Negeri Mimpi

Ilustrasi saja

Cerpen: Wisnu pamungkas

Di negeri ini, mimpi adalah sebuah kemewahan! Tak banyak yang mampu membelinya kecuali presiden, menteri, para konglomerat hitam dan orang kaya yang punya timbunan duit segudang. Jangan harap orang kecil seperti aku bisa menikmati mimpi yang hebat. Asal tahu saja sekeping mimpi besar di sini harganya sama dengan dua kilogram uranium.

Tapi memanglah tidak begitu menjadi soal bagi seorang pemindai mimpi seperti aku. Meskipun tentu saja masih memiliki mimpi-mimpiku sendiri, tetapi sejak bekerja sebagai pencatat mimpi di sebuah lembaga riset dan pengembangan mimpi—mirif laboratorium—swasta Negeri Mimpi ini, aku merasa tak kekurangan apa-apa. Dalam 24 jam sehari, ketika memelototi komputer untuk memeriksa semua e-mail yang masuk ke situs kantorku, aku dapat menikmati bermacam-macam mimpi yang dikirim oleh komputer dan situs rumah tangga dari semua penjuru negeri ini. Mimpi-mimpi itu aku periksa satu-satu sebelum diberi indeks sesuai dengan klasifikasinya masing-masing. Dengan demikian aku bisa menghemat mimpi-mimpiku sendiri, bukan?!


Karena aku bukan seorang ahli komputer, jangan tanya padaku bagaimana mimpi orang-orang di negeri ini bisa ditransfer ke sebuah sofware komputer. Kemudian terkirim secara atomatis dari komputer-komputer rumah tangga warga Negeri Mimpi ke alamat e-mail atau home page perusahaan tempat aku bekerja. Namun demikian terkadang aku juga sering mencuri-curi tahu bagaimana mimpi-mimpi itu dikumpulkan sebelum dicetak menjadi sebuah chipsebesar pentul korek api dan siap dipasarkan.


Sebenarnya ratusan tahun yang lalu, nenek moyang bangsa ini juga berbakat untuk bermimpi, sejak mereka dilahirkan. Namun di suatu saat yang entah kapan, Negeri Mimpi pernah mengalami sejarah hitam dimana sebuah rezim yang sangat lalim dan kejam telah merampok dan merampas akal budi mereka habis-habisan. Tak ada yang tersisa walau hanya sekedar sebuah kecerdasan untuk melahirkan selarik mimpi saja. Mereka menguras hati, dada dan isi kepala orang-orang yang hidup seperti memerah susu sapi hingga keropos, kecuali darah dan otak yang gersang.


Karenanya bila di negeri ini ada di antara penduduknya yang masih bisa bermimpi, ia pasti akan menjadi milyuner. Pemerintah Negeri Mimpi pasti akan melindunginya lebih dari menjaga sebuah dokumen negera. Sebab hanya dengan bermimpilah di kota tempat aku bekerja ini pabrik-pabrik masih bisa mengepulkan asap.


Yang merana tentu saja orang-orang kecil serta rakyat jelata. Mereka nyaris tak punya apa-apa lagi untuk mempertahankan hidup. Untuk bernafas saja tak jarang mereka terpaksa harus membajak mimpi orang lain seperti membajak kaset. Atau membuat chip mimpi imitasi dengan cara mendulang serbuk impian dari tempat pembuangan limbah pabrik yang kemudian diolah dengan program komputer. Tapi belakangan tak banyak yang mau mengambil resiko itu atau membeli mimpi di pasar illegal. Karena bila digunakan dan ditanam dalam jaringan otak, mimpi semacam ini hanya akan menyebabkan rasa sakit kepala yang luar biasa. Sangat sedikit sekali orang yang mau memakai mimpi bajakan atau hasil cetak rompak para hackher yang dijual di pasar gelap Negeri Mimpi, kecuali memang sudah benar-benar sekarat. Karena seperti halnya VCD bajakan yang banyak dijual di kaki lima, chip mimpi palsu justru hanya akan menghancurkan otak dan tubuh sebagai media player-nya. Padahal untuk memiliki jiwa-raga yang sehat, seseorang memerlukan mimpi yang orginal dan tentu ada garansi dari pabrik, minimal 1 tahun. Demikian rekomendasi seorang dokter di Negeri Mimpi!


