Bangkit di Antara Kepungan Sawit
By A Alexander Mering
Jalan aspal itu berkelok-kelok. Semakin dekat Sanggau kondisi jalan semakin buruk, padahal Indonesia baru saja merayakan HUT-nya yang ke 62. Entah apa yang dirayakan jika sekadar mengurus jalan raya saja negara ini belum becus. Tapi Daihatsu, Feroza KB 771 AG yang kami tumpangi terus melaju menuju Sekadau. Entah siapa yang tak mengurus negeri ini sebenarnya, padahal beberapa kewajiban negara, yang mengerjakannya justru para petani miskin melalui gerakan Credit Union (CU), khususnya yang ada di Kalimantan Barat.
Saya pun tak tahan. Lantas mengomel berpanjang-pendek prihal jalan yang dari jaman baheula tetap saja buruk. Jadi tak usahlah ditanya soal jalan Trans Kalimantan yang entah bila-bila terwujud.
“Jika mau selamat, pakailah filsafat petani. Khususnya petani Dayak.”
Masiun terus mengoceh, sambil menyetir. Aku terdiam menahan sakit perut di Jok belakang karena dikocok jalan berlubang sepanjang perjalanan.
“Itu kata pak Mecer,” lanjutnya. Aku merubah posisi duduk. Tanganku berpegang erat-erat antara kursi sopir dan jendela Feroza sambil mencondongkan badan ke arahnya. Yang dimaksud Masiun—AR. Mecer, seorang aktivis CU nusantara yang berasal dari Kalbar. Dia juga pendiri CU Pancur Kasih dan sekarang menjadi ketua BK3D Kalimantan.
“Apa isi filsafatnya?” Tanya saya penasaran.
Masiun lantas menguraikan satu per satu dari 3 falsafah hidup petani yang dimaksud.
Pertama ritual, dimana setiap akan berladang atau melakukan sesuatu, petani pada umumnya dan petani dari sub suku Dayak khususnya selalu melakukan ritual adat.
Nilai yang kedua adalah bercocok tanam. Untuk kelangsungan hidup, petani selalu bercocok tanam. Mereka tidak menghabiskan padi hasil panen sebelumnya, tetapi menyisakan hasil panen terbaik untuk dijadikan benih. “Sikap inilah sebenarnya yang menunjukkan konsep menabung petani.”
Dengan harapan dari segantang benih, setelah ditanam bisa menjadi berkarung-karung padi. Nilai yang ketiga adalah sifat sosial. Ini akan sangat terasa jika ada salah satu anggota masyarakat kemalangan atau meninggal dunia. Maka setiap warga akan membawa beras secukupnya ke rumah orang yang terkena musibah.
“Nah, produk-produk CU harus mencerminkan ketiga nilai di atas,” kata Masiun.
Sumpah! Saya sangat penat sebenarnya. Tapi mendengar hujah-hujahnya tentang CU, saya melupakan siksaan perjalanan sepanjang sekitar 327 km itu.
Masiun memang belum sekaliber AR Mecer soal CU. Dia masih sangat muda, tahun ini usianya baru 39 tahun. Tapi bersama Mecer ia sudah melanglang buana hampir ke seluruh kota di nusantara ini untuk memperkenalkan gerakan CU. Di Kalbar, bahkan di Indonesia nama Masiun telah diperhitungkan sebagai seorang aktivis yang idealis. Tahun 2004 lalu ia hanya kalah tipis ketika bertarung di Pilkada Kabupaten Sekadau.
Masiun lahir di Tapang Samas dan tumbuh bersama Munaldus abangnya serta 7 saudaranya yang lain di kampung itu. Tapang adalah pohon besar tempat lebah biasanya bersarang, Samas adalah sejenis akar yang kerab ditemukan melilit di pohon Tapang. Tapi lidah orang lebih gampang menyebut kampung itu Tapang Sambas.
“Dia sekolah di SD di sini,” kata Monika, kakak tertua Masiun kepada saya. Dia adalah wanita yang ramah dan senang bercerita. Kami berbincang-bincang di warung, di samping Bangunan Kantor Pusat CU Keling Kumang sore itu. Kata dia, tamat SD Masiun meneruskan pendidikan ke SMP Katolik di Sekadau, SMA di Sintang. Di sana ia dan Munaldus tinggal di rumah bibinya yang bernama Liah. Seperti Munaldus, Masiun juga tak mau menyerah.
“Ia pernah jadi kuli PU (maksudnya Dinas Pekerjaan Umum), menebas jalan raya Pauh-Lengkenat dengan upah Rp 750,” kenang Monika. Menoreh karet adalah hal yang biasa baginya. Suatu ketika kata Monika Masiun pulang kampung dengan kulit dan wajah melepuh terbakar getah pohon rengas (glutha renghas). Rupanya dia menjadi kuli pikul papan rengas di kawasan Mungguk Kemantan, Sintang bersama Munaldus.
Di lain waktu Masiun pulang ke kampungnya berjalan kaki, karena sulitnya transportasi. Berangkat pagi-pagi tiba di rumah di Tapang Sambas menjelang malam. Kakinya yang cuma beralas sandal jepit melepuh. Tapi Masiun tak menyerah ia sungguh sadar ayahnya bukanlah orang kaya. Hanya dengan pendidikan nasib mereka dapat berubah.
“Kalau pulang ke Sintang, biasanya diantar apai naik sepeda,” kenangnya. Maksud Masiun adalah Markus Nerang ayahnya orang kampung memanggil pria sepuh itu Rurut. Apai dalam bahasa Dayak Desa artinya ayah. Markus adalah orang yang keras kepada anak-anaknya. Namun setelah Masiun dan Munaldus berhasil menjadi sarjana dan membawa mimpi tentang perubahan nasib mereka melalui CU, Markus tak segan-segan mendukungnya. Begitu juga ketika anak-anaknya menentang ekspansi perkebunan sawit ke kampung mereka. Masiun dan Munaldus adalah kampiun dalam soal ini. Usaha mereka berhasil, karena warga kompak ogah menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Kami tetap mempertahankan berkebun karet kami, karena sejak dulu nenek moyang kami hanya mengerti berkebun karet,” kata Edmundus, Kadus Tapang Sambas.
Karena Kantor Pusat CU Keling Kumang di tengah kampung itu keberadaannya sangat kontras bagaikan sebuah istana. Tapi bedanya, dengan istana jaman dulu, bangunan tersebut adalah milik rakyat, rakyat yang mampu membuktikan kalau mereka mampu berbuat justru dari kekurangan mereka. (Bersambung)
(Publish in Borneo Tribune, 4 September 2007)