Sengkarut Harian Equator Pontianak

Photo by Andreas Harsono
Saturday, October 28, 2006
Andreas Harsono
Pantau

PONTIANAK -- Suasana Lebaran hari keempat tampaknya sudah tuntas dengan acara maaf lahir dan batin ketika Djunaini KS, direktur utama PT Kapuas Media Utama Press, merangkap pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Equator, memecat empat redakturnya: Yusriadi, Tanto Jacobus, Hairul Mikrad dan Asriyadi Alexander, Jumat malam. Alasannya, empat wartawan itu ikut membuat "mosi tidak percaya" terhadap Djunaini. 

Djunaini memakai kata "dinonaktifkan" saat mengusir keempatnya secara lisan. PT Kapuas Media Utama Press adalah penerbit harian Equator, satu dari lima suratkabar milik Kelompok Jawa Pos di Pontianak.Menurut beberapa saksi, sekitar pukul 20:10 Djunaini tiba-tiba berteriak memanggil mereka di ruang redaksi, "Alex, Yusriadi, Dek berdiri! Kalian keluar!” Kalimat itu diulanginya tiga kali. Keempat kalinya, Djunaini menambahkan, “Alex, Yusriadi, Dek, Tanto, berdiri. Kalian keluar!" 

Banyak orang terpana. Dek adalah nama panggilan Hairul Mikrad. Menurut Alex, dia sempat bertanya, "Apa alasan Anda memecat saya?"

Djunaini menjawab, "Surat yang Anda tulis ke Jawa Pos. Saya adalah direksi di sini dan saya berhak."

"Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum ada pemecatan dari Dahlan Iskan," kata Alex, mengacu pada orang nomor satu Jawa Pos. 

Djunaini tak menyangka ada sanggahan. Djunaini kemudian menelepon Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos. Namun, telepon Djunaini tak dijawab. 

"Jawa Pos minta saya mereshuffle. Silahkan Anda keluar dari tempat ini. Mulai saat ini Anda dinonaktifkan sampai ada keputusan lebih lanjut," kata Djunaini.

Djunaini langsung memanggil Rido Ibnu Syahrie, mantan koresponden Equator di Singkawang yang baru pindah ke Pontianak, untuk mengambil alih pekerjaan editing. 

Suasana tegang. Menurut dua saksi, Djunaini terlihat emosi sampai lupa memasang gigi palsunya. Keempat wartawan itu pun keluar dari kantor Equator. 

Alex dan Yusriadi duduk di depan kantor. Mereka melihat beberapa orang tak dikenal, kelihatannya orang keamanan, ditempatkan Djunaini di pintu masuk. Orang-orang itu memberi ultimatum: tak boleh ada wartawan luar masuk ke Equator. 

Malam itu beberapa wartawan datang dari Pontianak Post, Kompas, Antara, TV7, Volare serta Muhlis Suhaeri dan saya dari Pantau. Beberapa wartawan Equator, antara lain Elfrida Sinaga, Indra Nova, Anton Perdana dan Stevanus Akim, ikut mengelilingi Alex dan Yusriadi. 

Mohamad Iqbal, putra sulung Djunaini, berada di depan pintu masuk. Pemecatan ini buntut dari mosi yang ditandatangani 32 karyawan Equator. Mereka mengirim surat kepada Zainal Muttaqin pada 5 Oktober. Intinya, mereka minta penggantian Djunaini selaku direktur dan editor. Jawa Pos memiliki saham 67.5 persen, Djunaini 2.5 persen dan karyawan 30 persen. 

Dalam mosi itu, karyawan menilai Djunaini sering mencampuri urusan Equator dengan bisnis non-media (Djunaini terlibat dalam usaha perkebunan kelapa sawit), sering melarang berita-berita tertentu (antara lain, protes masyarakat Dayak dan organisasi lingkungan terhadap perkebunan sawit), sering tak masuk kantor, mempraktikkan nepotisme (kedua putranya dilibatkan dalam Equator) dan mem-black-list 13 politisi dan organisasi dari pemberitaan Equator. 

