Otak saya yang kecil tak bakal mampu memikirkannya.

Keringat saya menitik lagi. Padahal bumi sudah adem. Ini yang kesekian kalinya. Padahal di luar sana senja sudah berubah kelam. Seekor serangga terbang menabrak wajah saya. Inilah pertanda saya harus pulang. (publish in Borneo Tribune, 20 November 2007)


2 Comments

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more