Harian Equator: Perahu Retak, Awak Dibuang!

Photo by Andreas Harsono

By Alexander Mering

Harian Equator bak sebuah perahu besar yang sedang oleng di landa gelombang. Kebocoran dimana-mana, sementara lampu padam, banyak hantu pula di geladak. Kami berlima berteriak agak keras Kepada Djunaini KS selaku Nahkoda, mengingatkan dia kalau perahu akan karam. Tapi kami justru dianggap lancang dan dilempar ke laut. Walau gelagapan, kami akhirnya berhasil berpegangan pada sepotong kayu penyelamat saat hanyut.

Cuaca malam 28 Oktober itu agak panas. Padahal gerimis sempat turun sekejab, memerciki Kota Pontianak yang masih dalam suasana lebaran.

Telepon seorang rekan wartawan dari Sarawak membuat Saya menghentikan kerja sejenak. Menghindari kebisingan, Saya lantas menyelinap ke balkon lantai tiga. Jaraknya cuma selangkah dari tempat Saya duduk. Meja komputer Saya memang terjepit antara mesin printing, meja Ukan alias Bang Fakun, Kabag Pracetak dan pintu balkon, tempat kami berangin-angin bila sedang gerah di dalam. Saya tak sempat melihat jam, sebab jam dinding butut satu-satunya di ruang redaksi sudah lama tak berfungsi.

Rekan itu menanyakan kelanjutan rencana menulis sejarah Koran Sarawak Tribune pasca pembredelan. Koran berbahasa Inggris tertua dan terbesar oplahnya di Sarawak itu dicabut izinnya oleh kerajaan M’ Sia karena menerbitkan kartun Nabi Muhamad. Saya menyarankan agar Dia mulai mencicil data. Cukup lama kami berbicara, bahkan Saya sempat melirik Nur Iskandar, Redaktur Pelaksana Harian Equator menyatroni Indra Nova (Kepala Biro Melawi) dan Yuni Kurnianto (Kepala Biro Sambas) yang sedang kongko-kongko di balkon sebelah, dekat ruang iklan. Jaraknya sekitar 5 meter saja dari tempat Saya menelpon.

Selang 30 menit Saya bercakap-cakap di telepon, tiba-tiba terdengar suara gaduh di ruang redaksi. Bisingnya merentas melalui celah ventilasi dan cukup mengganggu. Saya menyudahi pembicaraan di telepon sambil minta maaf dan buru-buru masuk. Tapi Saya belum ngeh apa yang sedang terjadi. Ramai sekali wartawan, tenaga iklan, pemasaran dan redaktur mengitari meja rapat.

“Wah, seperti mau kampanye saja,” pikir Saya. Aktor paling menonjol waktu itu, Ridho. Dia sedang berdebat sengit dengan desaigner iklan, Zul MS.

Lagi-lagi otak Saya belum connected. Apa pasal Ridho mendebat orang iklan? Apa hal iklan Pilkada ya? Saya pun langsung nimbrung. Supaya ketegangan cair, Saya coba mengambil alih perhatian mereka dengan melucu,” Bubar-bubar! Memangnya Kampanye? Tapi suara Saya tak digubris. Malah suara Ridho makin tinggi mendebat Zul dan Iwan (tenaga pracetak).

“Hidup Golkar….!” Teriak Saya berseloroh. Nah, Saya berhasil! Ridho menatap Saya dengan mata nyalang. Bah, marah benaran rupanya panglima keroak ini! Saat bergurau saya sering menggelarnya dengan nama itu, karena Ridho mamang jangkung seperti burung keroak (Ixobrychus sinensis). Ridho pula sering menggelari saya panglima manuk.

“Apa-apan ini, ini kantor bukan jalanan!” bentaknya sambil melengos. Tak henti-hentinya dia mengomel soal Saya berteriak tadi di depan ramai wartawan!

Saya agak tersinggung dan maju mendekati Ridho. Saya mau tanya, apa maksudnya marah-marah. Tapi Nur Iskandar tiba-tiba menghadang dan menarik Saya menjauh. Ia mengusap dada Saya sambil berseru,”bersih-bersih netral-netral.” Nur Iskandar yang akrab disapa Nur Is, menirukan teknik NAC System yang pernah sama-sama kami pelajari beberapa waktu lalu. Bahkan Saya juga dulu yang memprovokasi Dia untuk turut mempelajari teknik Psikologi yang dikembangkan oleh motivator kelas dunia, Anthony Robin itu.

Ridho melupakan saya, kini dia sibuk berdebat dengan Iwan karena Iwan bertanya mengapa Ridho tak transparan terkait aksi kelompoknya. Ya ampun, barulah Saya sadar kalau kerisuhan itu karena Ridho dan teman-temannya menolak Mosi Tak Percaya kepada Djunaini yang kami buat dan dia menggalang tanda tangan baru untuk mendukung kepemimpinan Djunaini walau labelnya sama: perubahan management!

Iwan tak mau kalah. Ridho marah sekali. Ia mendekati Iwan, berdiri dengan sikap angkuh dan menantang. Sementara Iwan terusudut di kursinya dengan wajah tegang.

Darah Saya tercekat. Ridho tampaknya akan berbuat sesuatu yang buruk pada Iwan. Jika Ridho sampai menjatuhkan tangan, Iwan bukanlah lawan yang seimbang. Ridho bertubuh jangkung dan pasti agak gesit, sedangkan Iwan kakinya (maaf) cacat. Naluri ku menuntut untuk berpihak. Mengetahui Ridho berkhianat, tensi darah Saya naik ke ubun-ubun!

Saya tak menyimak lagi kata-kata keduanya, bejana kesadaran Saya yang belum kosong sepenuhnya sudah terisi lagi Emosi.

“Kita dipecah belah, sadarkah!” Gigi Saya gemeletuk menahan marah.
“Siapa yang memecah belah siapa,” timpal seseorang.
Kendali emosi Saya patah sudah. Saya berteriak: Hidup pecah-belah!”
Tangan Saya meraih gelas berisi Millo di meja komputer Yusriadi—tak jauh dari tempat Saya berdiri—lalu Saya ayunkan ke tengkuk Ridho. Untung bongkahan beling itu tak sempat melepas. Lagi-lagi Nur Is dengan sigap menangkap tangan Saya dan menyeret Saya ke tempat semula.

“Lex, Sabarlah, Lex, sabar….ingat, bersih-bersih netral-netral,” pujuknya untuk kedua kali.

Yusriadi turut memegang ujung pakaian Saya dan meminta tenang.

Pada kedua rekan ini, Saya tak dapat membantah. Saya sangat menghormati keduanya sebagai pemimpin dan orang berilmu. Nur Is adalah Redaktur Pelaksana dan seorang sahabat. Yusriadi, Doktor Linguistik jebolan UKM Malaysia yang sudah lama bekerja menjadi redaktur di Harian Equator. Di UKM dia lulus dengan predikat cemerlang, kepadanyalah kami selalu bertanya.

