(Kisah Perjuangan masyarakat adat Kayaan mempertahankan haknya dari Kesewenangan Penguasa)
A.Alexander Mering
KUMIS dan jenggotnya jarang-jarang, memutih. Tapi Rambutnya hitam pekat, mungkin disemir. Sorot matanya keras dan berani walau kerutan mulai menoreh wajahnya yang menua.Meski cuma orang kampung, kini genap sudah 12 hari ia meninggalkan Tanjung Kuda, Kapuas Hulu (KH), kampung halamannya. KH adalah kabupaten paling Timur di ujung Kalbar. Jaraknya sekitar 700 Km dari ibu kota Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat Kayaan Mendalam, dia sudah melanglang-lang buana hingga Jakarta, ibukota Republik Indonesia.
Kami berjabat tangan. Siang itu ia nongol di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Jalan Imam Bonjol untuk wawancara bersama sejumlah wartawan.
Di hadapan kami sudah terhidang, bakwan, ubi, tempe dan goreng pisang. Ohya, ada juga seonggok jeruk manis dan berbotol-botol air mineral.Masyarakat adat tak pernah mundur,” ujarnya agak emosi. Tangannya mengepal.
Hari itu ia mengenakan kaos kerah belang-belang putih, hitam dan merah. Di pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan, entah apa merknya.
Tak nampak bekas rajah (tato) di kulitnya. Padahal masyarakat Kayaan, seperti juga halnya Dayak Iban sangat gemar menghias badannya dengan tato.
Meski demikian dia tetaplah pewaris keberanian Lawe, tokoh legenda masyarakat Kayaan.
Nama lelaki itu Bunyamin Satar, Temenggung Kayaan Mendalam. Berkali-kali ia diintimidasi dan diancam, agar menghentikan perlawanan terhadap PT TBS. Tapi nyalinya tak pernah ciut. Bahkan 10 Juli lalu, ia dan beberapa perwakilan masyarakat Mendalam, Basah, Haang, Rosa Ahun naik ke lantai 4 gedung Mangala Wana Bhakti, Jakarta untuk bertemu Menteri Kehutanan MS Ka’ban.
Mereka didampingi Sujarni Alloy Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Pendampingan Hukum AMAN Nasional, Sulistiono dan Deputi AMAN Nasional Mahir Takaka, Kepala Sekretariat Partai Buruh, Radjimah Novaria. Ada juga Asisten II Pemerintahan KH, Sungkalang, Kepala Dinas Kehutanan KH, Jantau, Aswardi dari pendamping Jantau, Humas Pemkab KH, Eddy.
Rombongan yang difasilitasi AMAN dan DPD asal Kalbar, yakni Piet Herman Abik diterima pukul 12.00 di ruangan Ka’ban.
Tapi Satar masih geram. Ia sempat emosi karena jawaban Ka’ban mengecewakannya dan rombongan.
Saat jumpa pers siang itu Alloy mengatakan Ka’ban sendiri tidak tegas dan bingung. Menhut tampak ragu-ragu saat Satar dan rombongan mendesaknya mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 107/MENHUT-II/2006 tanggal 17 April 2006 untuk PT. TBS. Sebelumnya warga Kayaan Mendalam sempat berdemo ke Kantor Bupati dan DPRD Kapuas Hulu, menolak PT TBS.
Perusahaan ini memang berjaya mengantongi izin untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 24.920 ha Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam yang di dalamnya hidup 4 suku (Bukat, Kayaan, Taman Semangkok dan Sambus) secara turun temurun. Inilah yang membuat mereka berang.
Para wartawan menyorongkan alat perekamnya. Wartawan TVRI menenteng kameranya sendiri. Dua wartawati Ruai TV, Media Indonesia dan lainnya juga sibuk mencatat. Saya menghunus kemera, karena Satar mulai berbicara lagi.
