Menggambar Ibu


(Juara Lomba Desing Perangko Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingati Education for Poverty)

Oleh A.Alexander Mering

Sesekali dia menoleh ke belakang. Wajah mungilnya tersembul dari balik becak yang sedang melaju di depan, rambutnya berkibar-kibar diterpa angin siang. Saya terus membuntuti becak yang ditumpanginya dari sekolah, menuju toko Elegan Gorden di Jalan Juanda.
Sejak dua hari terakhir bocah kelas dua SD Suster Pontianak ini menjadi buah bibir warga Kalbar.
Saya semakin terobsesi mewawancarainya, sejak pertemuan kami di kelasnya pagi tadi.
“Saya Bryan Jevoncia,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Matanya berbinar, membuat saya cepat merasa akrab. Tangan mungilnya menggenggam tangan saya erat-erat. Setelah minta izin pada guru kelas saya memotret Bryan dan teman-temannya.
Meski baru 7 tahun, Bryan sudah tutut mengharumkan nama negara ini ke tingkat Internasional. Kalbar tentu saja kecipratan ngetop. Dia berjaya menyisihkan ribuan peserta di tingkat "International Children Art Competition" usia 6-15 tahun dari seluruh dunia itu. Berkat karyanya, PBB mengundangnya ke Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat saat peringatan hari internasional "Education for Poverty" 17 Oktober nanti. Perangko karya Bryan akan dicetak menjadi Perangko PBB.
Sampai di depan toko ia melompat dari becak, pakaian Pramuka yang dikenakannya tampak melorot. Bryan menanti saya di mulut pintu.
Sambil menanti Ny Rosiana, mama Bryan sibuk melayani pembeli, saya mempersiapkan buku. Saya berusaha mengingat-ingat tulisan Susan Orlean, “The American Man At Age Ten” yang menceritakan bocah 10 tahun bernama Colin Duffy dari Glen Ridge, New Jersey yang dimintanya menilai dunia.
Saya pun langsung mengajak Bryan main tebak-tebakan, meniru Susan dan Colin.
“Hewan apa yang paling lucu?”
“Tikus, eh Kecoak. Tikus juga hewan kan Ma?”
Ia menoleh ke arah Rosiana yang masih sibuk melayanitamu. Tapi wanita itu tak mendengar. Saya geli melihat tingkahnya.
“Wah tikus sih bukan lucu, tapi jorok.”
“Tapi aku suka tikus. Film kartun Tomy and Jerry itu lucu.”
“Acara apa di televisi yang paling keren?”
“Apa? Hmmm....spongebob.”
“Minuman yang paling sedap?”
“Sirup ABC.”
“Makanan apa yang paling enak?”
Ia tak menjawab. Bola matanya yang bening bermain-main seakan-akan mencari sesuatu. Aduh, ternyata rencanaku main tebak-tebakan tak semulus Orlean dan Colin. Akhirnya aku menawarkan jawaban.
“Coklat?”
“Hmm...?”
“Bryan tak suka coklat?”
“Kata mama coklat bisa bikin sakin gigi.”
Aku tersenyum. Seorang wanita berusia sekitar 65 tahun menuruni tangga yang terdapat di ujung ruangan dalam. Saya menyalaminya dan memperkenalkan diri. Wanita itu adalah Hartini, nenek Bryan. Saya bercakap-cakap sebentarnya.
“Tapi maaf, bahasa Indonesia saya kurang baik,” katanya ramah.
Bryan melepas sepatunya. Saya melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Penuh tirai dengan warna dan design yang menarik. Setiap dinding dicat dan diberi dekorasi motif yang disesuaikan dengan gorden yang di pasang di sana. Bahan sofa tempat kami bercakap-cakap pun disesuaikan dengan warna karpet.
Saya meneguk air mineral yang disajikan nenek Bryan. Sejuk merembes di tenggorokan. Briyan masih di kursi. Tubuhnya kecilnya hampir terbenam seluruhnya di sofa. Ia tampak sangat lucu dan saya ingin tahu pandangannya tentang dunia. Dunia kanak-kanak dan lingkungan sekitarnya.
“Bryan suka makan sayur-sayuran?”
“Suka, terutama ikan, lauk-pauk dan telur.”
“Wah, pantas pintar, suka makan ikan.”
Dia senang. Refleks tangan saya mengucek-ucek rambutnya. Senang sekali rasanya bisa seakrab ini dengannya, seolah-olah sedang bercanda dengan anak sendiri.
Rosiana bergabung dengan kami, Bryan beralih ke pangkuannya. Wanita berambut pendek tersebut langsung nimbrung. Suaminya, tidak tampak. Papa Bryan seorang wirausaha. Saya tak sempat berjumpa ayah yang beruntung tersebut. Tapi Bryan sempat menulis sebuah nama Tionghua di buku catatan saya, nama papanya.
Bakat Bryan mengalir dari darah Rosiana. Dia adalah jebolan D3 jurusan design di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Rosiana terlatih menggambar pola-pola. Di tengah krisis yang menerpa republik ini, Rosiana tetap bekerja keras membantu suami untuk menghidupi ke empat anaknya. Ramond Renaldo anak sulungnya sekarang di Universitas Kedokteran Untar, Vita Velisa di Universitas Sanata Dharma, Elen Clarista SMP Santo Petrus. Bryan anak bungsu. Rosiana merintis usahanya dari menerima jahitan di rumah dan men-design pakaian pesta. Galeri sekaligus toko ini juga hasil kerja kerasnya.