Saya menarik nafas panjang untuk memusatkan pikiran. Semua kiat NAC System yang saya ingat, saya praktikkan. Karena NAC telah banyak membantu memanage emosi Saya selama ini. Mata Saya pejamkan beberapa detik. Suara berisik dalam ruangan itu terdengar mirif dengungan ribuan tawon yang datang melabrak. Tangan Saya mencengkram kedua sisi kursi erat-erat. Saya sadar, Emosi adalah masalah Saya yang paling buruk selama ini. Kelas V SD saja, Saya pernah menghajar teman sekelas hingga babak belur. Saya pernah mengamuk di acara Wisuda tunangan Saya. 

Tahun-tahun awal karier di Harian Equator Saya pernah pernah melempar Redaktur dengan telepon kantor. Iskandar, mantan supir yang menjadi tenaga pengembangan pasar di Biro Sanggau pernah Saya tantang duel dengan senjata tajam hanya gara-gara melempar koran di hadapan tamu sambil marah-marah.

Malam itu Saya berjaya pulih! Tetapi ibarat seorang pemotong kayu yang dicegah, saat kampak persis sedang diayunkan, Saya merasa sangat lelah. Saya duduk di kursi dan mengatur nafas. Sementara perdebatan masih terus berlanjut. Tanto Yakobus pun Saya dengar bersuara. Ia mencela sikap Ridho yang justru bakal membuat Equator karam. Ridho yang memang temperamental berang semula.
“Tanto, cabut kata-kata kamu itu!” Bentak Ridho. 

Cek-cok mulut pun kembali seru. Entah karena takut atau tak ingin suasana tambah keruh, Tanto mengalah. Ia minta maaf, tapi sijangkung itu menampik. Ridho bertindak seakan menjadi hulu-balang malam itu. Tanto yang sudah dingin jadi panas kembali.
“Kau jangan macam-macam Dho (Ridho), Kau cari makan di tanah kami!”

Beberapa redaktur turun tangan menyabarkan, sementara Ridho diminta Nur Is menyingkir. Nur Is kuatir terjadi konflik yang lebih besar, bahkan bisa parah seperti di Ambon. 

Menurut Tanto, setelah itu Ridho sempat datang dan minta maaf. Tapi dasar Ridho, dia nogol lagi ke ruang rapat, berkoar-koar.

Sam Abubakar (tenaga layout) menegurnya dengan dialek khas Pontianak. “Kau ngape (mengapa) Dho! ngacau (mengganggu) orang kerja jak (saja)!” Entah apa jawaban Ridho saat itu hingga membuat Sam yang tadinya tenang malah naik pitam. Tangannya menggapai-gapai sesuatu ke dalam laci meja kerja. Tapi Sam berkeberatan saya menuliskan apa yang ia cari malam itu untuk menghentikan mulut Ridho yang sesumbar. Mutadi dan teman-teman yang lain pun melerai.

Nur Is mengambil alih keadaan dan membuat pengumuman. “Rapat di lanjutkan setelah kerja redaksi selesai,” katanya.

Kesempatan itu Saya gunakan menemui Ridho di ruang pemasaran. Ia memang kerab bekerja di situ karena belum memiliki komputer sendiri di kantor setelah dimutasikan dari Biro Sambas ke Kantor pusat di Pontianak. Selain Ridho, redaktur baru yang belum mempunyai komputer adalah Rosadi, mantan kepala biro Landak.

Saya minta maaf pada Ridho karena mulut celupar dan terbawa Emosi. Dia menerima Saya dengan baik (Saya tahu dia pura-pura saja). Selain menjabat tangannya Saya bahkan memeluknya untuk meyakinkan bahwa Saya tulus.

Selepas itu Saya melanjutkan kerja. Tapi rupanya ada satu berita wartawan yang belum selesai diketik. Saya mencari Aulia, wartawan baru yang sedianya membuat tulisan itu. Ketika berdiri di pintu, antara ruang rapat dan ruang wartawan, Djunaini tiba-tiba nongol dari mulut tangga dengan nafas tersengal-sengal. Tangan kanannya menjinjing tas hitam, tergopoh-gopoh ke ruang Rapat.

“Alex! Yusriadi, Dek! Berdiri!” Bentaknya.
Karena sedang berdiri, Saya diam saja sambil memandang Djunaini yang masuk beserta 2 orang yang tak Saya kenal. Mukanya keras, tapi ekor matanya sempat melirik SayaH.

“Alex, Yusriadi, Dek, Tanto, berdiri! Kantor Saya ambil Alih!” Kemaskan barang kalian, keluar! Keluar!”

Suara Djunaini menggelegar, menyita perhatian seluruh isi ruangan. Senyap seketika. Tak seorang pun berani bicara. Rasanya cicak pun tak berani bergerak saat itu.

Saya sempat tegamam sejenak. Tapi akhirnya Saya mahfum. Keadaan seperti ini sudah kami diprediksi, menyusul mosi tak percaya kepada Djunaini dikirimkan ke Jawa Pos 5 Oktober lalu.
“Tanggalkan atribut kalian, mulai malam ini Saudara Saya nonaktifkan sampai batas waktu yang tak ditentukan!”
Pukemae’. Pikirnya ini kudeta, apa? Enak saja main pecat! Sebelum mosi, dia memang Bos Saya, bahkan tiga malam sebelumnya Saya masih memboncengnya ke jalan Gajah Mada dengan sepeda motor, melihat pencuri yang ditembak polisi. Waktu itu Dia belum tahu gerakan kami. Seperti kebiasaannya, malam-malam ‘kemesraan’ terakhir, Djunaini masih sempat mentraktir kami makan nasi bungkus Melda kegemarannya.

Nah malam itu, setelah 4 kali berteriak mengusir kami, Saya mulai tak tahan. Harga diri Saya menolak dipecundangi. Saya melangkah menghampiri Djunaini sambil terus menyabarkan diri. Karena emosi yang tadi saja baru jinak.

Jarak kami hanya selangkah. Saya sudah membuat perhitungan, jika dia tiba-tiba Dia menampar Saya, maka dengan mudah dapat mengelak. Apalagi Djunaini malam itu rasanya lebih pendek dari Saya.

“Apa alasan Anda memecat Saya?!”
“Surat yang Saudara kirim ke Jawa Pos!”
“Lalu apa hak Anda memecat Saya?!” Telunjuk kanan Saya persis menunding hidungnya. Jaraknya mungkin hanya beberapa jari saja. Mata Saya, Saya pasang besar-besar.
“Saya owner, Saya pemilik saham dan kuasa Jawa Pos disini, Saya berhak memecat Saudara! Keluar! Mahdi (Satpam)…jaga di tangga….”
“Saya tak akan bergeming dari tempat ini, sebelum ada surat PHK dari Dahlan Iskan dan Jawa Pos! Anda Status Quo di sini dan Perintah Anda tidak berlaku!