“Hati kami sudah sangat luka,” ujarnya sendu. Tangannya diletakkan di atas tumpukan map di meja panjang itu. Itu adalah dokumen perlawanan mereka terhadap SK Menhut. Baginya Ka’ban sudah berbohong. Sebab Menteri itu pernah berjanji tidak akan memberikan izin HPH lagi di Kapuas Hulu.
Karena itu, jika menteri tidak mencabut izin HPH PT TBS, maka masyarakat Kayaan akan menghukum mereka dengan hukum adat Pamoh (Berbohong).
Satar dan tokoh masyarakat Kayaan yang hadir hari itu sepakat menuntut pemerintah RI, baik dengan hukum adat maupun hukum negara, jika tetap tiada penyelesaian.
”Kita sangat menyesal, karena pemerintah tidak mengakui masyarakat adat, apalagi hukum adat.”
Dari sorot matanya, ia tampak sungguh-sungguh kecewa. Saya tak tahan menatapnya, maka saya melirik Bambang Bider yang duduk persis di sebelahnya. Bambang juga diam, tadi dia bicara sedikit saja. Bambang adalah anggota World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan juga koordinator inisiatif Heart of Borneo (HoB) di Kalbar. Kawasan yang diberikan Menhut kepada PT TBS juga merupakan kawasan HoB.
Tiba-tiba Uyub, salah seorang warga Kayaan Mendalam yang kini bermukim di Pontianak menyeletuk, ”Selain upaya di atas, kita juga akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM.” Saya mengenal Uyub sebagai journalist yang bekerja pada majalah Kalimantan Review, sebuah media alternatif yang berbasis masyarakat adat di Kalbar.
Alloy yang duduk diapit Paternus Hanye’ dan Basah, menambahkan kalau Ka’ban beralasan demikian, sebab izin PT TBS tengah dalam proses kala itu. “Tapi Menhut berjanji akan memanggil bupati dan pihak PT TBS,” ujarnya.
Hanye’ adalah tokoh masyarakat Kayaan di Pontianak. Ia juga Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura. Sedangkan Basa adalah tokoh masyarakat Kayaan di Kapuas Hulu. Minggu depan, rombongan ini berencana menemui Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husein.
Derita yang dialami masyarakat adat yang diam di DAS Mendalam bukan baru dimulai tahun 2005, tapi sudah sejak 30 tahun lalu. Basa mencatat ada 3 perusahaan perkayuan pernah beroperasi di sana yaitu PT. Puncak Sawmill, PT Markita Borneo Timbe, PT . Lembah Jati yang bergerak di bidang Hutan Taman Industri (HTI).
Perlawanan demi perlawanan dilakukan hingga berbuntut demo besar oleh ratusan warga suku Dayak Kayaan ke DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu 13 Maret 2000 lalu. Mereka mendesak DPRD dan Pemda Kapuas Hulu, agar menghetikan aktivitas PT Lembah Jati Mutiara yang saat itu mengantongi SK Menteri Kehutanan No. 204/kpts-II/92, tanggal 21 Februari 1992.
Kini muncul pula PT TBS di tanah mereka. Izin HPH oleh Menhut kepada perusahaan itu kembali mengiris hati masyarakat Adat setempat.
Direktur Walhi Kalbar, Shaban Setiawan yang dimintai pendapatnya hanya menjelaskan dampak yang timbul jika DAS Mendalam rusak parah. Apalagi total area yang menjadi lahan PT TBS, sekitar 2 hektar justru masuk dalam kawasan hutan lindung, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). TNBK sendiri telah menjadi bagian dari HoB.
