KISAH PEWARIS JANTUNG BORNEO YANG GELISAH


Hutan berperan penting dalam keseimbangan ekosistem bumi. Karena hutan adalah 'rumah' bagi setengah dari seluruh makhluk di daratan. Inisiatif Heart of Borneo (HoB) yang wilayah kerjanya merentang antara kawasan Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam merupakan ikthiar manusia untuk menyelamatkan kelangsungan hidupan di planet ini.
By A. Alexander Mering

Yosep Unja’ adalah salah seorang dari masyarakat Tamam Embaloh yang gelisah memikirkan hal itu. Meski hanya menjabat Kaur Pemerintahan di Desa Labian, tetapi ia memiliki wawasan yang membuat kami tercengang mana kala berbicara tentang hutan dan lingkungan.
Unja’ mewakili orang-orang yang peduli pada masa depan. Dia tinggal di Desa Ukit-Ukit, Kecamatan Batang Lupar.
Demikian juga Antonius Leo, warga Bakul yang kini menjabat sebagai Temenggung yang wilayah kerjanya mencakup beberapa desa sepanjang Sungai Labian yang membelah Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Dua kawasan ini adalah bagian dari jantung Borneo, rumah para primata serta aneka fauna endemik yang luar biasa kaya dan juga surga bagi para peneliti. Pulau terbesar ketiga setelah Greenland dan Papua ini telah menarik perhatian sejak 150 tahun silam. Pulau ini juga telah memainkan peran penting dalam penemuan evolusi, teori seleksi alam Alfred Russel Walacce. Selama 10 tahun para peneliti telah mencatat sedikitnya 362 species baru di kawasan itu.
Yosep Unja’ masih gelisah ketika 5 wartawan yang difasilitasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia datang ke sana akhir pekan lalu. Ia mengusap keringat di jidatnya berkali-kali ketika membawa kami menyusuri aliran sungai Labian yang deras dengan dua longboat. Unja’ duduk di haluan perahu yang dikemudikan Emanuel B, sementara para wartawan duduk di tengah-tengah dengan perasaan bercampur senang dan cemas. Tak ada yang sudi perahunya kandas dan karam.
Unja’ pagi itu bertugas menjaga agar perahu tidak menabrak batu atau batang kayu dalam sungai penuh riam. Walau tak sedahsyat arus Tanjung Lokang, tapi mengemudi di Sungai Labian butuh nyali sekaligus keahlian. Di beberapa tempat pamudian kami harus turun ke sungai mencari alur yang aman. Mesin boat terkadang juga harus dimatikan agar perahu tidak oleng. Pamudian dalam bahasa setempat adalah pengemudi. Aku dan Danang W, kameramen Jelajah Trans TV menumpang perahu lain, yang dikemudikan David Kiat. Dia pamudian yang berpengalaman dan mengemudi loangboat kami sambil berdiri.
Sepanjang 3 jam perjalanan ke hilir, beberapa ekor burung enggang (Buceros R hinoceros) melintas di atas kepala. Sesekali juga ada burung elang, burng beo atau burung Raja Udang yang bulunya berwarna merah kuning biru. Aku sibuk menjepret sana sini, begitu juga wartawan lain. Mereka siaga dengan kamera di tangan. Terus terang aku kecewa, karena jangankan bertemu orangutan seperti yang kami bayangkan, batang hidung kera pun tak nongol dari pagi hingga petang. Yang tampak di kiri kanan sungai hanya hamparan lahan yang terbengkalai atau bekas ladang warga.
Sungai Labian penuh batu dan sisa tebangan kayu. Sungai ini adalah penghubung antara kawasan hulu koridor dua taman nasional itu dengan hilir, yaitu Danau Sentarum. Ia juga DAS penyangga kedua taman nasional itu. Kini koridor tersebut telah terfragmentasi sehingga orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), monyet dan sejenisnya, terisolir di satu kawasan saja. Ini menyebabkan mereka sukar mencari makan dan terancam. Selain itu perburuan dan pembalakan hutan selama Illegal logging membuat populasi species ini semakin hari terus menyusut, khususnya jenis Pongo pygmaeus pygmaeus.
Species Officer WWF Indonesia, Kantor Putussibau, Albertus Tjiu, sebagaimana dikutip sejumlah media menyebutkan kalau Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan tahun 2004, populasi Pongo pygmaeus pygmaeus tinggal 7.936 individu (14,10 persen), sedangkan Pongo pygmaeus morio 15.406 individu (27,40 persen), disusul Pongo pygmaeus wurmbii 32.906 individu (58,50 persen).