Di negeri ini, mimpi adalah sebuah kemewahan! Tapi aku tetap saja hanyalah seorang pemindai sekaligus pencatat mimpi yang kesepian. Kecuali komputer, sederetan e-mail, foto kekasih di dinding apartertemen, aku memang nyaris tidak punya siapa-siapa di negeri ini. Begitulah barangkali setiap orang harus hidup kesepian di negeri yang hampir-hapir tanpa sebuah pilihan ini. Di sebuah negeri dimana dunia selalu berwarna kelabu, dingin, dan terselubung asap yang berasal dari cerobong-cerobong pabrik mimpi. Karenanya sejauh mata memandang di Negeri Mimpi yang terlihat hanya salju, debu dan bayang-bayang hitam pepohonan serta reruntuhan gedung tua yang sudah lama ditinggalkan. Matahari di Negeri Mimpi pun kabarnya hanya bisa terlihat setiap 5 tahun sekali, apabila suhu udara bisa mencapai 25 derajat celcius.


Namun yang membuat bulu kudukku berdiri, ternyata di negeri yang hampir membeku ini banyak sekali perampok? Menurut seorang lelaki pemilik kedai makanan yang berada tak jauh dari kantor tempat aku bekerja, hampir separoh negeri di luar gerbang kota sana adalah milik para garong, bandit dan pencoleng. Karenanya aku hampir tak pernah berani berjalan lebih dari 500 meter dari kantor atau apartemenku yang terletak persis di jantung negeri. Orang asing yang pergi ke luar kota tanpa di kawal khusus, niscaya hanya akan pulang tinggal namanya. Pasti itulah sebabnya mengapa ketika aku tiba sekitar setahun yang lalu di negeri ini, sejak dari bandara dikawal ketat seperti pengawalan seorang wali kota.


“Tapi anda jangan terlalu kuatir, mereka itu hanya merampok mimpi,” kata lelaki pemilik kedai itu menasehati. Semula aku memang tak mengerti bagaimana mimpi seseorang dapat dicapolok seperti merampas makanan? Sasaran perampokan pun, tambah lelaki itu lagi, hanya para konglomerat kota Negeri Mimpi, pekerja asing dan turis. Aku memang belum tahu ketika itu kalau di kota ini mimpi ternyata bisa diproduksi dan diperjualbelikan seperti perhiasan.


“Tuan pastilah orang baru, tapi nanti juga tuan pasti mengerti,” ujar lelaki itu ramah. Matanya yang sipit di bawah siraman cahaya bohlam 5 watt di ruangan itu membuat ia tanpak seperti seseorang yang selalu tersenyum. Dari tampangnya aku hampir pasti ia bukanlah orang Negeri Mimpi. Barangkali adalah orang Cina perantauan, atau setidak-tidaknya berasal dari ras Asia. Sebab menurut literature yang pernah kubaca, di negeri mimpi sebagian besar rakyatnya sudah pernah menderita semacam penyakit aneh yang disebabkan radiasi limbah pabrik mimpi. Pada suatu masa yang lalu sebuah pabrik pernah meledak di Negeri Mimpi, semua serbuk mimpi dalam pabrik yang belum dijinakan menghambur ke udara kemudian ditiup angin dan menjadi wabah menakutkan diseluruh negeri hingga 200 tahun lamanya.


Wajah dan seluruh tubuh penduduk ditumbuhi benjolan-benjolan mengerikan seperti sebuah kutukan. Walau demikin penyakit itu tidak menjangkiti orang sembarangan, tidak kepada orang asing atau mereka yang tak memiliki darah keturunan Negeri Mimpi. Bahkan warga negeri mimpi sendiri pun bisa terhindar bila saja masih memiliki sekedar sebuah karunia untuk bermimpi. Cara lainnya adalah dengan mengonsumsi mimpi dari pabrik. Masalahnya seberapa banyakah lagi orang kaya di Negeri Mimpi yang mampu membelinya sebulan sekali?


