Yang Menganyam Cerita dari Luka

(Dunia Seorang Pay Jarot Sujarwo)


By Wisnu Pamungkas

Malam telah melewati puncak. Seorang bocah lelaki 8 tahunan tiba-tiba terbangun dari tidur demi mendengar suara gaduh dari luar kamar. Lampu ruang tengah yang semula mati, kini menyala. Bocah itu hendak keluar, ingin tahu apa yang terjadi, tapi batal. Sebab belum sampai tangannya menyentuh engsel pintu, suara barang pecah belah yang dihempaskan ke lantai membuat nyalinya kecut.
Funny Clip Images“Laki-laki kurang ajar. Pengkhianat!” Seorang perempuan berteriak histeris, tak lama kemudian menangis tersedu.

Itu adalah tangis ibu. Wanita yang melahirkan bocah lelaki delapan tahunan yang kini tengah memegang spidol dan menambahkan sebuah garis di dinding kamarnya. Sudah enam garis. Seperti malam-malam sebelumnya, setelah bocah itu menorehkan satu garis tambahan di dinding kamarnya, kemudian ia mengambil buku tulis dan pensil. Ia rebahan di kasur, kemudian mulai menulis.

14 Januari 1989. jam 02.13 dini hari.
Dalam bulan ini sudah enam kali bapak dan ibu bertengkar hebat. Aku sedih. Apakah keluargaku akan hancur… Aku tidak mau keluargaku berantakan. Aku tidak mau melihat ibu menangis terus menerus……Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku cuma seorang anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sedih. Tuhan, tolong beri kekuatan. Tolong biarkan keluarga kami hidup rukun seperti keluarga yang lain.

Air mata lelaki delapan tahunan itu pecah, tumpah, meleleh dan menjadikan kedua pipinya basah. Dadanya berkecamuk, jantungya berdegub hebat.
Hari lewat. Musim yang berganti masih menceritakan kisah sama. Orang tuanya masih saja bertengkar. Kini ia tidak lagi berusia 8 tahun. Bulan lalu ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 15. Masa yang konon merupakan masa yang indah. Tapi apa lacur? Keindahan baginya Cuma ada di buku komik, masa remaja terus digelayuti pedih dan rasa sakit. Betapa ia rindu kasih sayang kedua orang tua. Tapi apa daya, bahtera rumah tangga ibu-ayahnya terlanjur pecah.

Sekali lagi ia meraih buku hariannya. Mencatat peristiwa, luka demi luka. Mulutnya terkunci saat mencoba memprotes bapak. Akhirnya, lelaki itu memilih menangis.
Suatu hari ia merasa harus pergi dari rumah dan dari tanah tempat ari-arinya terpendam. Sebab luka. Sebab kecewa yag berkecamuk. Ia tidak mungkin bertahan. Tapi sebagai laki-laki dan anak tertua ia tumpuan keluarga. Ibu selalu menuntutnya untuk bisa berbuat demi menyadarkan bapak untuk kembali ke rumah. Hatinya ciut. Ia menyadari, perang bukan penyelesaian. Ia memilih lari. Meninggalkan ibu dan kedua adiknya. Meninggalkan bapak. Meninggalkan kampung halamannya dengan luka bathin seakan diiris.

Lulus SMA tekadnya bulat meninggalkan Pontianak. Sejak kecil ia sudah terbiasa kabur dari rumah saat bapak dan ibu bertengkar. Bukankah sejak kecil ia sudah terbiasa hidup sendirian tanpa belai kasih sayang. Terbiasa memasak nasi, goreng ikan teri, melumuri kecap di piring nasi sendirian. “Tak ada alasan aku takut pergi? Tidak ada,” gumamnya.
Jogjakarta hinggap di kepalanya tiba-tiba. Ia benar-benar ingin sendirian. Ingin tenang di sebuah dunia.

“Pak, aku mau kuliah?”
“Kuliah dimana?
“Jogja.”
“Apa.... Jogja?” Sang bapak kaget. Dia bukan lagi PNS yang punya banyak duit. Kini penghasilannya sudah terbagi untuk dua keluarga.
Tidak ada penawaran. Jika tak dikabulkan dia mengancam akan menggelandang di pasar tengah. Bukan gertak sambal, dia sudah nekat. Pergi dari Pontianak mungkin bukan jalan keluar, tapi setidaknya dia bisa melupakan kesedihan. Dia pun menulis sajak.

