By A.Alexander Mering
TINGGINYA deforestasi di Kalimantan merupakan bagian dari rangkaian drama yang bakal berhujung kepada bencana lingkungan. Air sungai meluap melampaui daya tampung alam di musim hujan, dan saat kemarau akan terjadi kekeringan tanpa harapan.
Karena itu prakarsa Heart of Borneo (HoB) di Bali pada tanggal 12 Februari 2007 oleh Pemerintah Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia sangat penting artinya bagi keselamatan semua makluk di planet bumi.
Menurut Bambang Bider, dari World Wide Fund (WWF) yang juga koordinator HoB Kalimantan Barat (Kalbar) inisiatif ini merupakan salah satu rangkaian upaya manusia dalam menyelamatkan dan menjaga puing-puing terakhir ’menara air’ di jantung Borneo. Di Kalbar kawasan itu mencakup dua Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
”Program ini diharapkan akan melindungi beberapa sumber daya alam terlangka dunia,” katanya.
Bambang tidak sekadar ngecap. Bagi aku, kedua taman nasional ini seperti magnit yang sudah menyedot perhatian banyak kalangan. Terutama para ilmuan, dalam maupun luar negeri.
Menteri Inggris untuk Urusan Keanekaragaman Hayati Barry Gardiner MP pernah bertandang ke perut Borneo. Ia berujar,” Borneo adalah satu dari hanya dua tempat di planet ini di mana gajah-gajah, badak dan orangutan berada.” Hutan ini juga tempat di mana spesies-spesies baru telah ditemukan rata-rata 3 kali per bulan selama 10 tahun terakhir. Namun jutaan orang juga bergantung pada hutan ini sebagai mata pencaharian mereka.
***
PUKUL 23.00 dari Semitau kami meluruk dengan speedboat ke Danau Sentarum menuju Lanjak. Driver sempat menolak mengantar di malam buta. Nasib cuaca cukup bersahabat, meski mendung mengepung danau.
Kami tiba sekitar pukul 03.00 dini hari di Lanjak. Dengan tulang ngilu dan kedinginan, kami menyeret ransel masing-masing ke Losmen Kubau Keling, milik Yosep Kuyah. Paginya aku dengan dua anggota WWF serta 4 wartawan dalam rombongan itu bertolak menuju Rumah Betang Bakul I.
Bakul (Antiaris toxicaria Lesch) adalah pohon getah beracun yang dipakai masyarakat Dayak melumuri ujung sumpit dan dart-nya. Suku Tamam Embaloh menyebutnya Bakul, sedangkan orang Iban menyebutnya Ipuh.
Satu jam terangguk-angguk dalam mobil Hilux sewaan, akhirnya kami tiba di dusun Bakul. Ada dua rumah betang di sana. Bangunan pertama dekat dengan bibir Sungai Labian. Ini bangunan yang sudah uzur. Sekitar 100 langkah ke darat, ada rumah betang yang lebih baru dan dihuni sekitar 27 Kepala Keluarga (KK). Tipikal rumah betang Dayak Tamam ini tak ada bedanya dengan rumah betang suku Dayak Iban di Kelayam dan Ngaung Keruh.
SEORANG pria sudah menanti kami di rumah betang. Namanya Antonius Leo. Saat berjabat tangan, senyumnya tak henti-henti mengembang. Dia adalah Temenggung sekawasan aliran Sungai Labian. Pagi itu ia bersila di pelataran rumah betang, tempat pertama kami singgah. Warga umumnya telah mengenakan pakaian adat, tanda pesta sebentar lagi dimulai. Ada yang mengenakan cawat, baju manik-manik lengkap dengan bulu Burung Ruai (Argusianus argus) di kepala bagi para lelaki. Tapi Leo malah berkemeja batik. Aku jadi teringkat tampang H. Nur Iskandar, Pemimpin Redaksi kami bila akan pergi ke undangan. Bedanya, Leo memakai topi tradisional mirip kupluk yang disebut kambuk. Topi ini terbuat dari anyaman daun perupuk (sejenis daun pandan) yang banyak tumbuh di hutan Borneo.
