SDN BAKUL DI BIBIR TAKDIR

(Sebuah Potret Dunia Pendidikan di Jantung Borneo)




By A. Alexander Mering

Umurnya baru sembilan tahun, tapi ia sudah menyusun cita-cita besar dalam kepalanya. Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang jernih dia mengatakan ingin menjadi dokter suatu hari kelak. Aku tersenyum getir, membidikkan kamera ke wajahnya yang polos. Bayu tidak dididik menjadi pemburu seperti nenek moyangnya dulu. Ibunya seorang Kepala Sekolah di SDN Bakul, Kecamatan Batang Lupar. Ayahnya seorang lelaki terpelajar.
Nama bocah itu Bayu. Rambutnya tampak agak keabu-abuan jika diterpa sinar mata hari tropis Borneo yang terkadang sendu selepas hujan. Kulitnya gelap karena terlalu banyak bermain di bawah terik matahari.
Elyas, sang ayah terkadang harus mengencangkan urat leher, kala Bayu menolak disuruh pulang. Jika hari cerah Bayu bermain kelereng bersama anak-anak betang Bakul I, di depan rumah. Itu adalah rumah dinas guru, jatah perumahan yang diberikan pemerintah kepada Bernadeta Lin, ibu Bayu yang guru. Alumni Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Putussibau tahun 1988 itu diangkat menjadi Kepala Sekolah tahun 2000 lalu.
Rumah Betang Bakul terletak di pinggir Sungai Labian, sekitar 45 menit dari Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu. Sungai itu adalah kawasan penyangga antara Taman Nasional Betung Keruhun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang sekarang ditetapkan menjadi kawasan Heart of Borneo (HoB).
Enam belas tahun lalu Lin muda datang ke Dusun itu dengan perasaan mengharu-biru. Malam-malam kesepian, jauh dari handai taulan dan tinggal di pedalaman Kalimantan, hidup diantara masyarakat yang berlainan suku dan adatnya.
“Untuk menghibur diri, saya mendengarkan radio transistor milik kepala sekolah atau main gitar,” kata Lin yang memang hobi bernyanyi sejak di bangku sekolah itu. Radio tersebut dibeli Sarmin, di Malaysia untuk didengar beramai-ramai atau berdua saja. Sarmin adalah kepala sekolah saat Lin memulai debutnya di SDN No 4 itu. Untuk menyibukan diri, dia mengajar murid-muridnya pramuka di luar jam sekolah.
Kini jumlah muridnya sekitar 60 orang. Padahal ruangan yang tersedia cuma 3 lokal saja. Akibatnya satu ruangan yang luasnya cuma 4 meter itu dibagi dua supaya bisa menampung semua murid. Jadilah anak-anak itu berdesak-desakan seperti di kandang kambing.
“Ini terpaksa kita lakukan agar anak-anak berkesempatan untuk sekolah,” terang Lin saat kami sarapan. Mereka adalah anak-anak petani, kebanyakan tinggal di rumah betang. Selain warga Bakul I, Bakul II dan Bakul III, muridnya juga berasal dari dusun yang cukup jauh. Misalnya dari Kampung Entebuluh, Keruin dan Kelawik. Ada di antara murid yang terpaksa berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di sekolah. Jika sungai Labian meluap, banyak murid dari Bakul III yang absen, karena jalan satu-satunya untuk tiba di sekolah adalah menyeberangi sungai.
Meski agak memprihatinkan, tapi Lin bersyukur karena sejak tahun 2005 lalu sekolahnya mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Untuk itu tiap triwulan, Lin harus ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Lanjak, salah satu kota Kecamatan terdekat untuk mencairkan uang tersebut.
Setahun di Bakul Lin kepincut dan menikah dengan Elyas, pemuda setempat. Elyas pria berpendidikan yang humoris. Tubuhnya yang kurus tampak berguncang-guncang saat tertawa. Sementara Lin istrinya bertubuh subur dan bila tertawa matanya tampak menyipit. Sejak pertama kali rombongan tiba di Bakul I dan berkenalan dengan keluarga ini aku langsung merasa akrab. Yang menarik bagiku, saat bicara dengan Bayu, Lin tidak hanya menggunakan bahasa Tamam Embaloh yang dipakai warga Bakul, tetapi juga bahasa Iban. Padahal dia sendiri berasal dari suku Kantuk. Iban adalah salah satu etnik terbesar di Sarawak. Di Kalbar jumlah etnik ini tak seberapa, sebagian besar tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu, rumah betang mereka tersebar di antara suku Tamam Embaloh Sungai Labian dan Suku Kantuk yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas, beberapa kilometer di hilir kota Putussibau.
Tak seperti nasib guru-guru di pedalaman lainnya, ekonomi keluarga Lin bisa dibilang lumayan. Dua hari menginap di sana aku melihat ada dua kulkas, kompor gas merk butterfly dan tiga tong gas buatan Malaysia. Di ruang tamu terpajang 2 unit TV yang lumayan besar.
“Satunya rusak dan belum sempat diperbaiki,” kata Elyas sang suami, menyela pembicaraan. Untuk menunjang ekonomi keluarga, bagian depan rumah dinas itu disulap menjadi warung kecil. Sehingga Lin dan Elyas mampu menyekolahkan Ignasius Tuah, anak sulungnya ke Kecamatan Martinus. Setelah Ignasius sekolah ke Kecamatan Martinus pasangan itu tinggal bertiga saja dengan Bayu, anak bungsu mereka.
“Di Kecamatan itu sekolahnya relatif baik,” tambah Elyas. Putranya itu kini sudah duduk di kelas II SMA di sana.
Dengan kondisi sekolah yang sekarang, Lin mengaku cukup kewalahan. Karena dia dan 3 guru terpaksa mengajar untuk 6 kelas. Mestinya dibutuhkan 8 hingga 9 guru lagi agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Tapi, bukan sekolah Indonesia namanya jika tak bermasalah. SDN Bakul memang sedang di bibir takdir dunia pendidikan.
Selain Lin dan 2 guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sekolah itu juga dilayani seorang guru bantu bertato naga di lengan kirinya. Guru muda itu bernama Krisantus Jayamada, alumni SMA Nyarumkop tahun 1998. Dia mengajar bidang studi Agama Katholik sejak 2003. Untuk memudahkan tugasnya, Krisantus menempati sebuah rumah dinas di samping rumah dinas Lin, yang jaraknya cuma beberapa langkah dari sekolah.
Sebelum menjadi guru bantu, Krisantus sebenarnya pernah mengenyam bangku kuliah di Pontianak, walau tak tuntas. Hari itu ia menjabat tangan saya erat-erat, lantas menarik saya ke dapur rumah betang Bakul seraya menyodorkan secangkir coffee buck, minuman beraroma kopi dari Malaysia dengan kadar alkohol 20 persen.
“Selamat ari gawai, gayu guru gerai nyamai,” katanya sambil tersenyum ramah. Ia memang blasteran Dayak Iban dan suku Tamam Embaloh. Ia bicara bahasa Iban karena tahu aku juga berdarah Iban.