Tak seperti Bryan, Rosiana fasih sekali berbahasa Tionghoa. Bryan pula sering protes ketika diajari bahasa itu. Akibatnya hingga sekarang dia tidak lancar berbahasa ibu.
“Kalau soal makan, Bryan agak sulit, setelah dibujuk dan bilang kalau ikan membuat orang Jepang pintar-pintar, barulah dia mau makan,” celetuk Rosiana memecah suasana.
“Ah, mama....” Bryan tampak malu.
***
Suatu pagi telepon Rosiana berdering. Ia kaget ditelepon sepagi ini. Jam di dinding saja baru menunjukkan pukul 04.00. Rupanya dari Kedutan Besar RI di New York. Di sana masih sore, karena perbedaan waktu antara Amerika dan Indonesia 12 jam.
“Mereka bilang, mungkin Bryan menang.”
Orang di telepon mengatakan untuk kepastian, Departemen Luar Negeri Indonesia di Jakarta akan menghubunginya kemudian. Pukul 05.30, Rosiana memberi tahu Bryan yang baru saja bangun. Bukan main girangnya anak itu.
“Saya langsung loncat-loncat di tempat tidur,” kata Bryan mengingat-ingat hari itu. Tapi sayang kata Rosiana, hingga hari ini belum ada kepastian dari pihak Deplu tentang keberangkatan Bryan ke negeri Paman Sam.
“Pihak Deplu bilang belum ada dana.”
Usai menelepon photographer kami, Lukas B Wijanarko, saya melanjutkan wawancara. Kebetulan toko agak sepi. Rosiana bilang, sejak usia dua tahun Bryan sudah hobi corat-coret. Dinding rumah mereka di Jalan Surya sasaran utama Bryan. Tapi rumah tersebut sudah dijual. Dinding toko pun masih ada bekas coretan Bryan. Sang ayah cuma sempat mendokumentasikan graffiti pertama Bryan di dinding rumah mereka dengan kamera hand phone-nya. Dalam hati saya berharap karya Bryan tersebut belum di hapus oleh penghuni baru dengan cat.
“Bryan ketika itu menggambar saya sedang memasak,” kata Rosiana. Ia menyadari anak bungsunya itu sungguh-sungguh berbakat. Selain belajar di sekolah, Rosiana juga membawa Bryan bergabung ke Khatulistiwa Children Fun Art (KHACHIFA). Buahnya, beberapa kali Bryan menjadi juara di Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tingkat kota maupun Provinsi. Bryan juga pernah mengirim karyanya ke Jepang, Thailand dan India.
Saat kami bicara, Bryan bolak-balik ke pangkuan ibunya. Dia sangat aktif. Tapi juga bisa senyap seharian. Di rumah dia tak punya mainan robot-robot atau pistol plastik layaknya anak seusianya. Mainannya game di komputer atau di HP sang ayah. Boneka badak, gajah, kucing dan burung yang diperolehnya pun cuma jadi penghias lemari. Selebihnya les dan sekolah. Selain film kartun Spongebob dan Dora, program tv yang paling dinanti-nantinya adalah acara deal or no deal. Semalam, sebelum tulisan ini terbit, ibunya mengirim SMS. “Bryan sudah tidur. Tadi sebelum tidur dia pesan papanya jam 10 dibangunkan untuk nonton deal or no deal.”
Saat Lukas datang, Bryan sedang asik memanjat ke atas meja. Lukas membidikkan kameranya.
“Flash…flash…flash…!”
Lukas beraksi seperti cowboy dengan kameranya.
Bryan menempel lagi pada ibunya. Ia memang sangat dekat pada sang ibu. Pantas saja tema-tema karyanya tak jauh dari aktivitas Rosiana. Contohnya gambar yang menang di tingkat Internasional itu, berkisah tentang bocah-bocah yang mengukur kain, mengguntingnya dan menjahit menjadi pakaian. Menurut Rosiana, Bryan perlu waktu seminggu merampungkan gambar krayon tersebut. Karyanya Bryan selalu didominasi warna hijau. Juga di gambar bocah-bocah penjahit itu. Rambut tokohnya diberi sapuan warna hijau. Bryan sangat fanatik soal warna itu.
“Hijau paling bagus, cerah,” celotehnya.
Jika karyanya dikomentari, dia punya argumen yang panjang. Bryan memang bocah fenomenal, tak sekadar jago menggambar, di sekolah dia ranking 9. Satu hal yang paling dibencinya, jika ada yang mengatakannya bodoh. Karena itu ia kerap ribut dengan ce-ce-nya. Nah, ketika ditanya apa cita-citanya, Bryan bilang mau jadi dokter.
“Sekolah untuk jadi dokter, melukis hobi saja.”




Next Post Previous Post
1 Comments
  • Anonymous
    Anonymous October 31, 2007 at 4:44 PM

    saya ingin bertemu dengan Bryan Jevoncia, dimanakah alamat rumahnya ..?

Add Comment
comment url