Di sampingnya sudah duduk dua anggota WWF, kantor Putussibau yang belakangan aku kenal bernama Jimmy dan Chude. Rupanya mereka sudah sejak pagi mengalu-alukan (menanti) kami. Leo menghidangkan dua piring penuh penganan dari ketan berikut seteko saguer yang bila dituang di cawan menimbulkan buih seperti ruap bir.
Aku langsung mendelik. Aku faham betul kalau cairan keruh dari tandan pohon enau (Arangapinnata) ini bisa memabukkan bila dicampur asapan kulit kayu tertentu. Kadar alkohornya tak kalah dengan sekaleng bir hitam. Di lidah, manisnya kalah oleh rasa pekat luar biasa. Beberapa warga tempatan mengolah air nira ini menjadi gula merah.
“Selamat datang, beginilah keadaan kampung kami,” kata Leo ramah.
Selain pemimpin informal di kalangan suku Dayak Tamam Embaloh, Leo adalah generasi pewaris jantung Kalimantan. Dia tinggal di Rumah Betang, di pinggir Sungai Labian. Labian adalah satu dari sekian banyak sungai yang membelah jantung Kalimantan. Konon sebelum illegal logging meraja lela, air Labian sangat jernih, hingga ikan-ikan di dasarnya bisa kelihatan. Bila Sungai Kapuas mengalir ke laut, maka air Labian mengalir ke Danau Sentarum yang luasnya mencapai 132 ribu Hektar. Danau ini konon adalah surga rawa yang terpendam. Kawasan ini selain telah ditetapkan sebagai Taman Nasional juga kawasan Ramsar terpenting di dunia.
Setiap pagi Leo mandi di Sungai Labian. Ia lahir lahir dan besar di sana. “Nenek moyang saya datang ke sini sekitar awal abad 17 lalu,” ujarnya. Saat itu budaya mengayau masih dipraktikkan sejumlah sub Suku Dayak di Pulau Borneo. Sehingga beberapa kali kakek buyutnya lari dan mengungsi bahkan tak sedikit yang terbunuh. Untunglah tahun 1894
Kebiasan mengayau antar suku ini berhasil dihentikan berkat perjanjian Toembang Anoem, Kalimantan Tengah.
Sebagai pemimpin, Leo cukup gigih mempertahankan warisan nenek moyangnya. Bagi masyarakat Dayak, tidak saja tempat meramu dan berburu. Hutan adalah pusat cosmos. Menjaga hutan berarti menyelamatkan kehidupan. Leo berupaya mengingatkan warganya agar tidak membabat hutan untuk keperluan komersial atau membunuh satwa langka, seperti burung enggang (Bucheros) dan orangutan. Leo dan sukunya tetap mempraktikkan ritus-adat budaya yang diwariskan para leluhurnya. Antara lain Gawai Pamole Beo yang digelar antara 1 hingga 4 Juli 2007. Walau ada unsur hiburan dan kesenangan, tapi hubungan manusia dengan alam dan Sang Khalik terasa sangat kental saat upacara dilangsungkan. Sayangnya kearifan lokal ini dipadang sebelah mata oleh penguasa, padahal ini adalah salah satu cara mereka melestarikan lingkungannya di kedua kawasan taman nasional tersebut.
Di tingkat praktis, Leo terus menyadarkan warganya agar tidak memburu orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), monyet dan sejenisnya yang kian terancam punah. WWF cuma menemukan sekitar 1.030 ekor orangutan Borneo Wilayah Barat yang hidup dalam dan di sekitar TNBK, dari total sekitar 4.800 individu sub spesies yang tersisa.
Leo mungkin tak membayangkan kalau hutan, tempat mereka serta primata dan makluk lain menggantungkan hidupnya bakal punah suatu ketika. Tapi mereka dapat merasakan derasnya deforestasi dan kerusakan yang terjadi.
“Sekarang mencari ikan di Sungai Labian saja susah,” timpal Elias, warga Bakul lainnya.