Di bawah ini adalah dua lapiran naskah KRONOLOGIS dan tulisan Sujarni Alloy, MA berujudul DAYAK KAYAAN MENGGUGAT dari Putussibau hingga Jakarta. (publish in Borneo Tribune 10 Juli 2007 dengan Judul Perwakilan Masyarakat Mendalam Kecewa pada Menhut). All foto by A.Alexander Mering n Alloy
A.Alexander Mering
KUMIS dan jenggotnya jarang-jarang, memutih. Tapi Rambutnya hitam pekat, mungkin disemir. Sorot matanya keras dan berani walau kerutan mulai menoreh wajahnya yang menua.Meski cuma orang kampung, kini genap sudah 12 hari ia meninggalkan Tanjung Kuda, Kapuas Hulu (KH), kampung halamannya. KH adalah kabupaten paling Timur di ujung Kalbar. Jaraknya sekitar 700 Km dari ibu kota Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat Kayaan Mendalam, dia sudah melanglang-lang buana hingga Jakarta, ibukota Republik Indonesia.
Kami berjabat tangan. Siang itu ia nongol di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Jalan Imam Bonjol untuk wawancara bersama sejumlah wartawan.
Di hadapan kami sudah terhidang, bakwan, ubi, tempe dan goreng pisang. Ohya, ada juga seonggok jeruk manis dan berbotol-botol air mineral.Masyarakat adat tak pernah mundur,” ujarnya agak emosi. Tangannya mengepal.
Hari itu ia mengenakan kaos kerah belang-belang putih, hitam dan merah. Di pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan, entah apa merknya.
Tak nampak bekas rajah (tato) di kulitnya. Padahal masyarakat Kayaan, seperti juga halnya Dayak Iban sangat gemar menghias badannya dengan tato.
Meski demikian dia tetaplah pewaris keberanian Lawe, tokoh legenda masyarakat Kayaan.
Nama lelaki itu Bunyamin Satar, Temenggung Kayaan Mendalam. Berkali-kali ia diintimidasi dan diancam, agar menghentikan perlawanan terhadap PT TBS. Tapi nyalinya tak pernah ciut. Bahkan 10 Juli lalu, ia dan beberapa perwakilan masyarakat Mendalam, Basah, Haang, Rosa Ahun naik ke lantai 4 gedung Mangala Wana Bhakti, Jakarta untuk bertemu Menteri Kehutanan MS Ka’ban.
Mereka didampingi Sujarni Alloy Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Pendampingan Hukum AMAN Nasional, Sulistiono dan Deputi AMAN Nasional Mahir Takaka, Kepala Sekretariat Partai Buruh, Radjimah Novaria. Ada juga Asisten II Pemerintahan KH, Sungkalang, Kepala Dinas Kehutanan KH, Jantau, Aswardi dari pendamping Jantau, Humas Pemkab KH, Eddy.
Rombongan yang difasilitasi AMAN dan DPD asal Kalbar, yakni Piet Herman Abik diterima pukul 12.00 di ruangan Ka’ban.
Tapi Satar masih geram. Ia sempat emosi karena jawaban Ka’ban mengecewakannya dan rombongan.
Saat jumpa pers siang itu Alloy mengatakan Ka’ban sendiri tidak tegas dan bingung. Menhut tampak ragu-ragu saat Satar dan rombongan mendesaknya mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 107/MENHUT-II/2006 tanggal 17 April 2006 untuk PT. TBS. Sebelumnya warga Kayaan Mendalam sempat berdemo ke Kantor Bupati dan DPRD Kapuas Hulu, menolak PT TBS.
Perusahaan ini memang berjaya mengantongi izin untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 24.920 ha Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam yang di dalamnya hidup 4 suku (Bukat, Kayaan, Taman Semangkok dan Sambus) secara turun temurun. Inilah yang membuat mereka berang.
Para wartawan menyorongkan alat perekamnya. Wartawan TVRI menenteng kameranya sendiri. Dua wartawati Ruai TV, Media Indonesia dan lainnya juga sibuk mencatat. Saya menghunus kemera, karena Satar mulai berbicara lagi.