Mereka yang masuk daftar hitam Djunaini, termasuk Bupati Kabupaten Landak Cornelis, kandidat Gubernur Kalimantan Barat Akil Mochtar, Bupati Kabupaten Pontianak Agus Salim, anggota DPR Uray Faisal Hamid, ketua DPRD Pontianak Gusti Hersan Asli Rosa, ketua Yayasan Bhakti Suci Lie Kie Leng, Adhie Rumbee dari Majelis Adat Budaya Tionghoa serta organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat. Djunaini juga tak suka pada politisi AR Muzammil, advokat Cecep Priyatna, akademikus Rousdy Said. 

Dua organisasi ini dinilai Djunaini anti perkebunan kelapa sawit. Mosi tersebut dilampiri berita-berita Equator yang tak dimuat karena intervensi Djunaini. Para karyawan juga mengeluh soal ketiadaan genset (listrik Pontianak sering mati), komputer sudah tua, tenggat waktu berita sering dilanggar, tiadanya transparansi pembangunan gedung baru Equator, kontrak kerja tak jelas, dan karakter Djunaini temperamental. 

Fakun dari bagian grafis juga mengeluh Djunaini kurang menghargai upaya perbaikan tata letak Equator sesudah mereka mendapat pelatihan dari Georgia Scott, desainer harian The New York Times. 

Djunaini sering bilang, "Bantai, bantai ja," ketika orang grafis bekerja membuat tata letak dengan memakai bekal pelatihan Scott. Kata “ja” dalam bahasa Melayu, yang lazim dipakai di Pontianak dan sekitarnya, artinya “saja” dalam versi resmi Indonesia. 

Saya mengenal banyak karyawan Equator. Saya kira mereka yang dipecat relatif wartawan berprestasi dan punya niat meningkatkan mutu suratkabar itu. Yusriadi wartawan ahli bahasa. Dia sering jadi tempat bertanya rekan-rekannya. Dia mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.Riset dan penulisan buku ini dibimbing Prof. James T. Collins, ahli Borneo dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Collins memuji buku tersebut karena membongkar stereotip Borneo bahwa orang Melayu selalu Muslim dan tinggal di daerah pesisir, sedangkan orang Dayak tinggal di pedalaman.Yusriadi sendiri orang Embau, sebuah komunitas Dayak Muslim, kadang disebut Melayu, yang tinggal di sepanjang Sungai Embau di jantung Kalimantan.

Etnisitas adalah isu penting di Pontianak. Berbagai buku --termasuk karya Jamie Davidson dari Universitas Washington, Seattle, soal akar kekerasan di Kalimantan Barat-- menyebut pulau ketiga terbesar dunia ini selalu penuh dengan masalah keragaman etniknya. Davidson menelusuri ethnic cleansing orang Tionghoa dan Madura. Alex dan Tanto orang Dayak. Hairul orang Bugis. Alex juga seorang penyair. Dia pernah diundang ke Sarawak, Malaysia karena puisi-puisinya. Alex, Hairul dan Tanto juga anggota Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi wartawan, yang giat kampanye anti-amplop.

Tindakan Djunaini sangat berani memecat langsung empat dari lima redakturnya. Nur Iskandar, redaktur pelaksana, yang ikut memotori mosi tersebut, tak ikut dipecat namun disingkirkan dengan halus lewat penunjukan Rido. 

"Saya memutuskan tidak bekerja Sabtu ini," katanya. Artinya, Djuanini sekaligus membabat habis lapisan redaktur paling atas di Equator. Hanya satu redaktur, Mutadi, yang tak disingkirkannya. 

Rido Ibnu Syahrie, yang menggantikan Nur Iskandar, mulanya ikut rapat-rapat dan menandatangani mosi tak percaya Djunaini. Entah bagaimana dia bersama delapan karyawan lain kemudian berbalik arah dan membuat surat tandingan. Mereka tetap minta perbaikan manajemen, tapi tak menggugat status kedirekturan Djunaini. 

Saya minta komentar Rido tentang surat tandingan itu, namun tak dijawab. Nur Iskandar mengatakan bahwa sesudah pemecatan, Djunaini, Rido dan kawan-kawan mengadakan rapat serta makan-minum. 