ELIAS termasuk ‘generasi rimba’ yang terpelajar dan pernah mengenyam bangku kuliah. Dengan senang hati dia menyediakan rumahnya menjadi tempat penginapan rombongan kami, walau pun akhirnya kami menginap di balai dusun. Karena adat di kampung itu, antara lelaki dan perempuan tempat menginap harus terpisah. Mendengar aturan ini, Jimmy sempat bersungut-sungut walau pun akhirnya manut.
Elias dengan sabar menjadi guide kami selama melakukan liputan di dusun Bakul.
Dia pria yang kocak dan ramah. Dia menikahi Berdaneta Lin, Kepala Sekolah SDN 4 Bakul, satu-satunya sekolah disana.
Meski di dapurnya tergantung senapan rakitan, tapi Elias tidak menggantungkan hidupnya dari berburu, seperti nenek moyangnya dahulu. Dia membuka warung di rumah dinas istrinya. Mereka tergolong keluarga yang mampu di dusun itu. Rumahnya terisi beberapa barang elektronik yang tergolong mewah untuk ukuran kampung. Ada kulkas, TV dan kompor gas merk butter flay. Barang-barang itu dibeli di Lanjak, sebuah pekan kecil yang toko-nya hampir semua di jejali barang-barang produk Malaysia. Maklum, Lanjak tak jauh dari dari Kecamatan Badau yang bertemu moncong dengan Lubuk Antu, Sarawak Malaysia.
***
JIKA di Bakul ada Leo dan Elias, maka di Ukit-ukit ada Yosep Unja’ , Elyas dan Emanuel yang berupaya membuka sekolah lingkungan. Kami menemukan mereka sedang
membibitkan, karet, Kayu Belian, Tengkawang dan sejumlah tanaman lokal. Tekadnya hanya satu: merehabilitasi kawasan hutan yang terlanjur terfragmentasi akibat aksi pembalakan, maupun kebakaran hutan di sepanjang DAS Labian. Untuk tahap pertama, luasan yang akan dihijaukan sekitar 2 km.
“Sebab hanya dengan begitu, satwa di dua kawasan bisa bermigrasi dan mencari makanan,” terang Unja’ suatu malam. Malam itu kami berdiskusi sampai larut.
Kami menginap dua malam di rumah Unja’ yang cukup permanen. Sebelum menjabat kaur desa dan menjadi aktivis lingkungan lokal, dia pernah merantau 7 tahun di Malaysia. Kini rumahnya menjadi persinggahan anggota WWF yang melakukan pendampingan masyarakat di sana dalam rangka penyelamatan alam. Meski semula banyak yang menentang Unja’ dan beberapa temannya yang tergabung dalam kelompok Belekam, dia tetap maju terus. Baginya adalah sebuah tanggungjawab moral untuk mempertahankan kawasan menara air yang kini nyaris kucar-kacir digasak manusia. Menteri Sumber Asli dan Alam Sekitar, Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid, pernah bilang kalau hutan Kalimantan merupakan menara air untuk ketiga negara, yaitu Malaysia, Brunai dan Indonesia. Sebab dari 20 sungai yang ada di pulau ini, 14 di antaranya mengalir dan berasal dari hutan Borneo, tempat keragaman hayati penting di dunia. ”Siapa lagi yang berbuat, kalau bukan kita,” kata Uja’ suatu ketika. Dia sangat cemas akan semakin banyak satwa punah. Koordinator Program Jantung Borneo WWF International Stuart Chapman, pernah bilang,” banyak sekali pememuan di Borneo. Penemuan ini mengesahkan kedudukan Borneo sebagai salah satu dari pusat biodiversiti di dunia."
WWF memang melaporkan banyak spesies baru ditemukan di sana. Termasuk 30 spesies ikan unik, dua spesies katak, 16 spesies mamalia, tiga spesies pohon dan satu spesies tumbuhan berdaun lebar. Kedua Taman negara itu juga adalah rumah bagi lebih dari 150 reptil dan amfibi serta 13 jenis primata. Selain itu, terdapat juga sekitar 15 ribu spesies tumbuhan dan 350 spesies burung. Seiring dengan gencarnya riset tahun 2006 lalu, ditemukan kurang lebih 50 spesies baru di sana.
