by Wisnu Pamungkas
Mengapa kampung kami kini durhaka, melahirkan terlalu banyak
anak yang tak pernah lagi dikenalnya, melahirkan terlalu banyak
kemungkinan yang menyakitkan. Dan kampung kami telah menjadi
germo untuk memperkaya dirinya sendiri. Setiap malam ia bersolek,
mempertontonkan buah dadanya, menjerat kesempatan demi
kesempatan sehingga kami sebagai warganya menjadi muak
ke kota, tetapi anak buah kampung kami itu juga ternyata
sudah tersebar di mana-mana, di dalam super market, di telepon, di jalur-jalur internet, rata-rata mereka
memang ramah, bersikap bersahabat, gadis-gadisnya juga
cantik-cantik, tapi sopan, tapi itulah, itulah persoalannya,
kampung kami terlanjur durhaka, ia menggunakan itu sebagai
perangkap, apa boleh buat kalau akhirnya aku pun sudah dipermaknya
(karena tak ada lagi tempat lari) menjadi lonte di kampungku sendiri,
di tanah tumpah darahku sendiri, di kampungku yang terhormat ini
Putussibau, 24 Oktober 1997
Mengapa kampung kami kini durhaka, melahirkan terlalu banyak
anak yang tak pernah lagi dikenalnya, melahirkan terlalu banyak
kemungkinan yang menyakitkan. Dan kampung kami telah menjadi
germo untuk memperkaya dirinya sendiri. Setiap malam ia bersolek,
mempertontonkan buah dadanya, menjerat kesempatan demi
kesempatan sehingga kami sebagai warganya menjadi muak
ke kota, tetapi anak buah kampung kami itu juga ternyata
sudah tersebar di mana-mana, di dalam super market, di telepon, di jalur-jalur internet, rata-rata mereka
memang ramah, bersikap bersahabat, gadis-gadisnya juga
cantik-cantik, tapi sopan, tapi itulah, itulah persoalannya,
kampung kami terlanjur durhaka, ia menggunakan itu sebagai
perangkap, apa boleh buat kalau akhirnya aku pun sudah dipermaknya
(karena tak ada lagi tempat lari) menjadi lonte di kampungku sendiri,
di tanah tumpah darahku sendiri, di kampungku yang terhormat ini
Putussibau, 24 Oktober 1997