Dulu Petromak, Sekarang Laptop
by A.Alexander Mering
Jika 14 tahun silam rapat anggota cuma diterangi petromak yang saban waktu harus dipompa, sekarang kantor 40x26 meter ini diterangi tak kurang dari 500 titik lampu listrik dan memiliki genzet sendiri. Di belakangnya terdapat kolam renang 25x30 meter yang sedang dalam proses penyelesaian. Sedangkan di sayap kiri ada bangunan terpisah seperti asrama yang diperuntukkan untuk penggodokkan para aktivis. Di belakangnya ada bangunan khusus untuk dapur. Di kanan bagian depan masih terdapat pohon entawak (Artocarpus ansiophyllus) dan durian, ada juga pohon mangga yang memisahkan bangunan megah itu dengan rumah penduduk.
“Selamat datai,” sapa seorang lelaki tampak bangga ketika saya menaiki tangga samping bangunan untuk pertama kalinya. Padahal pasti dia tak mengenal saya. Saya menjabat tangannya erat-erat untuk menunjukkan perhatian. Dia salah seorang panitia peresmian dan saya tiba sehari sebelum pelaksanaan acara. Selamat datai dalam bahasa setempat sama artinya dengan selamat datang.
“Selamat. Luar biasa.”
Saya memberinya senyum. Masiun salah satu tokoh CU berjalan dua anak tangga di depan saya. Hadir di jantung kampung yang berjarak sekitar 27 Km dari Kabupaten Sekadau atas udangan panitia dan menumpang gratis pula di Daihatsu Feroza-nya Masiun adalah anugerah luar biasa bagi saya. Apalagi menyaksikan sendiri rakyat kecil yang oleh republik ini selalu dianggap tak berdaya justru bangkit melakukan hal sebaliknya.
Jika tahun 1993 mereka cuma bermodal buku DUM/DUK, buku kas harian dan buku jurnal kas dan ATK dan hanya seorang pengurus harian, kini CU Keling Kumang memiliki 112 pegawai yang bekerja dengan komputer LCD. Jika saat itu sarjana Cuma dua yaitu Munaldus dan Masiun, sekarang semakin banyak sarjana terlahir dari kampung yang dalam peta tidak buta pun sukar ditemukan.
“Untuk mobile, pegawai CU di sini sudah menggunakan laptop masing-masing,” kata Masiun bangga.
“Kita dulu ada program yang disebut laptopkin,” seloroh Yohanes RJ di lain kesempatan.
“Program apa itu?” tanya Saya heran.
“Itu, tu..., program laptop untuk masyarakat miskin.”
Yohanes tertawa mungkin sambil ngeledek saya.
Bicara laptop, ingatanku tiba-tiba melayang pada Tukul Arwana yang walau konon tampangnya katrok (kampungan) tapi sukses jadi presenter di Trans 7 Jakarta. Seantero nusantara pasti sangat akrab dengan slogannya: “kembali ke lap-top!”
Tentulah tak ada hubungannya laptop Tukul dengan laptopkin-nya CU Keling Kumang.
Yohanes adalah General Manager CU Keling Kumang. Dia alumni FKIP Untan, jurusan Koperasi dan pernah menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar. Karena itu pula ia pernah masuk dalam daftar cekal salah satu koran lokal di Kalbar lantaran dianggap anti perkebunan sawit. Tapi ia cuek, setidaknya ia berhasil mempertahankan kampungnya sendiri dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Yohanes lahir di kampung, seperti halnya Masiun dan Munaldus. Seperti kedua seniornya dia juga bertekad membangun rakyat mulai dari kampung, sesuai dengan apa yang mereka sebut dengan gerakan kembali ke kampung.
Bahkan suatu hari Theresia Farica De Ganza, putrinya bertanya, “Orang lain ngantor di kota, kok ayah malah ngantor di kampung?”
Pertanyaan polos putrinya itu diungkapkannya lagi saat peresmian kantor CU Keling Kumang 27 Agustus pagi. Ketika ia berpidato di hadapan lebih dari 4000 warga, dan undangan serta wartawan. Ada juga Uskup Sintang, Wakil Bupati Kabupaten Sekadau, Wakil DPRD Sekadau, para pejabat daerah. Tapi sebagian besar adalah petani yang menjadi anggota CU yang dari 14 tahun lalu telah menabung mulai dari Rp 10 ribu dan meningkat menjadi Rp 100 ribu sebulan demi mewujudkan kantor termegah tersebut.
Tepuk tangan bergemuruh.
Terus bergemuruh, ketika Munaldus naik ke panggung menyampaikan pidato kedua. Masiun ke tiga dengan 10 mimpinya.
Saya urung memotret.