Hasil penelitian yang pernah dilakukan dalam TNBK pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Sibau dan Embaloh menunjukkan populasi Orangutan tersebar secara tidak merata dan lebih mengelompok pada satu kawasan. Mereka lebih banyak di luar kawasan taman nasional, yakni tersebar di hutan lindung dan sebagian di kawasan hutan produksi terbatas.
Kegelisahan Unja’ bertambah-tambah manakala sungai Labian yang dulunya mengantarkan banyak ikan bagi masyarakat adat yang berdiam di sepanjang sungai itu makin hari makin jauh berkurang. “Dulu, ikan dari Danau Sentarum mudik ke sungai ini dan kami tidak kekurangan,” katanya. Pasca illegal logging dan merajalelanya pemakaian bubu waring di kawasan hilir dan Danau Sentarum, ikan nyaris menjadi barang langka. Hampir saja terjadi konflik antara masyarakat kawasan hulu dan hilir karenanya. Danau sentarum adalah perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan dengan luas sekitar 132 ribu hektar yang menjadi lumbung ikan air tawar terbesar di Kalbar. Terdapat kurang lebih 150 reptil dan amfibi serta 13 primata yang menghuni hutan di TNBK dan TNDS. Selain itu, terdapat juga sekitar 15 ribu spesies tumbuhan dan 350 spesies burung. Bahkan, seiring dengan gencarnya riset, pada tahun 2006 lalu, ditemukan kurang lebih 50 spesies baru.
Untunglah kini telah dibuat kesepakatan bersama antara warga Daerah Aliran Sungai Labian itu. Masyarakat di perhuluan berjanji menghentikan penebangan pohon, mengusahakan bibit karet dan tumbuh-tumbuhan lokal, sementara masyarakat di hilir sungai diminta berhenti memelihara Ikan Toman (Channa micropeltes) dan memasang bubu waring. Karena kedua hal ini mempercepat kepunahan populasi ikan air tawar.
Tapi Unja’ masih tetap saja gusar bila mendengar pemerintah republik ini bakal menanam 1,8 juta hektar kawasan perbatasan dengan kelapa sawit. Pria berkumis itu ngedumel. Menurutnya pemerintah tidak konsisten, di satu sisi mendukung penyelamatan hutan melalui HoB, tapi di sisi lain malah akan menanam kelapa sawit. “Masak dalam peta perkebunan sawit itu rumah saya pun masuk dalam kawasan lahan perkebunan,” ujarnya kesal.
Kini Unja’ di dukung oleh sejumlah masyarakat dari beberapa kampung membentuk sebuah kelompok yang disebut Belekam yang didampingi oleh WWF. Lewat kelompok ini Unja’ dan warga kampung berusaha berjuang menyelamatkan kawasan koridor yang rusak. Belekam membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelangsungan hutan. Kini beberapa kampung menanam bibit pohon lokal. Mulai dari Tengkawang (Shorea spp), Terap dan lain-lain yang merupakan pakan kesukaan orangutan, hingga pembibitan karet.
Bambang Bider, koordinator HoB untuk Kalbar yang menyertai perjalanan kami dalam program journalist trip HoB mengakui belum ada satu angka resmi yang telah disepakati oleh tiga Negara atau pemerintah masing-masing negara mengenai luasan definitive wilayah cakupan kerja HoB.
Namun sejauh ini sebagai angka acuan dalam mendiskusikan inisiasi program HoB telah diusulkan luas cakupan wilayah kerja HoB di tiga negara meliputi areas seluas kira-kira 22 juta hektar yang secara ekologis saling terhubung. Dari keseluruhan wilayah kerja HoB, 57 % berada di Indonesia, 42 % di Malysia dan 1 % di Brunei Darussalam dengan rincian seperti berikut :

Negara Bag Negara HOB Total Area (ha) % of HOB area in each Adm
Central Kalimantan Indonesia 2,466,000 11.2
West Kalimantan Indonesia 4,010,000 18.2
East Kalimantan Indonesia 6,137,000 27.8
Brunei Brunei 131,570 0.6
Sarawak Malaysia 5,373,000 24.3
Sabah Malaysia 3,968,000 17.9
Total 22,085,570 100

Wilayah kerja yang diusulkan tidak melulu terdiri dari kawasan konservasi. HoB terdiri dari kawasan lindung (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung), kawasan budidaya kehutanan (HPH dan HTI) serta kawasan budidaya non kehutanan (perkebunan, pertambangan, dll). Unja’ hanyalah salah seorang dari ribuan pewaris jantung Borneo yang gelisah. All FOTO by Mering (Publish in Borneo Tribune 10/6/2007)

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more