Tapi itu bukanlah urusanku, tentu saja! Aku Cuma sedikit terganggu oleh selera dan kebiasan makanan orang di Negeri Mimpi. Selain daging dan kacang-kacangan, penduduk negeri mimpi ternyata Cuma makan ketang, telur dan mentega saja. Lalu bagaimana para penduduk Negeri mimpi bisa mempertahankan hidup sementara digegerogoti penyakit, dalam dingin yang membekukan dan selalu diintai perampok? Dari yang dapat kupahami mengenai penduduk negeri mimpi, mereka tak ubahnya dengan sebuah misteri. Orang-orang itu seakan-akan hanyalah sosok bayang-bayang kelabu yang bisa datang dan pergi tiba-tiba, kapan dan dimana saja ke balik kelam.


Kabarnya sudah hampir 7 generasi ritual kehidupan semacam itu mereka jalani tanpa rumah dan warisan, tanpa mimpi dan harapan. Penduduk Negeri Mimpi berpakaian mirip gelandangan, mengenakan mantel bulu yang selalu tertutup penuh tambalan, layaknya para pengemis, menebarkan bau amis dengan wajah berlendir dilumuri nanah yang selalu meleleh dari benjolan yang mengerikan di sekujur tubuh mereka. Tapi aku kemudian melihat bahwa itu justru sebagai sebuah kearifan, sebuah kecerdasan untuk mendaur ulang penderitaan menjadi tenaga listrik kehidupan yang tak pernah redup hingga beratus-ratus tahun lamanya. Bersama keluarga, mereka hidup sembunyi-sembunyi kalau tak bisa dikatakan sebuah budaya. Mereka selalu bermigrasi dari lorong ke lorong atau dari gorong-gorong yang satu ke gorong-gorong berikutnya yang selalu basah, bacin di bawah tanah dalam kota, bersama tikus got, kecoak, ular dan kelelawar yang sekaligus menjadi makanan selingan mereka. Supaya tidak membeku, mereka membuat api unggun dengan membakar apa saja di liangnya, termasuk limbah mimpi yang sebenarnya menyebabkan tubuh mereka terinfeksi semakin parah.


Jika suhu udara naik sedikit lebih panas, kadang-kadang ada diantara mereka yang pindah ke celah-celah reruntuhan bekas bangunan yang musnah akibat peperangan di masa lalu. Anak-anak sesekali tanpak bermain di tikungan-tikungan jalan yang juga kelabu, dan tiba-tiba menghilang ke dalam bongkahan salju bila ada orang asing yang kebetulan lewat.


Konon kabarnya di masa lalu, Negeri Mimpi sebenarnya adalah sebuah negeri yang kaya, dimana pondasi perekonomiannya—yang juga sekali lagi kononnya—dibangun dari mimpi salah seorang konglomerat sekelas Soros. Namun belakangan, kota ini nyaris menjadi kota mati setelah dihantam badai resesi yang sangat dahsyat. Menyusul pemberontakan besar-besaran oleh rakyat negeri itu terhadap rezim seorang penguasa yang sangat lalim dan korup luar biasa.


Sejak saat itu, yang tersisa di Negeri Mimpi hanyalah para perampok, para berandalan, kepulan asap dan debu dari cerobong pabrik mimpi yang mengalirkan limbahnya ke seluruh negeri.

***
Di negeri ini, mimpi tentu saja sebuah kemewahan! karenanya sebagai pencatat mimpi aku tidak berhak mengubah atau menambah ratusan risalah mimpi yang disodorkan orang-orang setiap hari kepadaku di kota ini. Tugasku hanya mencatat, memberi nomor pada file dan indeks pada semua folder mimpi itu setiap hari. Agar saat dibutuhkan, mimpi-mimpi itu dengan gampang ditemukan dan dikeluarkan kembali dari tempatnya.