Djunaini pucat. Menurut beberapa saksi Dia lupa memasang gigi palsunya. Saya tak sempat mengamati, karena sibuk menatap matanya lekat-lekat. Ia gelagapan Saya gap (lawan). Mungkin tak mengira Saya akan melawan. Suaranya tergagap-gagap menjawab.

“Saya Owner, Saya berhak, Sa…ya Owner…”
“Baik, Saya akan ingat kata-kata Anda itu!” Kata Saya dengan nada ancaman.

Selaput tipis pembungkus emsoi Saya telah hampir jebol. Saya ngeri energy emosi itu bergerak sendiri dan tangan tak mau lagi mengikuti perintah. Pikiran liar dari sisi gelap emosi Saya membayangkan tangan Saya menonjok mulutnya yang penuh adu domba dan juga fitnah. Darah muda Saya mulai tergoda: Satu hook saja cukup membuat Dia berhenti sesumbar! Terlebih bila ingat hanya kami berempat yang diusir, padahal lebih dari 32 karyawan membubuhkan tanda tangan di lembar Mosi.
Menghindari kekerasan, Saya buru-buru ke kursi, duduk sambil mengatur nafas. Sementara Djunaini berdiri dekat whiteboard menghadap meja rapat memberikan instruksi. “Ridho, Anton, Ova, ambil alih pekerjaan, seperti yang sudah kita rencanakan! Ridho Tangai halaman satu, yang lain bekerja seperti biasa!” perintahnya.

“Siap Bos!” kata Ridho yang buru-buru ke ruang Redaksi yang berjarak hanya beberapa langkah dari Ruang Pemasaran.
“Anton, Anton mana?” Duduki komputer-komputer mereka,” kata Djunaini lagi bak panglima. Tapi entah dimana Anton saat itu. Saya tak menghiraukan peristiwa yang terjadi kemudian di belakang. 

Otak Saya mencari-cari tiga orang yang Saya anggap penting dalam hidup Saya saat ini. Saya mengirim short massage service (SMS) kepada W Suwito SH, MH (Penasihat Hukum Harian Equator) yang sedang berada di Kamboja, pak Elias Tana Moning dan Andreas Harsono. 

Keduanya adalah guru Saya. Andreas kebetulan sedang berada di Pontianak untuk mengurus rencana perkawinannya dengan Safariah, salah seorang mantan Redaktur Equator. Andreas adalah Ketua Pantau Jakarta dan wartawan progressive yang mengembangkan faham Jurnalisme Sastrawi di Indonesia bersama Prof. Janet Steele.

Saya merampungkan editing. Saya sempat mendengar Djunaini berusa menelpon Djainal Muthakin, CO Jawa Pos. Tapi hanya terdengar suara,”halo…halo,” dan Djunaini menjawab,” Halo, pak Jainal,…,” setelah itu terputus. Djunaini kemudian menyampaikan beberapa hujahnya kepada para wartawan. Tapi Saya tak menyimaknya lagi dengan jelas. Yang sempat Saya dengar Dia meminta seseorang menghadang wartawan luar agar tidak masuk ke kantor Equator. Ia memberi instruksi itu lewat telepon. Belakangan Saya tahu yang diteleponnya itu adalah Is, supir yang dimutasikan ke bagian pengembangan dan ditempatkan di Biro Sanggau bersama Anton.

Usai kerja Saya mengemaskan file pribadi yang tersimpan di komputer. Kuatir kalau-kalau komputer itu benar-benar diambil alih para Kepala Biro yang ditunjuk Djunaini menggantikan kami.
Saya tahu, Nur Is juga kembali ke tempat duduknya dan terus bekerja. Walau namanya tak disebutkan malam itu, tapi dengan diperintahkannya Ridho menangani halaman satu, sama saja mengusir Repel.
Beberapa saat suasana kantor jadi lengang. Djunaini entah kemana. 

Saya tak menoleh lagi ke belakang, karena sibuk menghimpun semua file. Celakanya malam itu Saya lupa membawa flashdrive untuk memindahkan data. Setelah rampung Saya baru menoleh, ruangan rapat sudah kosong. Nur Is juga tak kelihatan batang hidurngnya, kecuali tenaga pracetak yang merampungkan kerja.

Saya gelisah, lalu menelpon Nur Is. Ternyata ia masih di mejanya. Ruangan kami terpisah, karena itu Saya tak bisa melihat langsung dari tempat duduk. Meja Nur Is di ruang wartawan, dekat tangga naik dan hanya berbatas dinding dengan Ruangan Djunaini.

Alhasil Saya bilang padanya, Saya akan turun ke halaman, karena perkerjaan telah selesai. Saya ingin mencari 3 rekan yang sudah mabur duluan dari Kantor sejak tadi. Di kiri halaman parkir terlihat 10 lelaki sedang bercakap-cakap. Mereka adalah orang-orang keamanan yang dibawa serta Djunaini ke kantor malam itu.

Meski sedih, tapi fikiran Saya sempat ngebanyol: Menepuk 4 lalat saja, Djunaini di kawal 10 bodyguard, he…he..he..?”

Andreas dan Sapariah rupanya di sudut lain. Mereka duduk di kursi panjang, depan kantor Duta Rendra Mulia (PT DRM). Yusriadi dan Tanto Yakobus bersama mereka dan Andreas sedang wawancara.
Is duduk di sepeda motor menghadap ke kursi itu, sambil menelepon. Iqbal (putra sulung Djunaini) juga disana. Saya sempat melihatnya berbicara dengan orang-orang keamanan.

Saya bergabung dengan Andreas dan kedua rekan sepenanggungan, sementara Dek alias Harul Mikrad entah dimana rimbanya saat itu. Belakangan Saya tahu Dia langsung pergi setelah diusir Djunaini.

Kepada Saya Andreas mengatakan telah menghubungi semua wartawan yang ia kenal di Pontianak. Misalnya wartawan Antara, Gatra dan Kompas. Dia berkeyakinan Media harus berani meliput Media. Tak lama berselang, nama-nama yang disebutkannya datang satu persatu. Bahkan Aris, wartawan radio Folare dan beberapa wartawan lainnya juga turut hadir. Tapi tak seorang pun diperkenankan Is naik ke Kantor Equator. Bak Herder penjaga pintu, ia siap menyalak jika ada yang bertindak.