PAGI itu aku memandang bukit Sangiang Burung untuk terakhir kalinya, sebelum speedboat kami bertolak meninggalkan Lanjak. Ada sisa kabut menyaput puncaknya. Entah bagaimana dapat kulukiskan perasaan saat itu. Ada rasa getir dan juga haru kala teringat wajah orang-orang di rumah betang Kelayam, Bakul, ukit-ukit dan Ngaung Keruh, tempat kami singgah dan meliput. Mereka adalah para pewaris menara air untuk masa depan. Air yang menghidupi penduduk di pulau Borneo. Mereka juga adalah penjaga paru–paru bumi, yang menyangga kehidupan 6,5 miliar jiwa di palanet ini. Entah sampai kapan mereka mampu bertahan, memenangkan tiap pergulatan nasib antara hidup dan mati. (Publish in Borneo Tribune, 24 Juni 2006)
PUKUL 23.00 dari Semitau kami meluruk dengan speedboat ke Danau Sentarum menuju Lanjak. Driver sempat menolak mengantar di malam buta. Nasib cuaca cukup bersahabat, meski mendung mengepung danau.
Kami tiba sekitar pukul 03.00 dini hari di Lanjak. Dengan tulang ngilu dan kedinginan, kami menyeret ransel masing-masing ke Losmen Kubau Keling, milik Yosep Kuyah. Paginya aku dengan dua anggota WWF serta 4 wartawan dalam rombongan itu bertolak menuju Rumah Betang Bakul I.
Bakul (Antiaris toxicaria Lesch) adalah pohon getah beracun yang dipakai masyarakat Dayak melumuri ujung sumpit dan dart-nya. Suku Tamam Embaloh menyebutnya Bakul, sedangkan orang Iban menyebutnya Ipuh.
Satu jam terangguk-angguk dalam mobil Hilux sewaan, akhirnya kami tiba di dusun Bakul. Ada dua rumah betang di sana. Bangunan pertama dekat dengan bibir Sungai Labian. Ini bangunan yang sudah uzur. Sekitar 100 langkah ke darat, ada rumah betang yang lebih baru dan dihuni sekitar 27 Kepala Keluarga (KK). Tipikal rumah betang Dayak Tamam ini tak ada bedanya dengan rumah betang suku Dayak Iban di Kelayam dan Ngaung Keruh.
SEORANG pria sudah menanti kami di rumah betang. Namanya Antonius Leo. Saat berjabat tangan, senyumnya tak henti-henti mengembang. Dia adalah Temenggung sekawasan aliran Sungai Labian. Pagi itu ia bersila di pelataran rumah betang, tempat pertama kami singgah. Warga umumnya telah mengenakan pakaian adat, tanda pesta sebentar lagi dimulai. Ada yang mengenakan cawat, baju manik-manik lengkap dengan bulu Burung Ruai (Argusianus argus) di kepala bagi para lelaki. Tapi Leo malah berkemeja batik. Aku jadi teringkat tampang H. Nur Iskandar, Pemimpin Redaksi kami bila akan pergi ke undangan. Bedanya, Leo memakai topi tradisional mirip kupluk yang disebut kambuk. Topi ini terbuat dari anyaman daun perupuk (sejenis daun pandan) yang banyak tumbuh di hutan Borneo.
Di sampingnya sudah duduk dua anggota WWF, kantor Putussibau yang belakangan aku kenal bernama Jimmy dan Chude. Rupanya mereka sudah sejak pagi mengalu-alukan (menanti) kami. Leo menghidangkan dua piring penuh penganan dari ketan berikut seteko saguer yang bila dituang di cawan menimbulkan buih seperti ruap bir.
Aku langsung mendelik. Aku faham betul kalau cairan keruh dari tandan pohon enau (Arangapinnata) ini bisa memabukkan bila dicampur asapan kulit kayu tertentu. Kadar alkohornya tak kalah dengan sekaleng bir hitam. Di lidah, manisnya kalah oleh rasa pekat luar biasa. Beberapa warga tempatan mengolah air nira ini menjadi gula merah.
“Selamat datang, beginilah keadaan kampung kami,” kata Leo ramah.