Anton Perdana, koresponden Sanggau yang ikut barisan Rido, mengatakan mereka bisa memahami keputusan penonaktifan keempat rekan mereka, "Itu kebijakan pimpinan, kami ikut. Kami hanya ingin menyelamatkan tempat kami makan." 

Mohamad Qadhafy, putra bungsu Djunaini yang menangani bagian event Equator, menolak tuduhan nepotisme. Dia menyebutkan bahwa dia sudah menulis untuk Equator sejak 2003. 

"Saya mulai bisa nyari duit dengan menggarap event sebelum bekerja di harian Equator," katanya. 

Barisan Djunaini-Rido kebanyakan didukung koresponden Equator di luar kota Pontianak. Mereka termasuk Adrianus Jumadi (Landak), Darussalam (Ketapang), Indra Nova (Melawi), Yuni Kurnianto dan Ramdan (Singkawang). Seorang reporter baru, Aulia Marti, juga ikut gabung gerakan mendukung Djunaini ini. Gerakan Djunaini-Rido mendapat momentum dari sebuah pertemuan di rumah Djunaini di daerah Parit Haji Husin pada hari Rabu, Lebaran kedua. Tujuan pertemuan mendukung Djunaini. "Pimpinan ternyata commit," kata Anton. 

Ketika Jumat malam saya hubungi, Djunaini menolak memberi komentar, "Maaf, internal." Menariknya, Djunaini sempat memberi tahu saya akan memecat “yang tak suka” padanya hari Kamis siang, sehari sebelum peristiwa Jumat. Ketika itu saya ikut beberapa karyawan Equator bertamu ke rumahnya. Sapariah Saturi, tunangan saya, pernah bekerja untuk Equator. 

Sapariah mengajak saya ke sana untuk diperkenalkan dengan "Boss Djun." Kami berbasa-basi saja. Djunaini (terlihat dalam gambar bawah) bicara soal mempersiapkan gedung baru sebelum dia "lengser." 

Dia mengatakan dirinya "owner Equator dan kuasa Jawa Pos." Dia juga cerita akan “mempersilahkan” orang yang tak suka padanya untuk keluar dari Equator. Rumahnya dua tingkat, perabotan baru, mengkilat, desain modern, kitchen set rapi dan sebagainya. Di halaman banyak koleksi bonsai. Saya tak melihat ada rak buku di lantai satu namun di meja tamu tergeletak novel Tom Clancy, The Bear and The Dragon. Rumah Djunaini kontras dengan kantor Equator di kawasan pertokoan Nusa Indah. Kantor kumuh. Perabotan bobrok. Komputer tua. Wartawan miskin. Alex sering bergurau bahwa tiga mobil yang sering parkir depan kantor Equator cuma mobil milik Djunaini, Mohamad Iqbal dan Mohamad Qadhafy: ayah dan dua anaknya. 

Jumat malam, ketika baru dipecat, Hairul Mikrad kalut, memacu sepeda motornya keliling kota Pontianak. Dia sempat menerima pesan pendek dari nomor 0858-22059993, yang berbunyi, “Kau te dari mani anjing hitam yang kancut mak kau.” Artinya, “Kamu itu asalnya dari air mani anjing hitam yang menyetubuhi ibu kamu sendiri.” Menurut Hairul, kalimat ini khas dialek Melayu Ketapang. Hairul beranggapan Djunaini tak mungkin mengirimkan pesan tersebut. Kemungkinannya, nomor itu nomor instant dan dikirim seorang kroni Djunaini yang tak mau diketahui identitasnya.

"Saya tidak sedih atau gundah dinonaktifkan, tapi saya sedih dengan kawan-kawan yang tidak komitmen," kata Hairul. Mayoritas pendukung mosi balik badan ketika melihat keempat rekan mereka dipecat. Nur Iskandar mengatakan mayoritas takut kehilangan pekerjaan. 

Surat buatan Rido bahkan diedarkan dan dimintakan tanda tangan lebih banyak lagi.Yusriadi pucat sekali. Dia tidak biasa diperlakukan kasar. Dia sempat mengungkapkan kegeramannya pada Anton Perdana dengan menyebut Anton sebagai "tim suksesnya" Djunaini. 

