By Wisnu Pamungkas
Tugas Ayah adalah membebaskan negara dari cengkraman Negara. Karena bagi Ayah tiap Negara yang pernah lahir di dunia ini tiada bedanya dengan penjajah yang menzalimi rakyat. Karena itu Ayah bersumpah, dalam kehidupan kini maupun yang akan datang ia ingin menjadi pejuang. Menjadi klandestin yang militant untuk mematahkan kekuasaan Negara terhadap setiap aspek kehidupan rakyat.
Eit, tunggu dulu. Anda jangan mengira Ayah berniat menjadi pahlawan seperti yang diceritakan di buku-buku sejarah! Atau seperti Sudirman yang memanggul senapan ke medan perang!? Bukan! Ayah bukanlah orang yang latah memahami makna sebuah revolusi. Ayah sama sekali tidak sama dengan para pejuang kemerdekaan dalam kisah-kisah buku sejarah yang ketika pulang dikalungi mendali penghormatan! Karena ayah bukan Sengkumang (orang yang gila pangkat, Pen) atau Jendral yang pundak dan dadanya betepek bintang penghargaan!
Sekali lagi anda jangan sampai salah. Sebab Ayahlah ide yang sesungguhnya telah menggerakkan sejarah di planet ini. Sebab dalam benak ayah, negara tak ubahnya dengan sebuah tiran yang mengatasnamakan nasionalisme kemudian menyesah rakyatnya dengan rotan. Ide Negara menurut Ayah, apa pun labelnya hanyalah sebuah cara sekelompok orang untuk menindas yang lemah. Negara juga tak lebih dari kumpulan para penyamun yang atas nama undang-undang kemudian merampok dan memperkosa hak-hak rakyatnya hingga tandas. Karena itu Negara, nation, state atau apa pun judulnya yang berarti Negara kata Ayah tak lebih dari sebuah kebohongan besar untuk meraih keuntungan bagi penguasa.
Itulah yang membuat Ayah dalam perjuangannya tak pernah mau ikut-ikutan latah mendirikan sebuah negara. Ayah membenci disintegrasi, merongrong kekuasaan yang ada untuk melahirkan rezim berikutnya. Bagi ayah konsep seperti itu tak lebih dari menghilangkan migren dengan cara memenggal kepala.
Oleh karenanya Ayah tidak setuju pada semua jenis tindakan makar dengan motif kekuasaan.
Di sebuah mailing list yang disebarluaskan Ayah di internet, ia mempertanyakan arti sesungguhnya sebuah Negara. Dimana meski sercara teoritis hingga saat ini belum ditemukan satu cara pun untuk menjamin kelangsungan perjalanan sebuah koloni manusia, selain Negara, namun bagi ayah Negara tetaplah sebuah alat yang boleh tidak digunakan. Karena usang misalnya. Sedianya pun negara dilahirkan untuk menjamin hak-hak dan alat paksa bagi rakyat-nya, namun defacto justru ia cendrung menjadi alat paksa untuk menindas warga negaranya sendiri.
“Jadi ketika Negara sudah tak mampu mengayomi rakyatnya sendiri, tak mampu memberikan kesejahteraan, apalagi sebuah rasa aman, untuk apa sebuah Negara dipertahankan?” tulis ayah di internet.
Kemudian ia mengingatkan para usser, kalau teori Negara yang pernah ditulis maupun yang sedang difikirkan bukanlah sebuah kitap suci yang tak boleh digugat. Agustinus dengan terory Negara Ketuhanannya bukanlah Tuhan! Demikian juga mbah Plato, mas Hugo, atau kang Sokrates dan sederet nama pencetus terori negara yang menurut Ayah tak lebih dari kaum idealis tengik cap kodok di masanya masing-masing.
Pontianak, 24 Agustus 2006
Tugas Ayah adalah membebaskan negara dari cengkraman Negara. Karena bagi Ayah tiap Negara yang pernah lahir di dunia ini tiada bedanya dengan penjajah yang menzalimi rakyat. Karena itu Ayah bersumpah, dalam kehidupan kini maupun yang akan datang ia ingin menjadi pejuang. Menjadi klandestin yang militant untuk mematahkan kekuasaan Negara terhadap setiap aspek kehidupan rakyat.
Eit, tunggu dulu. Anda jangan mengira Ayah berniat menjadi pahlawan seperti yang diceritakan di buku-buku sejarah! Atau seperti Sudirman yang memanggul senapan ke medan perang!? Bukan! Ayah bukanlah orang yang latah memahami makna sebuah revolusi. Ayah sama sekali tidak sama dengan para pejuang kemerdekaan dalam kisah-kisah buku sejarah yang ketika pulang dikalungi mendali penghormatan! Karena ayah bukan Sengkumang (orang yang gila pangkat, Pen) atau Jendral yang pundak dan dadanya betepek bintang penghargaan!
Sekali lagi anda jangan sampai salah. Sebab Ayahlah ide yang sesungguhnya telah menggerakkan sejarah di planet ini. Sebab dalam benak ayah, negara tak ubahnya dengan sebuah tiran yang mengatasnamakan nasionalisme kemudian menyesah rakyatnya dengan rotan. Ide Negara menurut Ayah, apa pun labelnya hanyalah sebuah cara sekelompok orang untuk menindas yang lemah. Negara juga tak lebih dari kumpulan para penyamun yang atas nama undang-undang kemudian merampok dan memperkosa hak-hak rakyatnya hingga tandas. Karena itu Negara, nation, state atau apa pun judulnya yang berarti Negara kata Ayah tak lebih dari sebuah kebohongan besar untuk meraih keuntungan bagi penguasa.
Itulah yang membuat Ayah dalam perjuangannya tak pernah mau ikut-ikutan latah mendirikan sebuah negara. Ayah membenci disintegrasi, merongrong kekuasaan yang ada untuk melahirkan rezim berikutnya. Bagi ayah konsep seperti itu tak lebih dari menghilangkan migren dengan cara memenggal kepala.
Oleh karenanya Ayah tidak setuju pada semua jenis tindakan makar dengan motif kekuasaan.
Di sebuah mailing list yang disebarluaskan Ayah di internet, ia mempertanyakan arti sesungguhnya sebuah Negara. Dimana meski sercara teoritis hingga saat ini belum ditemukan satu cara pun untuk menjamin kelangsungan perjalanan sebuah koloni manusia, selain Negara, namun bagi ayah Negara tetaplah sebuah alat yang boleh tidak digunakan. Karena usang misalnya. Sedianya pun negara dilahirkan untuk menjamin hak-hak dan alat paksa bagi rakyat-nya, namun defacto justru ia cendrung menjadi alat paksa untuk menindas warga negaranya sendiri.
“Jadi ketika Negara sudah tak mampu mengayomi rakyatnya sendiri, tak mampu memberikan kesejahteraan, apalagi sebuah rasa aman, untuk apa sebuah Negara dipertahankan?” tulis ayah di internet.
Kemudian ia mengingatkan para usser, kalau teori Negara yang pernah ditulis maupun yang sedang difikirkan bukanlah sebuah kitap suci yang tak boleh digugat. Agustinus dengan terory Negara Ketuhanannya bukanlah Tuhan! Demikian juga mbah Plato, mas Hugo, atau kang Sokrates dan sederet nama pencetus terori negara yang menurut Ayah tak lebih dari kaum idealis tengik cap kodok di masanya masing-masing.
Pontianak, 24 Agustus 2006