Andreas lantas mengirim SMS ke Djunaini untuk konfirmasi, Djunaini membalasnya singkat,”maaf internal.” Pengampu Saya di Pantau itu menunjukan SMS Djunaini. Padahal dua hari sebelum kejadian Andreas sempat bertamu ke Rumah Djunaini. Safariah tunangannya mengajak Andreas berlebaran ke rumah sang mantan Bosnya itu. Kepada Andreas Djunaini berkata dirinya adalah Owener dan wakil Jawa Pos. Tak Cuma itu Dia juga menegaskan kalau dirinya akan membuang orang-orang yang menentang kebijakannya.

Jadi sekenario ‘membuang kami ke laut’ memang sudah direncanakan. Sebagai Nahkoda, Djunaini mungkin mengira dirinya telah berjaya. Tapi semoga saja dia tetap ingat bahwa yang pembela dan menyelamatkan tampuk kekuasaannya kali ini adalah para Bajak laut.

Dengan berseloroh, Saya mengatakan kepada teman-teman bahwa kami bukan diusir, tetapi diwisuda. Karena Djunaini selalu berkata bahwa Equator adalah kampus jurnalistik terbaik di Kalbar. Bahkan saat berjumpa Dia 3 hari pasca pengusiran, Saya mengulangi kata-kata itu tanpa sungkan-sungkan di hadapannya. Tentu saja disertai ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.

***

Masyarakat jaman purba, membangun sebuah cerita seperti legenda untuk menjawab misteri yang terpecahkan. Dirut, Pemimpin Umum Perusahaan, sekaligus Pimpred Harian Equator Djunaini pula hanya perlu membangun prejudis untuk menjawab ketakutan-ketakutannya terhadap perubahan di Equator. Jika sekadar memecat 5 redaktur sekaligus, dia juga tak memerlukan alasan yang kokoh. Bahkan untuk membenci seseorang, seperti Saya dia tak butuh konsideran. Cukuplah sekadar berpantasi, menkonstruksi prasangka-prasangka di benaknya sendiri, sebelum malam itu menudingkan telunjuknya tinggi-tinggi saat mengusir kami.

Saya dianggapnya otak dan konseptor mosi oleh Djunaini. Saya juga dikatakan aktor intelektual dalam kasus tesebut. Di lain waktu dia menuduh Yusriadi sebagai dalang dan Hairul Mikrad sebagai menggalang massa. Komplitlah cerita karangan seperti yang Dia bayangkan.

Padahal Mosi tersebut dirumuskan ramai kepala, bahkan hampir semua redaktur, termasuk Redpel (Nur Iskandar), Kabag Pracetak (Ukan alias Fakun), Kabag Pemasaran (Indra Wahyudi) yang cemas pada nasib perusahaan. Semua menganalisa, Equator sedang oleng dan terancam ambruk oleh penanganan management yang buruk.

Bang Fakun misalnya, sempat dua hari tidak masuk kerja karena ingin memberi pelajaran pada Djunaini yang ogah membeli Genzet untuk mengantisipasi PLN Pontianak yang kerab byar-pet. Sementara wartawan dan redaktur dipaksa menepati deadline. Tak jarang Saya ditelepon Djunaini untuk menyalak PLN. Karena jika berkepanjangan, alamat koran telat terbit. Lucunya, Dia juga meminta Saya memarahi pimpinan PLN. Pimpinan Cabang PLN Pontianak, Ir Adang Sudrajat suatu hari pernah turun ke jalan pukul 02.00 dinihari, karena ditelepon Djunaini.

Nur Is juga sempat tak masuk kantor setelah Djunaini meradang, menyusul diloloskannya tulisan Yusriadi tentang Pilkada di Halaman Prootonomi. Djunaini marah karena berita itu memuat nama Akil Mochtar sebagai salah seorang kandidat Gubernur Kalbar.

Djunaini menelpon Nur Is, mengingatkan kalau berita Akil Muchtar mutlak tidak boleh terbit di Equator. Ia mewariskan permusuhannya dengan Akil sejak lama, tapi kami di redaksi tak menuruti perintahnya karena tidak sesuai dengan idealisme pers. Akibatnya Nur Is pun kena lanyak (marah).
Malamnya Nuris menelpon Saya. “Lex, Saya tidak masuk kantor malam ini, Saya sudah SMS ke Bos. Kepala Saya pusing memikirkan kata-kata Bang Jun. Klik! Telepon langsung ditutup. Padahal mulut saya sudah terbuka hendak bertanya. Berkali-kali Saya hubungi Nur Is di HP-nya, tetapi yang terdengar cuma pesan Veronika. Kepala Saya mulai berdenyut.

Saya sudah guncang oleh peristiwa sebelumnya. Kabag Pracetak mogok kerja 2 hari, kini Redpel pula menyusul. Yusriadi bahkan sudah minta izin sejak siang. Dengan gamang, saya coba duduk di kursi. Perasaa saya benar-benar kacau!

Kepada Tanto Yakobus dan Mutadi, Saya katakana akan pulang saja dan turut mogok malam itu. Tetapi mereka menahan. Dengan berat hati, Saya selesaikan juga pekerjaan pada pukul 00.11.

Tiba di rumah, Saya tak bisa tidur. Kepala rasa ditindih bongkahan gunung batu. Hati Saya menimbang ulang detil peristiwa, termasuk sikap teman-teman dan prilaku Djunaini sebagai ‘Bos’. Entah berapa ratus kali Saya membolak-balikan badan di tempat tidur sampai petugas ronda memukul tiang listrik 5 kali. Beberapa menit kemudian kesadaran Saya menghilang. Rupanya terlelap. Tapi begitu terjaga otak langsung tuning, menyatukan kelebatan pikiran yang belum tuntas disatukan semalam.

Pagi-pagi sekali—sebelum sempat gosok gigi—Saya menelepon Nur Is lagi. Tetapi HP-nya masih tak aktif. Hati Saya kian kelam. Dengan kepala masih berdenyut-denyut, Saya menstater sepeda motor dan memacunya ke Kantor. Saya ingin bicara dengan teman-teman, tetapi hati cemas karena tak pasti siapa yang dapat dipercaya saat segenting ini.

Di Equator selain Nur Is, Bang Fakun dan Yusriadi, tak ada yang dapat saya percaya seratus persen. Saya juga coba menimbang perasaan para karyawan terhadap begitu banyak persoalan Kantor yang seolah-olah tak dihiraukan Djunaini.

Saya ke lantai dua setengah berlari. Yang tampak hanya wajah Mutadi sedang ngobrol dengan Lina, sekretaris redaksi. Air mukanya diselimuti tanda tanya. Karena di desak bercerita, dengan perasaan agak ragu Saya mengajak Dia naik ke lantai III dan bicara singkat mengapa Nur Is tak masuk kantor.
Saya memencet HP, menghubungi Nur Is lagi, masih tak aktif! Saya sudah berniat ke rumahnya dan menyambar jaket. Tapi tiba-tiba ingatan pada Bang Fakun menyelinap ke benak Saya. Saya raih HP dan meneleponnya! Belum sepat Saya bertanya Bang Fakun sudah ngoceh duluan.

