Wartawan di Republik Anem

By A. Alexander Mering

Menjadi wartawan di republik yang anem (listrik)–nya sering byar-pet sungguh-sungguh menjengkelkan. Ketika sedang asyik mengetik, listrik tiba-tiba padam. Rasanya sungguh sakit, walau tak senyeri tusukan bayonet.

Dalam hati saya memaki. Tapi pasti juga percuma, karena makian di negeri ini cuma akan menjadi dosa. Tapi perasaan saya sungguh rawan dan mumet. Lantas saya mengirim ke pada dua orang rekan sepenggal SMS, seperti yang saya tulis di atas. Dengan dongkol saya ngeluyur ke luar rumah, makan angin sambil mengingat-ingat beberapa rentetan peristiwa yang pernah saya tulis terkait krisis kelistrikan di Kalimantan Barat.

Rasanya sungguh aneh bila negara yang konon keberadaannya untuk menjamin hak-hak rakyat, kenyataannya mengurus listrik saja memble, kalau pun tak sopan bila dibilang tak becus.

Tak perlu saya buka cerita tentang kisah hak-hak rakyat mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan yang layak, yang setengah layak pun negara sungkan-sunggan memberikan. Kalau tak percaya, baca saja koran atau pantau saja di media massa. Berapa banyak kisah orang miskin yang tak dapat Askeskin (Askes untuk Keluarga Miskin).

Lebih dari enam tahun menjadi wartawan, tak terhitung lagi kejadian seperti ini saya temui di beberapa rumah sakit. Mirisnya lagi, orang miskin ditangani dengan kebijakan yang juga miskin alias tidak bijak. Yaitu dengan cara membagi-bagi uang dengan judul Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Rakyat yang lapar pun seperti kucing berebut tulang. Berjejal-jejal, tindih-menindih, saling dorong hingga cakar-cakaran. Bahkan di beberapa daerah malah berakhir rusuh. Ada camat di Kabupaten Sanggau yang babak belur kena pangkong warganya sendiri yang tak kebagian jatah BLT. Kantor porak poranda kena serbu. Beberapa media nasional dan lokal melaporkan ada nenek-nenek yang semaput saat berjuang meraih tiga lembaran Rp 100 ribu di loket kantor pos. Inikah negeri yang disebut gemah ripah dalam buku perlajaran sejarah itu?

Suatu ketika saya sempat nyeletuk di sebuah seminar. “Apa tidak ada lagi orang yang pintar di negeri ini untuk menjadi pemimpin? Kalau cuma membuat program begituan, tamantan SMK kemarin pun bisa jadi menteri,” kata saya.

Karena yang dibuat pemerintah dengan BLT bagi saya tak lebih dari program pembodohan. Dari SD pun kita diajarkan pepatah pembangunan: jangan memberi ikan tetapi berilah pancing. Tapi kok, para punggawa di republik ini tidak ngeh sama sekali. Mustahil para pemimpin kita yang terhormat di kursi kekuasaannya yang empuk tak pernah belajar pepatah ini. Saya diam-diam curiga, apa yang beginian memang sengaja mereka diciptakan?
Kembali ke soal listrik,saya jadi penasaran. Apa benar negara tidak mampu mengurus soal beginian? Rakyat kecil dilarang menghujat negara, bahkan tak jarang ada yang babak belur dihajar aparat saat demonstrasi, menuntut haknya. Beberapa di antaranya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Mereka dituduh makar, merong-rong dan tak cinta bangsa.
Sekarang mari kita balik pertanyaannya. Apakah tindakan korupsi dan ogah-ogahan mengurus hak-hak rakyat bukan penghianatan? Apakah istrik padam saban waktu dan merugikan banyak orang bukan tindakan merong-rong?Siapa sebenarnya yang tak mencintai negara (…the next)
Next Post Previous Post