Selain pemimpin informal di kalangan suku Dayak Tamam Embaloh, Leo adalah generasi pewaris jantung Kalimantan. Dia tinggal di Rumah Betang, di pinggir Sungai Labian. Labian adalah satu dari sekian banyak sungai yang membelah jantung Kalimantan. Konon sebelum illegal logging meraja lela, air Labian sangat jernih, hingga ikan-ikan di dasarnya bisa kelihatan. Bila Sungai Kapuas mengalir ke laut, maka air Labian mengalir ke Danau Sentarum yang luasnya mencapai 132 ribu Hektar. Danau ini konon adalah surga rawa yang terpendam. Kawasan ini selain telah ditetapkan sebagai Taman Nasional juga kawasan Ramsar terpenting di dunia.
Setiap pagi Leo mandi di Sungai Labian. Ia lahir lahir dan besar di sana. “Nenek moyang saya datang ke sini sekitar awal abad 17 lalu,” ujarnya. Saat itu budaya mengayau masih dipraktikkan sejumlah sub Suku Dayak di Pulau Borneo. Sehingga beberapa kali kakek buyutnya lari dan mengungsi bahkan tak sedikit yang terbunuh. Untunglah tahun 1894
Kebiasan mengayau antar suku ini berhasil dihentikan berkat perjanjian Toembang Anoem, Kalimantan Tengah.
Sebagai pemimpin, Leo cukup gigih mempertahankan warisan nenek moyangnya. Bagi masyarakat Dayak, tidak saja tempat meramu dan berburu. Hutan adalah pusat cosmos. Menjaga hutan berarti menyelamatkan kehidupan. Leo berupaya mengingatkan warganya agar tidak membabat hutan untuk keperluan komersial atau membunuh satwa langka, seperti burung enggang (Bucheros) dan orangutan. Leo dan sukunya tetap mempraktikkan ritus-adat budaya yang diwariskan para leluhurnya. Antara lain Gawai Pamole Beo yang digelar antara 1 hingga 4 Juli 2007. Walau ada unsur hiburan dan kesenangan, tapi hubungan manusia dengan alam dan Sang Khalik terasa sangat kental saat upacara dilangsungkan. Sayangnya kearifan lokal ini dipadang sebelah mata oleh penguasa, padahal ini adalah salah satu cara mereka melestarikan lingkungannya di kedua kawasan taman nasional tersebut.
Di tingkat praktis, Leo terus menyadarkan warganya agar tidak memburu orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), monyet dan sejenisnya yang kian terancam punah. WWF cuma menemukan sekitar 1.030 ekor orangutan Borneo Wilayah Barat yang hidup dalam dan di sekitar TNBK, dari total sekitar 4.800 individu sub spesies yang tersisa.
Leo mungkin tak membayangkan kalau hutan, tempat mereka serta primata dan makluk lain menggantungkan hidupnya bakal punah suatu ketika. Tapi mereka dapat merasakan derasnya deforestasi dan kerusakan yang terjadi.
“Sekarang mencari ikan di Sungai Labian saja susah,” timpal Elias, warga Bakul lainnya.
ELIAS termasuk ‘generasi rimba’ yang terpelajar dan pernah mengenyam bangku kuliah. Dengan senang hati dia menyediakan rumahnya menjadi tempat penginapan rombongan kami, walau pun akhirnya kami menginap di balai dusun. Karena adat di kampung itu, antara lelaki dan perempuan tempat menginap harus terpisah. Mendengar aturan ini, Jimmy sempat bersungut-sungut walau pun akhirnya manut.
Elias dengan sabar menjadi guide kami selama melakukan liputan di dusun Bakul.
Dia pria yang kocak dan ramah. Dia menikahi Berdaneta Lin, Kepala Sekolah SDN 4 Bakul, satu-satunya sekolah disana.