“Halo…sinek la, Pak Muda (maksudnya Nur Is) ade di rumah Aku,” ujarnya.

Saya berlari menuruni tangga—menyambar sepeda motor—langsung tancap gas ke rumah Fakun di Jalan Tabrani Ahmad, Gang Takwa II. Benar, Nur Is dengan senyum agak pucat karena kurang tidur dan puasa. Tubuhnya masih dibalut jaket kulit hitam. duduk ngobrol berdua dengan Bang Fakun.
Rupanya Dia baru saja dari rumah Yusriadi. Mereka usai berkongsi keluh kesah. “Jika Fakun dan Yusriadi berhenti, apa yang nak Saya cari di Equator lagi? Yang S3 (maksudnya Yusriadi) saja dengan gampang nak ‘ditendang’ Bang Jun (Djunaini), apatah lagi kita? Tak ada lagi rasa aman dan ketenangan berkeja dengan pemimpin seperti itu?” hujahnya. Saya terpesona. Banyak sekali rahasia yang tidak Saya tahu selama ini rupanya.

Sikap Djunaini yang hendak mendepak Fakun dan Yusriadi melukai hati Nur Is. Fakun direkomendasikan dipecat karena mogok kerja 2 hari sedangkan Yusriadi karena tak mengindahkan perintah Djunaini yang mengharamkan berita Akil Mochtar terbit di Equator.

Pada kesempatan yang lain kata Nur Is, Djunaini juga mengatakan kalau Julia Lorains (Kepala Bagian Keuangan) akan diganti. Djulian dianggap provokator setelah membeberkan keuangan perusahaan pada rapat Bisnis Equator beberapa hari sebelumnya.

Mendengar Fakun akan mundur, Yusriadi dan Nur Is berniat serupa, Saya pun menetapkan hati untuk berhenti juga. Bukan sekadar solidaritas atau ikut-ikutan, tetapi bila tiga orang yang menurut Saya merupakan kapten di sebuah perahu bernama Equator itu tak dianggap apa-apa lagi oleh Djunaini, apatah lagi Saya yang tak lebih dari sebuah sekerup. Kalau mereka bertiga memutuskan pergi (dari Equator), maka apa pula yang harus Saya nanti?

“Saya pun tak akan teragak-agak mengambil sikap serupa,” kata Saya pada keduanya pagi itu.
Kami melanjutkan diskusi. Merunut sejumlah fakta, termasuk upaya kami mengadakan rapat besar beberapa hari sebelumnya. Waktu itu dirumuskanlah 9 point penting dan sudah disampaikan ke Djunaini untuk perbaikan. Tapi Djunaini tak memberikan jawaban dan penyelesaian yang memuaskan. Meski sudah membeli genzet, tetapi untuk point inti permasalahan perusahaan—yaitu management—Djunaini hanya menjanjikan pertemuan susulan.

Genzet memang dibeli, tapi Djunaini makin berani menekan redaksi dengan melarang sejumlah tulisan diterbitkan. Top perboden adalah Akil Mochtar (kandidat Gubernur Kalbar), kedua Agus Salim (Bupati Pontianak), menyusul Walhi, Pancurkasih dan sejumlah lembaga yang menentang dengan agak keras ekspansi perusahaan sawit di Kalbar. 

Saya pernah diperintah Djunaini menggunting berita nasional yang memuat pernyataan Walhi tentang dugaan keterlibatan perusahaan sawit membakar lahan dan mengakibatkan asap di Indonesia. Tanto, redaktur yang bertanggung jawab untuk halaman Nasional sudah pulang, Djunaini marah-marah dan memerintahkan saya menggantinya dengan berita lain. Kian hari kian banyak daftar nama yang dicekal Djunaini. Padahal Equator menyandang moto: koran reformasi pertama di Kalbar itu. Ini koran apa lembaga sensor?

Selain faktor eksternal, menurunnya tiras, mandeknya perkembangan pasar berikut sejumlah perisitiwa ikutan lainnya disimpulkan dalam rapat bisnis terakhir menjelang mosi adalah akibat Djunaini tidak mengurus kantor dengan baik. Contoh kecil bidang administrasi kantor: bertahun-tahun Saya dan beberapa teman redaktur—termasuk Redpel—bekerja di Equator tak sepucuk Surat Keputusan (SK) pengangkatan pun dikantongi.

Saya tak dapat membayangkan, jika terjadi sesuatu yang berimplikasi hukum dalam tugas-tugas kami entah bagaimana mempertanggungjawabkannya nanti? Djunaini menugaskan kami hanya dengan SK di mulut.

Saya sekitar 6 tahun lebih bekerja di Equator, tetapi baru beberapa bulan lalu didaftarkan perusahaan menjadi anggota Jamsostek. Itu pun setelah dalam beberapa kali rapat, Saya mengingatkan kalau Pimpinan perusahaan bisa masuk penjara bila tak mematuhi UU Jamsostek. Padahal Equator adalah lembaga Pers yang berusaha secara idealis mengikthiarkan kebenaran pada setiap karya jurnalistiknya. Selain mengemban misi pendidikan juga tetap sebagai watch dog.

Ini belum menyangkut persoalan gaji yang cekak. Padahal setiap tahun perusahaan mengeruk keuntungan miliaran rupiah. Keringat dan otak siapa yang diperas?

Galau sekali kami ketika itu. Tapi kami sadar, tak boleh memanjakan perasaan. Sebagai wartawan kami terlatih untuk selalu membuat analisa, merumuskan masalah yang sebenarnya. Meski sudah dipikir bolak-balik, jika management tak segera diperperbaiki, maka ‘kapal’ bernama Equator cepat atau lambat pasti tenggelam! Tahu apa yang dibuat Djunaini sebagai nahkoda? 

Dengan cueknya ia bilang pada Bang Fakun yang bertugas menata wajah halaman satu dan halaman sembilan,” bantai-bantai jak!” Bahkan ia menambahkan, tak perlu wajah koran ditata bagus-bagus, terbitnya pun telat gak. Kebetulan malam itu listrik padam hingga tengah malam dan genzet yang konon di import dari Cina tak jelas kapan tibanya. Sebelas iklan dari Putussibau tak naik cetak untuk edisi hari itu.

