Cu Keling Kumang, Simbol Kebangkitan Rakyat Miskin (1)

Ensangan, Mimpi dan Kemiskinan
by A.Alexander Mering

Langit tanpa bulan. Hanya cahaya lampu petromak yang merembes antara celah papan dan pintu yang dibiarkan terbuka. Meski cuaca malam itu tidak begitu panas tapi orang-orang mulai gelisah. Bahkan beberapa ada yang sudah mengangkat pantat beranjak pulang.
Rapat di rumah guru SD bernama Simon Petrus mula-mula senang berubah jadi tegang. Tapi pemuda itu ternyata tak kehilangan akal. Ia lantas melantunkan sepenggal ensangan sehingga orang kampung yang tadi telah apatis berbalik simpati. Ensangan adalah nyanyian tradisional khas Dayak Desa Tapang Sambas dan Tapang Kemayau konon juga Sekujam yang berisi manir (sindiran atau satir). Seorang lelaki yang tadi sudah melangkah, menarik kakinya dan kembali duduk. Meski ragu, tapi akal sehatnya ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan sarjana bernama Munaldus ini.
Tahun 1993, listrik memang belum masuk kampung. Jumlah penduduk pun belum sampai 70 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar warga adalah petani, meski ada juga guru seperti pak Simon tapi cuma ada dua saja sarjana dari kampung itu. Kedua orang itu adalah Munaldus dan Stevanus Masiun yang malam itu duduk di hadapan mereka. Berbicara tentang jalan menuju kesejahteraan melalui Credit Union (CU).
Kampung sudah lama sunyi karena sudah larut malam. Hanya bunyi jangkrik dan burung malam yang terdengar sahut-menyahut di luar sana saat Munaldus menghentikan ensangan-nya. Dari sekitar 30 orang yang hadir dalam pertemuan, tak semuanya yakin pada ‘mimpi’ dua pemuda yang sangat mereka kenal sejak kecil. Ayah-ibunya juga sama-sama hidup miskin seperti mereka. Dua bersaudara itu bermimpi membangun CU di tengah kemiskinan warga.
Munaldus merogoh sakunya, mengeluarkan sejumlah uang, diikuti Masiun dan 10 warga lain. Yang tak membawa uang berjanji akan mendaftar esok harinya. Terkumpullah Rp 291 ribu dan pada malam itu juga langsung dipinjam 3 orang anggota. Benar saja, keesokan harinya jumlah mereka bertambah menjadi 26 orang.
“Maka kami sepakat, 25 Maret 1993 dianggap sebagai hari lahirnya CU Keling Kumang,” kata Munaldus kepada saya.
Stempel, kalkulator kecil seharga Rp 11.000, buku DUM/DUK, buku kas harian,dan buku jurnal kas dan ATK dibeli Munaldus dan Masiun dengan uangnya sendiri. Mereka mau CU yang baru terbentuk langsung dapat melayani anggota. Alis Persius yang akrab dipanggil Sila langsung ditunjuk sebagai pelaksana harian. Pelayanan perdana dimulai dari salah satu bilik rumah keluarga Sila. Tiga bulan ia bekerja tanpa upah. Keputusan penting lainnya malam itu adalah menunjuk AR Mecer sebagai salah seorang penasehat. Karena nama Mecer mulai populer sebagai pelopor CU di Kalbar. “Saya dan Munaldus anggota CU Pancur Kasih di Pontianak yang dipimpin pak Mecer, bahkan Munaldus termasuk salah seorang pendiri,” kata Masiun.
Tak ada yang menyangka, mimpi 14 tahun silam dari rumah 6x 8 berdinding papan milik Simon Petrus kini mengejewantah menjadi gedung CU termegah. Modern namun berarsitektur Rumah Panjai (Rumah Betang) khas Dayak. Meski sebagian besar terbuat dari semen, berlapis kramik dan porselin, namun sekat antara ruai (pelataran bagian dalam) dengan teras bangunan tetap terbuat dari kayu cerucuk sebesar lengan yang diberi celah, khas Betang.
Bahkan CU Pancurkasih yang meletakkan pondasi awal CU di rantau ini, belum punya bangunan semegah dan seunik kantor pusat CU Keling Kumang. (bersambung)

(publish in Borneo Tribune 2 September 2007)
Next Post Previous Post