RITUAL KEPERGIAN

maaf, aku pergi tanpa pesan. lebur dalam puisi, mengembara tinggalkan diri.
sebagai bayi, aku merangkak sempurna dalam jerit tangis tak henti-henti.
sampai hari ini, selalu aku rindu keasingan-keasingan
menjadi debu, menghapus jejak kaki di belukar mimpimu.
aku tak mau pergi, tapi harus sendiri.

keutuhan bukan kekekalan. aku berputar sangat cepat dalam fase-fase sendiri.
sejak kulewati benda-benda, susunan batu-batu, kesadaran diri
: menjelmakannya jadi kata-kata.
apakah aku terusir, ketika yang kugedor-gedor cuma ruang hampa
sedangkan peristiwa dan keringat yang kita ciptakan
juga belum sanggup meredam keserakahan sang kala.

kukawini sepi
melampirkan lenguh pada senja di imaji penyair
aku pergi!

Aku menarik nafas. Dia menuliskan kisahnya sendiri.

Demikianlah, tercatat 24 Juni 1999, pertama kali menginjak tanah Jogjakarta. Sebuah kota tua yang sarat sejarah. Ini periode baru dalam perjalanan hidupku dalam rangka lari dari rumah. Ijazah SMA, beberapa lembar pakaian, sebuah album foto teman-teman SMA dan tak lupa tumpukan buku harian yang menjadi sahabat.

Gagal UMPTN Fakultas Sastra UGM dan Sendratasi IKIP Karang Malang (sekarang UNY), aku mendaftar di kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Hari-hari pertamaku sangat kesepian. Bayangan air mata ibu, pengkhianatan bapak tak serta merta bisa kuhapus dari pikiran.

Ups, ada yang terlewatkan. Sejak kecil, selain menulis buku harian, aku juga suka membaca buku-buku cerita. Entah cerita kepahlawanan, dongeng, legenda, apa saja. Bahkan komik bermerk Gultom Agency, pun aku suka. Saat membaca aku berkhayal. Khayalan yang paling sering menjadi hero yang menyelamatkan ibu dari amuk ayah. Kadang berkhayal menjadi Lupus, yang selalu santai menghadapi persoalan. Atau menjadi Bobo yang kerjaannya mengabdi melulu. Ah, namanya juga anak-anak.

Perjalanan awal proses kepenulisanku dimulai saat aku masuk menjadi salah satu anggota komunitas teater di kampus. Di komunitas ini aku tidak hanya dikenalkan ilmu teater dan kepenulisan, tapi belajar hidup. Menghabiskan malam demi malam dengan mendiskusikan banyak hal, menulis berjudul-judul puisi dan cerpen, mengirimkannya ke media masa, pentas dari panggung satu ke panggung yang lain. Semakin hari, aku semakin merasa akrab dengan Jogja dan kehidupan di dalamnya. Apa yang kualami di masa kecil, sering menjadi inspirasi dan tema utama cerpen/puisi yang kutulis.

Di sanggar, para senior tidak pernah mengajarkan kami teori atau teknik menulis (sastra) yang benar. Karena bisa jadi, para senior itu pun tidak mengerti bagaimana menulis sesuai dengan teori. Aku masih ingat, setiap minggu pagi, bangun tidur, seorang senior ngompasin kami-kami yang masih nota bene anak baru. Seberapa ada. Rp 200, 1000, 500, 5000, terserah. Sukarela.

Yang tidak punya uang ataupun tidak mau menyumbang, dikenai tugas membersihkan sanggar dari buku-buku yang berserakan bekas tadi malam. Senior itu pun pergi. Kira-kira setengah jam kemudian dia kembali membawa beraneka surat kabar yang terbit hari itu. Dari koran-koran ini, kami mengenal Afrizal Malna, Teguh Winarso, Beni Setia, Putut EA, Iman Budhi Santosa, Hasta Indriana dll. Tentu saja bukan hanya nama mereka yang kami kenal, tapi juga karyanya. Menurutku proses pembelajaran seperti ini, cukup efektif.