***
Bayu menggaruk-garuk kepalanya, memperhatikan kamera yang tenteng mas Danang W dari program jelajah trans TV. Verena Puspawardani, campaigner program climate change dari WWF Indonesia yang turut dalam rombongan saat melihat bocah itu langsung gemas dan mengusap-ngusap kepalanya. Tak seperti bocah-bocah kampung umumnya, Bayu mudah sekali akrab.
Tanpa canggung Ia menghampiri tamu yang datang dan bertanya ini-itu. Mulutntya yang comel terus mengoceh tentang apa saja. Saat diajak foto bersama, dengan lagak seorang pemimpin ia mengumpulkan teman-temannya dari kelas 1 hingga kelas lima untuk berpose di depan sekolah mereka.
Hari itu sebenarnya sekolah sedang libur dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), hingga Bayu membutuhkan waktu beberapa menit untuk membujuk teman-temannya berkumpul. Bocah lelaki mau pun perempuan yang sedang bermain di halaman langsung setuju. Yang sedang main gului (kelereng) pun langsung berlari meninggalkan permainan, mengikuti Bayu dan aku. Aku jadi teringat pada anak ayam yang heboh mengejar induk.
Bangunan SDN 04 itu tampak masih kokoh walau pun dibangun jaman Orde Baru. Mungkin pernah direnovasi. Setidaknya cat bangunan masih menempel di dinding papan. Walau Cuma memiliki ruangan yang terbatas, SDN Bakul mempunyai 2 toilet yang bersih dan selalu terkunci. Di belakang sekolah, tak jauh dari WC ada sebuah tangki penampung air hujan dari fiber warna orange yang lumayan bagus. Dari sekitar 224.432 sekolah di seluruh Indonesia yang Nomor Pokok Sekolah-nya sudah terdaftar, SDN 4 Bakul barang kali termasuk sekolah paling diandalkan untuk menampung tingginya angka usia sekolah warga perbatasan. Letak Dusun Bakul tidak terlalu jauh dengan sempadan, Sarawak M’Sia. Bahkan banyak warga Bakul yang belanja ke Lubuk Antu, tentu saja lewat Badau yang memang bertemu moncong dengan Negara Malaysia bagian Timur.
Bangunan sekolah terletak di belakang rumah Betang Bakul 1 yang hingga kini masih dihuni 22 pintu (bilik) keluarga. Selain warga rumah betang Bakul 1, Bakul 2 dan Bakul 3 sekolah ini menjadi andalan warga sekitar untuk mendidik anak-anak mereka secara formal.
Bocah seperti Bayu termasuk beruntung, karena orang tuanya mampu mengirimnya sekolah ke lain yang lebih baik untuk melanjutkan pendidikan. Tetapi bagi Osep, Yas dan beberapa teman Bayu yang lain, melanjutkan sekolah nyaris seperti dongeng yang begitu indah tiap kali dituturkan. Apalagi dengan penghasilan orang tua mereka yang pas-pasan. Jika tidak meramu, menanam padi dan berburu, niscaya mereka juga bakal merantau ke Malaysia, seperti saudara-saudaranya yang lain.
Menurut Antonius Leo, Temenggung Labian, warganya yang tamat SMA bisa dihitung dengan jari sebelah. Kebanyakan putus sekolah. Akbiatnya pemuda Bakul banyak yang merantau ke M’Sia, mengadu peruntungan. Rajah di badan adalah catatan perjalanan. Tato-tato berbagai motif dan rupa tak ubahnya stempel kehidupan di setiap destinasi yang pernah jadi persinggahan, seolah-olah mereka ingin menunjukan kalau sebenarnya mereka bukan cuma jago kandang. Ketika tak ada lagi cara lain untuk mengubah kehidupan, generasi muda Bakul terpaksa menciptakan takdirnya sendiri dengan membuat sebuah pilihan.(Pablish in Borneo Tribune, 11 Juni 2007)
Next Post Previous Post