By: Wisnu Pamungkas
Aku dapat melihat sebuah kemenangan besar di matanya. Sesuatu yang lebih dari sekedar sukses belaka. Mata yang mengisyaratkan pembalasan, cemooh, penghinaan dan sejenisnya. Ya, aku dapat merasakannya, wajahnya yang kental oleh hasyarat untuk meremehkan. Oleh ambisi, oleh ketamakan akan suatu kenikmatan yang lebih mirif penyakit kangker, membuat ia tidak bisa menutupi dirinya sendiri dari ketelanjangan serta kerakusannya sebagai seorang manusia.
Tapi bagiku ia tetap tidak lebih dari seorang sahabat, kalau pun masih mungkin kusebut demikian, atau entah siapa. Tapi paling tidak untuk saat ini aku masih merasakannya demikian. Ini pun semata-mata mungkin hanya karena alasan masa lalu, lain mungkin tidak!
Sejak ia turun dari pesawat tadi, sebenarnya aku sudah merasa ia adalah orang asing yang sama sekali baru kukenal. Tapi demikianlah—aku harus bersikap bagaimana?—memang hanya karena alasan masa lalu, dimana kultur peradaban telah mengurung kami pada satu tanah, satu kandang dan cuaca.
Sejak dulu pun sebenarnya aku sudah yakin bahwa kelak ia hanya akan menjadi bagian yang paling teruk (buruk, Pen) dalam hidupku. Ia adalah rangka yang terlalu besar untuk kubaluti. Lagi pula aku sebenarnya tak pernah berkeinginan merivalinya dalam segala hal. Termasuk mengenai persoalan-persoalan kecil yang sederhana. Aku tak pernah dan bahkan selalu berupaya menghindar sebisa-bisanya dari sebuah perdebatan, dari suatu yang paling mungkin dapat menimbulkan perselisihan. Apalagi dalam hal cinta! Aku punya keyakinan dan dunia tersendiri yang tidak bisa ia rambah (dulu ia juga pernah berusaha, tetapi tidak berhasil) dan mungkin inilah satu-satunya catatan kemenangan yang pernah aku peroleh darinya. Setidak-tidaknya akulah yang merasa begitu. Meski kerab dijadikannya pecundang.
Bagi diriku yang lebih banyak mengandalkan fikiran dan perasaan, ia-nya adalah sebuah format, sebuah kultus super ego yang menyala-nyala. Sebuah potensio yang tidak pernah konstan, liar dan nyaris berbahaya. Ia adalah suatu kesombongan yang meruap-ruap dan kejam, sebuah kejahatan yang sangat menghina dan ini kembali kurasakan saat ia sudah begitu dekat (hanya beberapa tapak) di hadapanku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan kebungahan yang sedalam ini—rasa tersudut yang begini remeh di hadapan seseorang—setelah belasan tahun kami berpisah di bandara yang sama. Bahkan aku dapat merasakan dua kali lipat lebih dahsyat dari yang pernah kurasakan sebelumnya.
Sialan, mengapa daya kuasa bangsat ini begitu kuat!
Sesekali aku mencuri-curi, menatapnya. Apakah ia benar-benar tidak pernah berubah, atawa barangkali hanya rambutnya itu saja yang sedikit berbeda, sudah nampak agak keabu-abuan disemir usia. Atau garis-garis wajahnya yang semakin tebal, semakin tanpak tegas, seperti sebuah catatan perjalanan demi perjalanan yang pasti sangat membuatnya bangga, kalau pun tidak dapat dikatakan narsis.
Aku membayangkan bagaimana ia sudah membayar semua kekalahan demi kekalahan yang hampir menggoroknya berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Demikianlah. Karena aku adalah saksi dari apa yang sebenarnya tidak dapat engkau ketahui dari cerita ini.
Pontianak 15 Agustus 1996
Aku dapat melihat sebuah kemenangan besar di matanya. Sesuatu yang lebih dari sekedar sukses belaka. Mata yang mengisyaratkan pembalasan, cemooh, penghinaan dan sejenisnya. Ya, aku dapat merasakannya, wajahnya yang kental oleh hasyarat untuk meremehkan. Oleh ambisi, oleh ketamakan akan suatu kenikmatan yang lebih mirif penyakit kangker, membuat ia tidak bisa menutupi dirinya sendiri dari ketelanjangan serta kerakusannya sebagai seorang manusia.
Tapi bagiku ia tetap tidak lebih dari seorang sahabat, kalau pun masih mungkin kusebut demikian, atau entah siapa. Tapi paling tidak untuk saat ini aku masih merasakannya demikian. Ini pun semata-mata mungkin hanya karena alasan masa lalu, lain mungkin tidak!
Sejak ia turun dari pesawat tadi, sebenarnya aku sudah merasa ia adalah orang asing yang sama sekali baru kukenal. Tapi demikianlah—aku harus bersikap bagaimana?—memang hanya karena alasan masa lalu, dimana kultur peradaban telah mengurung kami pada satu tanah, satu kandang dan cuaca.
Sejak dulu pun sebenarnya aku sudah yakin bahwa kelak ia hanya akan menjadi bagian yang paling teruk (buruk, Pen) dalam hidupku. Ia adalah rangka yang terlalu besar untuk kubaluti. Lagi pula aku sebenarnya tak pernah berkeinginan merivalinya dalam segala hal. Termasuk mengenai persoalan-persoalan kecil yang sederhana. Aku tak pernah dan bahkan selalu berupaya menghindar sebisa-bisanya dari sebuah perdebatan, dari suatu yang paling mungkin dapat menimbulkan perselisihan. Apalagi dalam hal cinta! Aku punya keyakinan dan dunia tersendiri yang tidak bisa ia rambah (dulu ia juga pernah berusaha, tetapi tidak berhasil) dan mungkin inilah satu-satunya catatan kemenangan yang pernah aku peroleh darinya. Setidak-tidaknya akulah yang merasa begitu. Meski kerab dijadikannya pecundang.
Bagi diriku yang lebih banyak mengandalkan fikiran dan perasaan, ia-nya adalah sebuah format, sebuah kultus super ego yang menyala-nyala. Sebuah potensio yang tidak pernah konstan, liar dan nyaris berbahaya. Ia adalah suatu kesombongan yang meruap-ruap dan kejam, sebuah kejahatan yang sangat menghina dan ini kembali kurasakan saat ia sudah begitu dekat (hanya beberapa tapak) di hadapanku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan kebungahan yang sedalam ini—rasa tersudut yang begini remeh di hadapan seseorang—setelah belasan tahun kami berpisah di bandara yang sama. Bahkan aku dapat merasakan dua kali lipat lebih dahsyat dari yang pernah kurasakan sebelumnya.
Sialan, mengapa daya kuasa bangsat ini begitu kuat!
Sesekali aku mencuri-curi, menatapnya. Apakah ia benar-benar tidak pernah berubah, atawa barangkali hanya rambutnya itu saja yang sedikit berbeda, sudah nampak agak keabu-abuan disemir usia. Atau garis-garis wajahnya yang semakin tebal, semakin tanpak tegas, seperti sebuah catatan perjalanan demi perjalanan yang pasti sangat membuatnya bangga, kalau pun tidak dapat dikatakan narsis.
Aku membayangkan bagaimana ia sudah membayar semua kekalahan demi kekalahan yang hampir menggoroknya berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Demikianlah. Karena aku adalah saksi dari apa yang sebenarnya tidak dapat engkau ketahui dari cerita ini.
Pontianak 15 Agustus 1996