Fase ini merupakan masa dimana aku giat-giatnya membaca dan menulis puisi. Chairil Anwar, Gunawan Muhammad & Afrizal Malna adalah tiga nama dari sekian banyak penyair yang karya-karyanya sering aku baca. Hehehe, pada masa ini, kalau diingat-ingat kadang aku suka ketawa sendiri. Entah lucu, entah gila. Mungkin karena aku terlalu kemaruk. Hampir tiap moment yang kualami kutulis menjadi puisi. Puisi-puisi itu kusebarluaskan kepada kawan-kawan, siapa saja yang kukenal.

Emailnya terputus. Aku kirim SMS.
Sehari dia tidak ada jawaban, tapi akhirnya dia membalas. Dia mengetik lagi. Kali ini agak ngaco.

“Rasanya kurang afdol kalau aku tiba-tiba saja harus menceritakan proses kreatifku di Pontianak (atau jangan-jangan selama di Pontianak aku ga kreatif ya? Hehehe. Biasa aja kaleee). Yup, kurang afdol. Seperti ada bagian yang terpenggal. Hmm, sampai dimana ya kemarin? (filenya tersimpan di komputer kantor, sementara sekarang aku di warnet). Kalau ga salah, sampai fase awal aku kemaruk-kemaruknya nulis puisi. Ini aku lanjutin dikit ya, singkat-singkat aja.”

Tapi busyet.., dia mengirim 5 halaman.

Bocah lelaki yang sering terbangun malam-malam itu tak lagi berusia 8 tahun. Ia sudah kembali ke rumah. Ke bumi di mana pertama kali ia menangis keras setelah lolos dari rahim seorang ibu. Kini ia sudah berusia 25 tahun. Sendirian mematung di kamar yang dulu ditinggalkan. Banyak yang berubah. Tapi coretan spidol yang hampir memenuhi seluruh dinding kamar tak bisa berbohong, coretan luka yang sukar tersembuhkan.

Lelaki tersebut adalah aku. Pay Jarot Sujarwo. Tapi Apa ya yang hendak kuceritakan setelah kembali pulang ke Pontianak? Proses Kreatif Menulis. Wah di satu sisi, betapa keinginanku untuk tetap menyejarah lewat tulisan, di sisi yang lain, realitas hidup dan iklim kepenulisan di Pontianak membuatku kadang-kadang jengah. Tapi aku tak menyerah?

Beruntung Aku, Amrin dan Yufita akhirnya punya kesepakatan mengumpulkan karya dan mencetaknya. Kumpulan Cerpen Nol Derajat judulnya. Pasca penerbitan kami disebut-sebut sebagai orang muda yang punya keberanian. Meski aku yakin, apa yang kami lakukan bukan yang pertama di Pontianak. Sayang manajemen nilainya merah. Wah, ceritaku kok kayaknya gak runtut ya. Ah, biarinlah. Pokoknya, demi mencerdaskan kehidupan bangsa khatulistiwa sekalian cari uang buat nambah-nambah belanja ibu di rumah dan jajan adik-adik, sendirian, aku nekat mendirikan lembaga penerbitan di Kota Pontianak dengan nama Pijar Publishing.

Stop! Matakau sudah sangat lelah. Baiklah aku akan singkat begini:
Pay adalah penulis cerpen, puisi dan artikel di media massa, di antaranya Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Bernas, Minggu Pagi, Solopos, Pontianak Post, Lampung Post, Annida, Harian Equator, Bakti, Tren, Muda, Gugah dan Pendapa.

Cerpennya pernah memenangkan lomba penulisan cerpen oleh Yayasan Cakra Pustaka Surakarta (2002). Salah satu cerpennya masuk dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Balairung, Yogyakarta (KCTB, 2003). Karyanya dimuat dalam Buku Kumpulan Cerpen bersama dengan judul Nol Derajat, terbitan Pena Khatulistiwa (2005). Buku kumpulan puisi tunggalnya ‘di best borneo, kembara cinta ini kuceritakan’ diterbitkan Pijar Publishing, 2006. Saat ini Merintis usaha penerbitan dengan nama Pijar Publishing dan telah menerbitkan buku-buku yang ditulis pengarang lokal Kalimantan Barat. Markasnya cari aja di Jl. Adisucipto gg. Tridharma No. 5 Pontianak (Publish in Borneo Tribune, 8 Juli 2007).
Next Post Previous Post