Dengan geram Fakun menjawab perintah Djunaini,” katanya mau memasukan uang untuk perusahaan? Saluran duit masuk malah ditutup? cam mane ni?,”

Djunaini sudah berkali-kali diingatkan untuk segera membeli genzet. Sebab tak mungkin mengandalkan anem (listrik) dari PLN. Tapi dengan alasan efesiensi, Djunaini ogah membeli genzet local, padahal peforma kerja awak Equator kian hari semakin merosot. 

Tak jarang karyawan datang ke kantor hanya gobrol. Klien dan mitra iklan pun tak dapat menghubungi karena telepon kantor juga mati bila listrik padam. Sementara oplah koran terus melorot hingga angka 3.500 eksemplar.

***

Bulan seakan berlari di samping Kijang merah yang kami tumpangi. Dengan dada membusung, pukul 03.00 pagi Saya menenteng ransel berisi beberapa lembar pakaian menuju Kabupaten Sanggau. Equator baru memiliki sebuah Mobil jenis Kijang untuk mengantar koran tiap pagi ke kawasan pantai Timur Kalbar. Sementara untuk kawasan Pantai Utara koran didistribusikan lewat titipan bus. Equator baru-baru tumbuh dan punya uang. Saya bergabung ke Equator pada tahun 2000, sekitar setahun setelah Equator mengejewantah. Nah tahun 2001 saya dikirim ke Sanggau menjadi kepala Biro.

Sepanjang perjalanan Saya teringat pembicaraan terakhir dengan Djinaini KS sebelum berangkat. Inilah pertama kalinya Saya mendapat kepercayaan besar dari lelaki itu sejak bekerja di Equator.
“Kamu siap ditempatkan di mana pun?”
“Siap bos, ke bulan sekali pun siap, asal bukan ke Sintang,”
“Oh.., mengapa?”
Saya tak menjawab. Tapi dia juga tak mendesak Saya. Di kepala terbayang wajah Bupati Sintang ketika itu Drs Simon Jalil, MM. Ia adalah kerabat orang tua Saya. Sebagai wartawan muda yang belum berpengalam, terus terang Saya agak gamang jika harus berhadapan dengan keluarga sendiri. Apalagi ketika harus mengkritik bupati yang diduga korupsi, misalnya. Saya tak takut mengkritik siapa pun, tetapi bila kedua orang tua Saya dikucilkan keluarga besar kami, karena tulisan Saya? Untung Saya bukan tugaskan ke Sintang!

“Kamu Saya tugaskan sebagai kepala Biro Sanggau,” ujarnya. Lamunan Saya buyar seperti asap rokok yang tertiup angin. Djunaini terus memberi petuah agar Saya benar-benar bisa menjadi duta Equator di daerah yang berbatasan langsung dengan Sarawak, M’Sia itu.

Antara bangga dan cemas, Saya mengucapkan terima kasih karena diberi kepercayaan. Sebab Tanto Yakobus yang semula digadang-gadang untuk pergi, malah namanya tak diunggulkan.

Berkali-kali Saya bertanya pada diri sendiri, mengapa dipilih? Mengapa bukan Tanto atau yang lain? Bukannya tidak bangga, tapi Saya bimbang, pada cara-cara Djunaini menunjuk Saya entah dengan standar apa. Satu-satunya prestasi Saya yang agak menonjol adalah berhasil menyelesaikan penyamaran dalam investigasi terhadap kasus penipuan yang dilakukan warga Negara Nigeria, Mike Pire. Saya menyamar menjadi pengusaha M’Sia dan dibantu beberapa polisi yang berhasil menggagalkan dan membekuk Mike. Nama saya pun di puji-puji Djunaini dalam kontak Minggu.

Sepanjang perjalanan pikiran Saya masih asyik bolak-balik. Mengira-ngira alasan yang tak kunjung ditemukan. Akhirnya dengan agak sedikit narsis Saya katakan pada diri sendiri: Alex..., ini adalah latihan bagimu untuk menjadi pemimpin!

Beberapa tahun menjadi kepala biro, cukup berat bagi Saya meyakinkan masyarakat. Tapi Saya tak berkecil hati, walau Hermansyah—pegawai BKKBN—yang menjadi kontributor di sana waktu itu memperkenalkan Saya sebagai anak buahnya kepada sejumlah pengusaha lokal maupun tokoh masyarakat Sanggau. Saya hanya nyengir kuda bila saat liputan ada yang bilang,” oh ini anak buah Herman ya…?”

Tiga bulan pertama praktis Saya hanya menjadi ‘pencuci piring’ dan memperbaiki citra biro yang sebelumnya di tangani Hermansyah. Banyak kalangan yang hanya memandang sebelah mata pada Equator. Sulit sekali mendapatkan langganan atau yang sudi memasang iklan. Setahun pertama, dibantu seorang staf, Saya mampu meningkatkan oplah dan juga budget iklan walau tidaklah sangat sifnifikan. Kenaikan harga koran dari Rp 1800 menjadi Rp 2000 tak membuat Saya menyerah.

Belakangan yang mulai terasa mengganggu kerja-kerja Jurnalistik Saya justru telepon-telepon Djunaini yang minta Saya melobi sejumlah bupati di kawasan Pantai Timur Kalbar untuk kepentingan bisnis perkebunan sawitnya.

Tak cukup hanya itu, tahun 2004 ia mengirim putra sulungnya untuk meyakinkan lobi-lobi yang Saya lakukan. Dia minta Saya melobi Bupati Sintang yang ketika itu masih dijabat Simon Djalil dan bupati Sanggau Yansen Akun Effendi. Entah berapa banyak pulsa yang Saya habiskan untuk menelepon bupati dan para pejabat berkenaan. Tapi Saya tetap sabar meski sering ngedumel juga karena bokek. Istri Saya sering menghibur,“tunjukan loyalitasmu pada pimpinan!”

Lama-lama Saya merasa tak cuma sebagai kepala biro Equator di daerah, tetapi juga kaucung Djunaini yang ‘harus’ menjalankan misi pribadi. Ini adalah ‘tugas sampingan’ yang sering membuat Saya repot dan jengah di daerah.

Walau Saya laksanakan, tapi Saya ogah terjebak dalam permainan. Makanya usai mempertemukan Iqbal dan investor mitra Djunaini dengan Bupati Sanggau, Saya tegaskan kalau batas kemampuan Saya hanyalah mempertemukan mereka dengan bupati Yansen Akun Effendi. “Selanjutnya sudah di luar kemampuan Saya,” ujar Saya menghindar dengan halus.

Saya gerah bila ada yang memandang bias status Saya, sebagai wartawan merangkap kacung Djunaini. Padahal menjadi kacung saya tidak digaji!


***


Kelas Pekerja memang nyaris seperti remah roti yang gampang diremukkan. Apalagi oleh kapitalis media sebesar Grup Jawa Pos. Tak terkecuali terhadap kami yang bekerja di Harian Equator Pontianak, salah satu anak perusahaannya.