Anton menolak tuduhan Yusriadi. Menurut Tanto Jacobus, dia sudah punya firasat akan kehilangan pekerjaan. "Saya pikir, jangan-jangan ini hari saya terakhir kerja di Equator." Dia juga sudah menyiapkan isteri dan kedua anaknya untuk menghadapi perubahan situasi. 
"Kami biasa hidup miskin, tidak apa-apa," katanya. 

(Asriyadi Alexander Mering, Nur Iskandar dan Hairul Mikrad pernah ikut kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau di Jakarta dengan ampuan Janet Steele dari Universitas George Washington dan Andreas Harsono dari Pantau.)

Posted by Andreas Harsono at 4:47 PM
Labels:

6 comments:
Anonymous said...
Membaca tulisan ini rasanya sedih sekali. Mengingatkan pada sebuah peristiwa di masa lalu..
October 30, 2006

Andreas Harsono said...
Ini sekedar update saja. Keempat orang redaktur Equator yang "dinonaktifkan" Jumat malam serta redaktur pelaksana Nur Iskandar, yang secara halusdisingkirkan dari posisinya, menemui Djunaini KS Senin malam.Empat orang tersebut, Hairul Mikrad, Asriyadi Alexander, Yusriadi dan Tanto Jacobus, minta Djunaini, menerbitkan surat resmi "penonaktifan" mereka. Bukan hanya lisan seperti dilakukan Djunaini dengan mengusir mereka keluar Jumat malam. Djunaini setuju. Surat ini akan dibuat Selasa ini.Alex, Nur Is, Yus dan Hairul mengatakan via telepon pada saya bahwa pertemuan berlangsung baik. Djunaini tertawa-tawa dan mengatakan ini adalah "proses pendidikan" bagi mereka. Ia menyayangkan mengapa mereka mengirim mosi tak percaya kepada Jawa Pos.Ia juga keberatan dengan apa yang saya tulis lewat Pantau. Ia berpendapat urusan ini adalah "masalah internal" Equator. Tak perlu diliput media. (Kalau wartawan percaya pada ucapan Djunaini maka media kita isinya cuma siaran pers saja karena para politisi, pengusaha, jenderal dan sebagainya, juga sering minta tak diliput dengan alasan masalah internal).Mereka sopan menyatakan mereka tetap percaya pada mosi tidak percaya itu. Mereka tak tertarik untuk bekerja di Equator selama harian ini dipimpin Djunaini. Djunaini menangis dan merangkul mereka. "Pipi Alex sampai penuh air matanya," kata Alex. "Ini drama."Seorang reporter bilang kepada Sapariah Saturi, tunangan saya yang dulu pernah kerja di Equator, bahwa ia juga hendak mundur dari Equator. "Rezeki itu di tangan Allah," katanya. Dia merasa tak tahan dengan nepotisme, gaya manajemen dan temperamen Djunaini.Saya belum tahu bagaimana kelima orang ini akan menjaga asap dapur mereka. Mereka cukup berani mengirim mosi tidak percaya kepada Jawa Pos dan berani pula bertanggungjawab dengan keputusan yang mereka tandatangani sendiri.
October 31, 2006

Sahrudin said...
bukan maksud hati bercanda di tengah kesedihan orang lain, tapi kisah ini akan sangat menarik untuk dibikin novel, lalu difilmkan. konfliknya nyata, terasa hingga sumsum tulang, berbaur dengan darah dan napas. saya bisa merasakannya.
October 31, 2006

Lazuardi Saragih said...
Yang saya tahu manajemen grup jawa post biasanya menggunakan manajemen konflik, entahlah, saya juga tak begitu tahu persis bagaimana anak-anak media grup jawa post di daerah dalam manej manajemen keredaksian
November 01, 2006

Anonymous said...
kasian para redakturnya equator. padahal mereka pelopor koran reformasi di Kal-Bar (kata mereka) bener gak yah?saya khawatir tabiat Djunaini KS sudah tertular ke redaktur yang dipecat. mudah-mudahan tidak
November 05, 2006

Rudy said...
Kapan gilirannya koran grup Jawa Pos di Pontianak yang lain?
November 07, 2006

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more