Keluarga yang Dibantai ‘Saudara Tua’

By A. Alexander Mering

Dia kenyang makan asam-garam hidup. Usianya saja 86 tahun. Alis dan rambutnya sudah memutih semua, bahkan bagian depan nyaris ludes dikikis jaman. Tapi tidak ada satu kekuatan pun dapat merenggut ingatannya pada peristiwa yang terjadi 63 tahun silam. Meski sudah tampak ringkih saat melangkah, tapi semangatnya masih seperti api. Emosi sangat kentara ketika bercerita tentang kebengisan tentara Jepang di Kalimantan Barat.
“Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai sekaligus oleh tentara Jepang masa itu.
Bulu kuduk saya bergidik mendengar ceritanya. Buru-buru saya menghunus kamera, siap menjepret. “Flash, flash, flas!”
Matanya yang sipit mengerjap-ngerjap sekejap, sebelum melanjutkan cerita. Sementara saya masih sempat menangkap kilat warna emas dari kepala ikat Pinggang kulit merk Dunhill yang dikenakannya.
***

Setelah Jepang berkuasa, Indonesia mengalami masa yang sangat pahit. Dengan dalih sebagai saudara Tua, Jepang menjajah negara ini lebih dari 3 tahun. Walau tak selama Belanda menancapkan kuku di tanah air, kebiadaban yang di lakukan Jepang melebihi sebuah rasa sakit.
Di Kalbar tercatat 21.037 orang dibunuh dengan sadis dari rencana target 50.000. Para kaum cerdik pandai Kalbar dibantai untuk kemudian men-Jepang-kan generasi muda, sebagaimana doktrin Jenderal Hideko Toyo. Diharapkan generasi berikutnya akan tunduk dan patuh di bawah bendera matahari terbit dengan kekuasaan Kaisar.
Lelaki di depan saya ini adalah bagian dari masa lalu tersebut. Hingga pertemuan kami kemarin, ia masih hidup dalam kenangan yang menyakitkan. Saat wawancara ia mengenalkan diri sebagai Lim Bak Djue. Saya menjabat tangannya yang kisut, namun masih kekar. Kuatir keliru menulis namanya, saya meminta dia menulisnya sendiri. Di buku catatan kerja tertera: Djuanda Rimbawidjaja.

Di rezim Orde Baru, penguasa Soeharto melarang nama-nama Tionghoa. Karena itu Lim Bak Djue juga bernama Djuanda Rimbawidjaja.
“Paman saya dua orang yang dibunuh Jepang, saudara saya 6 orang,” kenangnya.
Dia sendiri masih kecil saat kejadian. Karena itu ia luput dari pembantaian. Tapi ketika sudah agak besar, Lim Lan Hiang, sang ayah bercerita tentang hal itu. Kedua pamannya yang terbunuh itu adalah Lim Hak Sio dan Lim Kheng Tie. Sedangkan 6 saudaranya yang turut dibunuh ketika itu adalah Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, dr Lim Bak Chai dan Lim Bak Huat.
“Sebelumnya Jepang pernah memanggil mereka, tetapi dua hari kemudian dilepaskan.” Karenanya tak disangka kalau panggilan adalah akhir sama dengan akhir hidup mereka.
Ayah Lim Bak Djue adalah keturunan perantau dari daratan Tiongkok. Mereka datang ke Kalbar sekitar abad 18. Di kota yang terletak di antara pertemuan Sungai Landak dan Kapuas itu, Keluarga Lim Bak Djue mendirikan sebuah perusahaan dagang yang disebut NV. NV adalah sebuah akronim dalam bahasa Belanda yang bila diartikan sama dengan Perseroan Terbatas (PT) jaman sekarang. Sedangkan nama Lim Lan Hiang, mengambil dari keluarga Lim Bak Djue. NV ini didirikan pada 10 Januari 1931 dengan modal 300 gulden dengan 1000 saham. Saham-saham tersebut dimiliki oleh keluarga besar, termasuk kedua pamannya yang menjadi korban itu.

Mengingat nasib yang menimpa kedua paman dan ke-6 saudaranya itu, hati Lim teriris kembali. Pagi itu, dengan sisa ketegaran, ia mencari Michael Yan Sriwidodo di Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar. Michael adalah wakil rakyat dari etnis Tionghoa Kalbar di DPRD Provinsi yang terpilih pada Pemilu 2004 lalu. Tapi yang di cari masih dalam perjalanan menuju kantor DPRD.
Beberapa menit lalu Lim Bak Djue datang ke ruangan fraksi Golkar. Ia menanti di ruangan ditemani Heryanto Halim, salah seorang familinya. Saat Michael nongol di mulut pintu, senyumnya langsung sumringah. Usai basa basi, Lim Bak Djue mengemukakan isi hatinya.
“Saya harap pak Michael mau memperjuangkan supaya tahun depan foto-foto dari keluarga Lim Lan Hiang yang menjadi Korban Jepang juga terpampang di Makam Juang Mandor,” harapnya. Tak cuma untuk paman dan saudaranya saja, Lim Bak Djue juga meminta supaya korban-korban lainnya juga mendapatkan perlakuan yang sama.
“Ya, ya..akan kita usahakan,” kata Michael. Dia meminta agar Lim Bak Djue menyiapkan foto-foto korban.
“Kepada Yayasan Bakti Suci saya juga akan mengusulkan untuk mengkoordinir serta memberitahukan para anggotanya supaya setiap tanggal 28 Juni para keluarga korban melakukan ziarah ke makam Mandor bersama-sama.”
Saat bicara di ruangan itu, Lim Bak Djue terkadang seperti pidato. Emosinya berubah-ubah. Beberapa katanya bahkan ada yang tak saya fahami, karena diucapkan dengan dialek Tionghoa. Tapi dia adalah seorang lelaki dari masa silam, lelaki yang menyimpan duka sejarah. Di antara kisah luka peninggalan ‘Saudara Tua’. (publish in Borneo Tribune 04 Juli 2007)

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more