Kata bosku, bermimpi di negeri ini sama ruwetnya seperti ketika sebuah keluarga ingin melahirkan anak. Maka setiap hari, dari pagi hingga petang aku terpaksa menongkrongi internet dilayar monitor Komputer kantorku untuk memeriksa semua e-mail atau kriman slide mimpi yang masuk. Kemudian aku memasukannya ke dalam folder sementara sebelum dikirimkan ke folder khusus yang sudah terformat sesuai dengan klasifikasinya masing-masing. Mulai dari jenis, judul mimpi sesuai urutan abjad, durasi, tanggal mimpi itu dilahirkan, alamat lengkap dan biodata orang yang melahirkan mimpi tersebut dicatat dengan seksama. Bahkan status para pemimpi itu pun aku catat dengan cermat sehingga setelah setahun aku bekerja dengan mudah aku dapat membedakan mana mimpi wali kota atau mimpi seorang perampok.


Bila tidak sedang bekerja, biasanya aku akan menghabiskan waktu duduk di dekat jendela apertemen, memandang ke luar sambil menatap seluruh kota yang putih keabu-abuan oleh hujan salju dan debu mimpi, seperti sebuah hamparan dari cairan timah beku yang baru saja dituangkan dari langit. Terkadang aku terpesona oleh keindahan kota Negeri Mimpi ini, walau sebenarnya juga menyisakan kengerian.


Oleh perusahanku, aku diberi tempat tinggal istimewa, di lantai 4 gedung bekas musium yang memudahkanku menikmati semuanya itu. Tapi dipilihnya perpustakaan ini barangkali karena jaraknya yang tak terlalu jauh dan cuma 100 langkah saja dari bangunan tempat aku bekerja.
Menurut cerita yang pernah kudengar dari Zulma—seorang pelayan perempuan berumur 40-an di apartementku— beratus-ratus tahun yang lalu, museum ini adalah tempat menyimpan semua harta budaya sejarah dan bukti kejayaan nenek moyang penduduk Negeri Mimpi. Tapi kini semuanya sudah ludes dijarah dan dijual penguasa zalim nan serakah yang pernah menguasai negeri. Tetapi fisik bangunannya masih tetap kokoh, dipelihara menjadi sebuah apartemen bagi orang asing seperti aku atau para pekerja sementara di Negeri Mimpi.


Di luar jendela cuaca semakin gelap. Barangkali sebentar lagi akan ada badai salju. Semua jalur telekomunikasi dengan dunia luar, termasuk program siaran televise sudah 6 bulan terakhir tak berfungsi sama sekali karena dilanda cuaca buruk. Untuk menghalau dingin yang merembes masuk lewat celah-celah ventilasi kamar, aku menyalakan penghangat ruangan pada angka 30 derajat sambil mengunyah kentang dan meneguk segelas kopi hangat dekat jendela. Karena dari jendela itulah selama ini aku dapat menyaksikan bagaimana kehidupan di kota ini berjalan siang-malam. Tapi perlu kupertegas lagi bahwa siang dan malam di negeri mimpi sebenarnya nyaris tak ada batasan. Tiada tanda yang dapat membedakannya, kecuali jam tua yang tergantung di dinding kamarku yang warnanya sudah sangat kusam. Karena kota selalu kelihatan sama, sama-sama pucat, sama-sama kelabu dan sama-sama sendu. Pada siang hari pun kota tetap saja terselubung jerebu beraroma belerang yang dimuntahkan cerobong-cerobong raksasa pabrik yang mengepulkan asap sisa pembakaran materi mimpi sebelum di package dan di jual.


Bulan-bulan pertama bekerja di negeri mimpi, aku mengira kota ini tak berpenghuni selain kami para pekerja asing. Dan setiap kali memandang keluar jendela, yang tanpak olehku hanyalah sosok menyerupai manusia yang bergerak tergesa-gesa. Barangkali lebih mirip sekelebatan bayangan, membentuk titik-titik hitam yang bisa tiba-tiba menghilang dalam sekelip mata, entah lah. Karenannya aku hampir tak percaya kalau separoh wilayah dari negeri mimpi ini sudah dikelilingi perampok juga masyarakat negeri mimpi sendiri yang teramat misterius. Tapi lagi-lagi aku tak begitu peduli, toh disini aku hanya bekerja dan kontraknya tinggal sebulan bulan lagi. Aku akan segera kembali ke bumi terkasih.