“Hati kami sudah sangat luka,” ujarnya sendu. Tangannya diletakkan di atas tumpukan map di meja panjang itu. Itu adalah dokumen perlawanan mereka terhadap SK Menhut. Baginya Ka’ban sudah berbohong. Sebab Menteri itu pernah berjanji tidak akan memberikan izin HPH lagi di Kapuas Hulu.
Karena itu, jika menteri tidak mencabut izin HPH PT TBS, maka masyarakat Kayaan akan menghukum mereka dengan hukum adat Pamoh (Berbohong).
Satar dan tokoh masyarakat Kayaan yang hadir hari itu sepakat menuntut pemerintah RI, baik dengan hukum adat maupun hukum negara, jika tetap tiada penyelesaian.
”Kita sangat menyesal, karena pemerintah tidak mengakui masyarakat adat, apalagi hukum adat.”
Dari sorot matanya, ia tampak sungguh-sungguh kecewa. Saya tak tahan menatapnya, maka saya melirik Bambang Bider yang duduk persis di sebelahnya. Bambang juga diam, tadi dia bicara sedikit saja. Bambang adalah anggota World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan juga koordinator inisiatif Heart of Borneo (HoB) di Kalbar. Kawasan yang diberikan Menhut kepada PT TBS juga merupakan kawasan HoB.
Tiba-tiba Uyub, salah seorang warga Kayaan Mendalam yang kini bermukim di Pontianak menyeletuk, ”Selain upaya di atas, kita juga akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM.” Saya mengenal Uyub sebagai journalist yang bekerja pada majalah Kalimantan Review, sebuah media alternatif yang berbasis masyarakat adat di Kalbar.
Alloy yang duduk diapit Paternus Hanye’ dan Basah, menambahkan kalau Ka’ban beralasan demikian, sebab izin PT TBS tengah dalam proses kala itu. “Tapi Menhut berjanji akan memanggil bupati dan pihak PT TBS,” ujarnya.
Hanye’ adalah tokoh masyarakat Kayaan di Pontianak. Ia juga Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura. Sedangkan Basa adalah tokoh masyarakat Kayaan di Kapuas Hulu. Minggu depan, rombongan ini berencana menemui Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husein.
Derita yang dialami masyarakat adat yang diam di DAS Mendalam bukan baru dimulai tahun 2005, tapi sudah sejak 30 tahun lalu. Basa mencatat ada 3 perusahaan perkayuan pernah beroperasi di sana yaitu PT. Puncak Sawmill, PT Markita Borneo Timbe, PT . Lembah Jati yang bergerak di bidang Hutan Taman Industri (HTI).
Perlawanan demi perlawanan dilakukan hingga berbuntut demo besar oleh ratusan warga suku Dayak Kayaan ke DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu 13 Maret 2000 lalu. Mereka mendesak DPRD dan Pemda Kapuas Hulu, agar menghetikan aktivitas PT Lembah Jati Mutiara yang saat itu mengantongi SK Menteri Kehutanan No. 204/kpts-II/92, tanggal 21 Februari 1992.
Kini muncul pula PT TBS di tanah mereka. Izin HPH oleh Menhut kepada perusahaan itu kembali mengiris hati masyarakat Adat setempat.
Direktur Walhi Kalbar, Shaban Setiawan yang dimintai pendapatnya hanya menjelaskan dampak yang timbul jika DAS Mendalam rusak parah. Apalagi total area yang menjadi lahan PT TBS, sekitar 2 hektar justru masuk dalam kawasan hutan lindung, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). TNBK sendiri telah menjadi bagian dari HoB.
Di bawah ini adalah dua lapiran naskah KRONOLOGIS dan tulisan Sujarni Alloy, MA berujudul DAYAK KAYAAN MENGGUGAT dari Putussibau hingga Jakarta. (publish in Borneo Tribune 10 Juli 2007 dengan Judul Perwakilan Masyarakat Mendalam Kecewa pada Menhut). All foto by A.Alexander Mering n Alloy