Dari 32 karyawan yang menandatangani surat mosi tidak percaya, nama Saya adalah yang paling getol ‘dijual’ Djunaini dalam memecah-belah gerakan mosi.

Karena Saya dan rekan-rekan tak berpengalaman ‘berkelahi’, maka dalam sekali gebrak saja, lima-limanya langsung game over malam itu. Redpel sendiri tak dapat berbuat banyak. Saya cuma bisa melawan dengan kata-kata yang kurang menikam. Tiga rekan lainnya malah memilih tak berdebat.
Djunaini berhasil mempengaruhi beberapa karyawan, wartawan dan sejumlah Kepala Biro dengan mengatakan,” Alex adalah otak dan konseptor dari gerakan mosi!” Kata Indra Wahyudi, Djunaini menunding Saya redaktur yang ingin menjadi Redpel tapi tak kesampaian. Ia juga ‘menjual’ isu Suku Ras dan Agama (SARA) untuk mendapatkan simpati para karyawan. Kepada Safitri Wahyuni—wartawati yang belakangan mengundurkan diri karena konsisten pada gerakan—Djunaini sempat ngecap soal isu kristenisasi di Equator.

“Bos bertanya pada saya, apakah mau dipimpin orang seperti itu?” terang Safitri suatu ketika.
Namun ditemui pada hari ketiga pasca pengusiran, dia membantah semua yang telah dia muntahkan. Menurutnya justru para wartawan dan karyawan Equator datang kepadanya karena gelisah oleh ‘gerakan’ kami. “Semula Saya bersabar, tetapi karena keadaannya semakin kacau Saya ambil alih,” kelitnya bak politisi.

Tanpa diminta Djunaini menceritakan keluarganya banyak juga yang Kriseten dan beragama lain. Dia mengaku telah mengasuhnya seperti anak sendiri. Tentang blacklist terhadap CU Pancur Kasih, Aliansi Masyarakat Adat (AMA) dan Lembaga Bela Benua Talino (LBBT) maupun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Djunaini juga menukarnya dengan kisah sanak familinya yang berasal dari suku Dayak, Melayu, Bugis dan Tionghoa tanpa membeda-bedakan. Djunaini bercerita, mencuci semua keterangannya. Tentang kebencian pada Yusriadi, dia pun mengatakan itu hanya miskomunikasi. Bah, kalau begitu apa masalahnya?

Drama satu babak di ruang kerjanya malam itu berakhir dengan tangis Djunaini. Dengan berurai air mata dia memeluk kami satu persatu dan berkata,” kalian adalah anak-anak Saya..,” isaknya. Adakah itu air mata buaya?

Beberapa hari kemudian, Djunaini rupaya berusaha mematahkan satu persatu isi mosi. Anton Perdana—salah seorang pendukung setianya—malam-malam mendantangi orang dekat Akil Mochtar yang masuk dalam daftar diblacklis. Anton menemui AR Muzamil, yang sebelumnya juga turut diblacklist Djunaini.

Usai bertemu Anton, Dosen UNTAN yang pernah menjadi Wakil Ketua Panwaslu Kalbar itu menelpon Yusriyadi dan Saya. Katanya, malam itu Anton Perdana datang bersama Kabag Pemasaran Equator untuk melobi dirinya dan membuat janji untuk bertemu kembali pada pukul 4 sore keesokan hari.
“Dedi menjadi saksi, Saya marah dan geram padanya (Anton Perdana). Saya bilang padanya, sampai hati kamu mengkhianati teman-teman sendiri,” kata AR Muzamil di telepon malam itu masih terdengar emosi. Tapi Saya tak mengetahui hasil pertemuan mereka keesokan harinya.

Sampai disini Saya masih bersabar. Demikian juga rekan-rekan. Padahal Saya hampir menangis karena menahan diri untuk tidak menulis hal yang buruk tentang Equator. Bagaimana pun Saya dan teman-teman pernah menjadi bagian dari tempat ini. Padahal rekan-rekan wartawan dari media nasional telah memberitakan kasus ini di media mereka masing-masing, termasuk Antara, Kompas Media Cyber (KCM), Jurnal Nasional, Antara, Pantau, Blogspot Andreas Harsono dan lain sebagainya. Tak terhitung diskusi di mailing list AJI!.

Tapi saat tahu gaji Saya dipotong lebih dari separoh secara sepihak, Saya semakin yakin kalau management Equator memang zalim. Kami belum di PHK, dan kami baru menerima surat penonaktifan (itu pun setelah diminta karena semula penonaktifan kami hanya lewat mulut Djunaini saja) tapi kami langsung diperlakukan seperti pesakitan.

“Saya hanya menjalankan titipan dari Kabag Iklan, “ kata Julia Lorains, Manager Keuangan Equator ketika dihubungi via telepon. Julia beralasan selama menjadi karyawan Equator Saya belum pernah dipotong gaji untuk piutang Iklan. Gaji Saya yang cuma Rp 1, 6 juta tiap bulan, kini hanya sisa Rp 200 ribu di rekening Bank Permata. Menurut Julia itu untuk melunasi piutang iklan yang menjadi tanggung jawab Saya ketika menjadi Kepala Biro Equator di Sanggau beberapa tahun lalu.

“Tak bisakah kalian bersabar? Kan Saya ada pesangon nanti jika sudah di PHK?” kata Saya antara gigil, demam dan kecewa. Saya memang sedang demam, tapi tetap memaksakan diri memacu sepeda motor di tengah kota, di antara gerimis, mencari teman-teman sesama mangsa. Belakangan Julia mengatakan, dia sebenarnya tak mau mempersulit urusan Saya dan teman-teman.

Minggu 05 Oktober pagi, Harul Mikrad mengirim SMS. Bunyinya,”Kontak Minggu bos hari ini luar biasa, nama kita sudah dihapus dari Box Redaksi.” Saya masih demam waktu itu, tapi otak Saya memaksa untuk berfikir segera. Sebab kami belum menerima sepucuk surat PHK pun dari perusahaan, tapi nama kami berlima dihapus dari Box Redaksi koran itu. Luar biasa! Tanpa penetapan, tanpa ‘pengadilan’, Djunaini main eksekusi! Beginikah lembaga pers yang diharapkan jadi panutan!?

***

Pukul 14.01, 12 Desember 2006 Saya ditelepon Mutadi, SH, Redaktur Pelaksana Equator, pengganti Nur Is pasca pengusiran. Saya memang sudah membuat janji dengannya. Kami sepakat bertemu di sebuah warung kopi bilangan Jalan, Gajah Mada Pontianak. Rupanya kami datang bersamaan. Dia mengendarai Kawazaki bebek dengan kacamata Raiban hitam gelap bergagang warna emas.
Senyumnya mengembang, saat memarkir kendaraan. Setelah memesan minuman dan berbasa-basi, Saya mengutarakan tujuan.