Meski di dapurnya tergantung senapan rakitan, tapi Elias tidak menggantungkan hidupnya dari berburu, seperti nenek moyangnya dahulu. Dia membuka warung di rumah dinas istrinya. Mereka tergolong keluarga yang mampu di dusun itu. Rumahnya terisi beberapa barang elektronik yang tergolong mewah untuk ukuran kampung. Ada kulkas, TV dan kompor gas merk butter flay. Barang-barang itu dibeli di Lanjak, sebuah pekan kecil yang toko-nya hampir semua di jejali barang-barang produk Malaysia. Maklum, Lanjak tak jauh dari dari Kecamatan Badau yang bertemu moncong dengan Lubuk Antu, Sarawak Malaysia.
***
JIKA di Bakul ada Leo dan Elias, maka di Ukit-ukit ada Yosep Unja’ , Elyas dan Emanuel yang berupaya membuka sekolah lingkungan. Kami menemukan mereka sedang
membibitkan, karet, Kayu Belian, Tengkawang dan sejumlah tanaman lokal. Tekadnya hanya satu: merehabilitasi kawasan hutan yang terlanjur terfragmentasi akibat aksi pembalakan, maupun kebakaran hutan di sepanjang DAS Labian. Untuk tahap pertama, luasan yang akan dihijaukan sekitar 2 km.
“Sebab hanya dengan begitu, satwa di dua kawasan bisa bermigrasi dan mencari makanan,” terang Unja’ suatu malam. Malam itu kami berdiskusi sampai larut.
Kami menginap dua malam di rumah Unja’ yang cukup permanen. Sebelum menjabat kaur desa dan menjadi aktivis lingkungan lokal, dia pernah merantau 7 tahun di Malaysia. Kini rumahnya menjadi persinggahan anggota WWF yang melakukan pendampingan masyarakat di sana dalam rangka penyelamatan alam. Meski semula banyak yang menentang Unja’ dan beberapa temannya yang tergabung dalam kelompok Belekam, dia tetap maju terus. Baginya adalah sebuah tanggungjawab moral untuk mempertahankan kawasan menara air yang kini nyaris kucar-kacir digasak manusia. Menteri Sumber Asli dan Alam Sekitar, Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid, pernah bilang kalau hutan Kalimantan merupakan menara air untuk ketiga negara, yaitu Malaysia, Brunai dan Indonesia. Sebab dari 20 sungai yang ada di pulau ini, 14 di antaranya mengalir dan berasal dari hutan Borneo, tempat keragaman hayati penting di dunia. ”Siapa lagi yang berbuat, kalau bukan kita,” kata Uja’ suatu ketika. Dia sangat cemas akan semakin banyak satwa punah. Koordinator Program Jantung Borneo WWF International Stuart Chapman, pernah bilang,” banyak sekali pememuan di Borneo. Penemuan ini mengesahkan kedudukan Borneo sebagai salah satu dari pusat biodiversiti di dunia."
WWF memang melaporkan banyak spesies baru ditemukan di sana. Termasuk 30 spesies ikan unik, dua spesies katak, 16 spesies mamalia, tiga spesies pohon dan satu spesies tumbuhan berdaun lebar. Kedua Taman negara itu juga adalah rumah bagi lebih dari 150 reptil dan amfibi serta 13 jenis primata. Selain itu, terdapat juga sekitar 15 ribu spesies tumbuhan dan 350 spesies burung. Seiring dengan gencarnya riset tahun 2006 lalu, ditemukan kurang lebih 50 spesies baru di sana.
PAGI itu aku memandang bukit Sangiang Burung untuk terakhir kalinya, sebelum speedboat kami bertolak meninggalkan Lanjak. Ada sisa kabut menyaput puncaknya. Entah bagaimana dapat kulukiskan perasaan saat itu. Ada rasa getir dan juga haru kala teringat wajah orang-orang di rumah betang Kelayam, Bakul, ukit-ukit dan Ngaung Keruh, tempat kami singgah dan meliput. Mereka adalah para pewaris menara air untuk masa depan. Air yang menghidupi penduduk di pulau Borneo. Mereka juga adalah penjaga paru–paru bumi, yang menyangga kehidupan 6,5 miliar jiwa di palanet ini. Entah sampai kapan mereka mampu bertahan, memenangkan tiap pergulatan nasib antara hidup dan mati. (Publish in Borneo Tribune, 24 Juni 2006)