Di salah satu sudut tiang, di antara himpitan orang-orang yang bergembira saya memejamkan mata, menghayati sesuatu yang tak sepenuhnya saya fahami. Apalagi saya bukanlah salah satu dari tokoh cerita dalam succces story ini. Tapi sesuatu telah hadir di tempat ini, di tanah Markus Narang, lelaki sepuh yang tidur sambil mengepal tanah. (bersambung)
(publish in Borneo Tribune, 3 September 2007)
by A.Alexander Mering
Jika 14 tahun silam rapat anggota cuma diterangi petromak yang saban waktu harus dipompa, sekarang kantor 40x26 meter ini diterangi tak kurang dari 500 titik lampu listrik dan memiliki genzet sendiri. Di belakangnya terdapat kolam renang 25x30 meter yang sedang dalam proses penyelesaian. Sedangkan di sayap kiri ada bangunan terpisah seperti asrama yang diperuntukkan untuk penggodokkan para aktivis. Di belakangnya ada bangunan khusus untuk dapur. Di kanan bagian depan masih terdapat pohon entawak (Artocarpus ansiophyllus) dan durian, ada juga pohon mangga yang memisahkan bangunan megah itu dengan rumah penduduk.
“Selamat datai,” sapa seorang lelaki tampak bangga ketika saya menaiki tangga samping bangunan untuk pertama kalinya. Padahal pasti dia tak mengenal saya. Saya menjabat tangannya erat-erat untuk menunjukkan perhatian. Dia salah seorang panitia peresmian dan saya tiba sehari sebelum pelaksanaan acara. Selamat datai dalam bahasa setempat sama artinya dengan selamat datang.
“Selamat. Luar biasa.”
Saya memberinya senyum. Masiun salah satu tokoh CU berjalan dua anak tangga di depan saya. Hadir di jantung kampung yang berjarak sekitar 27 Km dari Kabupaten Sekadau atas udangan panitia dan menumpang gratis pula di Daihatsu Feroza-nya Masiun adalah anugerah luar biasa bagi saya. Apalagi menyaksikan sendiri rakyat kecil yang oleh republik ini selalu dianggap tak berdaya justru bangkit melakukan hal sebaliknya.
Jika tahun 1993 mereka cuma bermodal buku DUM/DUK, buku kas harian dan buku jurnal kas dan ATK dan hanya seorang pengurus harian, kini CU Keling Kumang memiliki 112 pegawai yang bekerja dengan komputer LCD. Jika saat itu sarjana Cuma dua yaitu Munaldus dan Masiun, sekarang semakin banyak sarjana terlahir dari kampung yang dalam peta tidak buta pun sukar ditemukan.
“Untuk mobile, pegawai CU di sini sudah menggunakan laptop masing-masing,” kata Masiun bangga.
“Kita dulu ada program yang disebut laptopkin,” seloroh Yohanes RJ di lain kesempatan.
“Program apa itu?” tanya Saya heran.
“Itu, tu..., program laptop untuk masyarakat miskin.”
Yohanes tertawa mungkin sambil ngeledek saya.
Bicara laptop, ingatanku tiba-tiba melayang pada Tukul Arwana yang walau konon tampangnya katrok (kampungan) tapi sukses jadi presenter di Trans 7 Jakarta. Seantero nusantara pasti sangat akrab dengan slogannya: “kembali ke lap-top!”
Tentulah tak ada hubungannya laptop Tukul dengan laptopkin-nya CU Keling Kumang.
Yohanes adalah General Manager CU Keling Kumang. Dia alumni FKIP Untan, jurusan Koperasi dan pernah menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar. Karena itu pula ia pernah masuk dalam daftar cekal salah satu koran lokal di Kalbar lantaran dianggap anti perkebunan sawit. Tapi ia cuek, setidaknya ia berhasil mempertahankan kampungnya sendiri dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Yohanes lahir di kampung, seperti halnya Masiun dan Munaldus. Seperti kedua seniornya dia juga bertekad membangun rakyat mulai dari kampung, sesuai dengan apa yang mereka sebut dengan gerakan kembali ke kampung.
Bahkan suatu hari Theresia Farica De Ganza, putrinya bertanya, “Orang lain ngantor di kota, kok ayah malah ngantor di kampung?”
Pertanyaan polos putrinya itu diungkapkannya lagi saat peresmian kantor CU Keling Kumang 27 Agustus pagi. Ketika ia berpidato di hadapan lebih dari 4000 warga, dan undangan serta wartawan. Ada juga Uskup Sintang, Wakil Bupati Kabupaten Sekadau, Wakil DPRD Sekadau, para pejabat daerah. Tapi sebagian besar adalah petani yang menjadi anggota CU yang dari 14 tahun lalu telah menabung mulai dari Rp 10 ribu dan meningkat menjadi Rp 100 ribu sebulan demi mewujudkan kantor termegah tersebut.
Tepuk tangan bergemuruh.
Terus bergemuruh, ketika Munaldus naik ke panggung menyampaikan pidato kedua. Masiun ke tiga dengan 10 mimpinya.
Saya urung memotret.
Di salah satu sudut tiang, di antara himpitan orang-orang yang bergembira saya memejamkan mata, menghayati sesuatu yang tak sepenuhnya saya fahami. Apalagi saya bukanlah salah satu dari tokoh cerita dalam succces story ini. Tapi sesuatu telah hadir di tempat ini, di tanah Markus Narang, lelaki sepuh yang tidur sambil mengepal tanah. (bersambung)
(publish in Borneo Tribune, 3 September 2007)