Tetapi hidup dalam kesepian membuat aku kerap tergoda untuk mengetahui apa yang terjadi. Rasa penasaran yang mengalahkan ketakutan membuatku selalu ingin berjalan kaki sampai ke ujung alun-alun, dekat pintu gerbang yang memisahkan pusat kota dengan kawasan pemukiman. Apalagi meski hampir setahun di sini, belum sekalipun aku berhasil bercakap-cakap atau sekedar saling menyapa dengan penduduk Negeri Mimpi, kecuali dengan Zulma, wanita tinggi semampai yang tanpak masih cantik itu.


Tapi tanpaknya ia sudah tidak lagi mirip dengan penduduk negeri mimpi yang kerap terlihat di luar sana. Ia sudah sangat terbiasa dengan minyak wangi, lipstick, anti biotic dan kerab bermain cinta dengan tamu-tamu asing yang menginap di apertemen, kecuali denganku tentu saja. Karena untuk urusan biologis seperti itu aku sudah bersumpah tidak akan melakukannya di negeri yang tak kukenal.


Setiap kali berpas-pasan di jalan, penduduk Negeri Mimpi selalu menghindar, menghilang bak gerak seorang ninja. Tahu-tahu ia sudah menyelinap, hilang dalam bayang-bayang cuaca. Apalagi di negeri mimpi, banyak sekali puing bangunan yang kemudian membentuk lorong yang panjang diantara bongkahan salju dan terowongan-terowongan gelap yang entah menuju ke mana.

***

Hari masih terlalu pagi kukira. Gelombang udara dingin yang menusuk hingga ke sum-sum tulang, berkali-kali menghempaskan butiran-butiran salju di luar jendela hingga menjelma suara suitan-suitan panjang yang purba. Aku makin merapatkan selimut tanpa sedikit pun membuka mata, karena memang masih mengantuk. Tetapi ganjalan keras seperti logam dingin mendarat di jidatku membuat aku terpaksa memicingkan mata. Astaga! Aku terlonjak hendak melompat dari atas ranjang. Ternyata wanita pelayan apertemenku itu sudah mengangkang telanjang, berdiri di atas tubuhku sambil menodongkan senapan.


“Bergerak, berarti setuju kutembak,” ujarnya menggertak. Dengan gerakan perlahan-lahan, perempuan itu berjongkok menindih perutku dengan pistol yang masih di tangan. Matanya bercahaya, menebar pesona maut yang mematikan. Serasa diantara sadar dan bermimpi, aku masih dapat melihat ia bergerak, mengokang senjata sebelum menenggelamkan moncong pistol itu ke mulutku, hingga jalan nafasku tersumbat.


Hari masih terlalu pagi kukira. Tetapi pasti aku sudah tak ada waktu lagi, meskipun hanya untuk sekedar memanjatkan sepotong doa. Nyawaku sudah berada di beranda dunia orang mati!
“Serahkan mimpi anda atau nyawa,” kata wanita itu yang entah berdesah atau berbisik. Tapi memang aku sudah kehabisan masa untuk menyadarinya. Tanganku hanya bisa menggelepar-gelepar di atas ranjang, mencoba menggapai sesuatu. Sebuah pukulan keras yang menghantam tengkorakku membuat dunia tiba-tiba menjadi redup. Kini aku seakan berada di sebuah benua yang seluruhnya terbuat dari lempengan mimpi. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, sayup-sayup masih kudengar mesin gergaji pemotong dinyalakan berbaur dengan cekikikan perempuan dan dengusan buas birahi seorang lelaki.

Memang, aku hanyalah seorang pemindai yang sepi,
perampok abadi dari mimpi ke mimpi!



Sanggau 2004


*) Diterbitkan di majalah Sastra Jendela Sarawak, Malaysia

Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more