by Wisnu Pamungkas
Dada berlari di situ, memejamkan mata,
Berharap kabut mengental menjadi semacam hidangan
Di atas meja, saat ia masih kanak-kanak, masih sering bertengkar
Mengejar layangan putus ke surga,_kini hari-hari terasa sepi,
Kekasih dan hadirkan pengalaman yang tidak henti-hentinya
Memaksa ia menyesal menjadi seseorang. Dada cuma ternganga
Ketika aku mengetuk-ngetuk dinding setebal 53 inchi itu,
Tembok ¼ abad itu dari sebelah luar, dari pojok hati nurani
Yang paling bersih dan dari dlam kaleng cat yang beraneka
Warna; Indonesia dada, Indonesia yang tak putus-putusnya
Menunggang kalimantan kepedalaman Jakarta
Baning, 20 Maret 1997
Dada berlari di situ, memejamkan mata,
Berharap kabut mengental menjadi semacam hidangan
Di atas meja, saat ia masih kanak-kanak, masih sering bertengkar
Mengejar layangan putus ke surga,_kini hari-hari terasa sepi,
Kekasih dan hadirkan pengalaman yang tidak henti-hentinya
Memaksa ia menyesal menjadi seseorang. Dada cuma ternganga
Ketika aku mengetuk-ngetuk dinding setebal 53 inchi itu,
Tembok ¼ abad itu dari sebelah luar, dari pojok hati nurani
Yang paling bersih dan dari dlam kaleng cat yang beraneka
Warna; Indonesia dada, Indonesia yang tak putus-putusnya
Menunggang kalimantan kepedalaman Jakarta
Baning, 20 Maret 1997