“Saya ingin mewawancarai pak Mutadi berkenaan dengan penyelesaian buku tentang hari-hari terakhir kami di Equator,” kata Saya. Saya minta izin padanya kalau wawancara ini juga direkam. Tapi karena baterai rekorder digital Saya low, Saya juga langsung mengetik wawancara kami di Lapotop. Dia setuju dan kami mulai wawancara.

“Saya mau mendengar bagaimana perasaan Mutadi ketika kami (diusir malam itu), ketika nama Saya disebut, nama Yusriadi dan yang lain disebut, dan nama Mutadi tidak disebut? Perasaan saja.”
Dia terdiam, seperti menyusun kembali sebuah peristiwa. Saya lantas menyabung pertanyaan untuk memberi penegasan,” kaget atau…?”

“Bagaimana ya…bagaimana menggambarkannya ya? Aku cuma….ketika itu Aku ndak, ya…tergamam lah. Aku tak tahu harus berbuat apa dan karena kejadiannya begitu mendadak. Aku ndak tahu harus…ee…kosong sekali pikiran Aku lex, blank sekali. Aku ndak tahu harus bersikap apa gitu. Bahkan ketika Dia minta Saye tinggalkan, Dia bilang, Mutadi tinggalkan! Aku sempat tanya juga, tinggalkan kemana Pak? Tinggalkan dulu kerjaan Kamu, kata dia kan. Barulah aku seperti…, ketika pertanyaan itu barulah Aku tersadar. Ketika itu Nuris juga masih berada di situ.

Ketika kami sedang bicara, seseorang meneleponnya. Mungkin istrinya. Aku pura-pura memperhatikan recorder digital di meja.

“Halo Ma, sebentar lagi ketemu si Alex ni…a. ya? Apanya? Sarangnya? Sarangnya…, oh, a…oh….untuk di dapur ya? Tau-tau, oke-oke, ya…ya…
Saya mengenal Mutadi ketika dia bergabung di Equator, dia masuk beberapa bulan setelah Saya. Tak banyak yang Saya tahu tentang Dia, selain kami sama-sama Alumni Fakultas Hukum UNTAN. Dia abang tingkat, jauh di atas di kampus itu. Mutadi pernah bekerja di Koran Suaka, koran terbitan lokal Pontianak, jauh sebelum Equator lahir.

Menurut Tanto, Mutadi Redaktur ketika itu. Sedangkan dia anak buahnya. Tapi ketika di Equator mereka sama-sama menjadi redaktur.

Pergaulan Saya dengan Mutadi tidak lama, karena beberapa saat setelah dia bergabung, Saya pindah ke daerah, menjadi Kepala Biro.

Ketika Saya kembali, Dia sudah menjadi redaktur kepercayaan Nur Is untuk memimpin jika yang bersangkutan sedang tugas luar. Sejak saat itu Saya tahu Nur Is memang menyiapkan Mutadi sebagai kader pemimpin.

Angin bercampur wangi kopi dan aroma comberan, membuyarkan lamunan Saya. Usai menutup telepon Mutadi melanjutkan ceritanya.

“Aku tidak menyangka….,” katanya pendek, ketika ditanya apakah sudah memprediksi namanya tak masuk daftar pengusiran? Saya biarkan saja Dia berspekulasi dengan kalimat itu. Karena di hari-hari terakhir, Mutadi mendapatkan hadiah khusus dari Djunaini, yaitu satu pot bunga Aglonema kegemarannya. Sambil bergurau, teman-teman bilang,” nah ada apa antara pak Mut dan Djunaini? Kami menjulukinya skandal Aglonema.

Saya coba menatap matanya sepanjang wawancara. Tapi Mutadi selalu menoleh ke samping kanan, sambil sesekali menyipitkan mata, seperti menghindari cahaya silau. Saya merasa tak nyaman karena sikapnya itu. Layaknya dua orang yang sedang bercakap-cakap, Mutadi rasanya menyembunyikan sesuatu yang entah apa.

Untuk menghilangkan perasaan itu, Saya meneguk gelas berisi green tea dingin di meja. Kesegerannya langsung merayap di kerongkongan. Saya kembali buka suara.

“Teman-teman menganggap Mutadi menelikung, dari perjuangan mosi itu?”
Saya sengaja melemparkan pertanyaan yang menohok, untuk menarik perhatian. Tapi pandangannya masih tak bergeming. Saya penasaran dan ikut-ikutan memperhatikan arah yang sama. Tak ada apa-apa, kecuali seorang penjaga warung.

“Sampai sekarang pun Aku tetap komitmen dengan apa yang telah kita lakukan. Eee…Seperti hari terakhir yang…, hari kedua terakhir itu, Saye sebarkan SMS, ketika kawan-kawan minta pendapat Saye. Eee….ketika kawan-kawan minta pendapat Aku, bahwa Pak Mutadi gimana sikapnya? Ya aku bilang, kawan-kawan Aku dah dapat keputusan aku bilang, Aku dapat komitmen…, eee..…aku tetap komitmen dengan tanda yang tangan sebelumnya, tapi Aku juga ingin penyelesaian yang adil, yang melihat eee…apa kepentingan yang lebih besar. Kepentingan yang lebih besar tidak Aku jabarkan di situ. Artinya tidak ada peristiwa yang membuat aktivitas tidak berjalan. Makanya ketika kawan-kawan mempertanyaan komitmen Saye, ya seperti itulah jawaban Saye. Saye anggap itu…eee…Aku anggap itu menjadi keputusan yang pernah kusampaikan. Termasuk ketika Yusriadi tanya,” urainya. 

Dalam wawancara itu Dia memang kadang-kadang menggunakan kata Saye, terkadang Aku untuk mewakili dirinya.

Hari semakin siang. Suara house music bercampur bising kendaran dari arah jalan mulai terasa mengganggu. Saya menenggak kembali sisa green tea di gelas yang es-nya sudah mencair.
“Tentang bursa Redpel apa yang Mutadi tahu? Saya mendengar Mutadi menganggap Saya sebagai pesaing terbesar,” kata Saya, dengan intonasi yang sengaja diatur agar benar-benar tidak kedengaran mengandung emosi. Jari-jari Saya siaga di tuts keyboard laptop. Saya tak ingin ada kata-katanya yang terlewat. Karena ini menyangkut perasaan dan pandangannya kepada Saya selama ini.

“Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Itu baru Saya dengar sekarang dari Alex, Jika Alex tidak ngomong tentang bursa itu hari ini, Saya tidak tahu. Bahkan selama ini, Selama ini pun yang difungsingkan sebagai Repel adalah Aku kan? Ketika Redpel pergi ke Amerika, ke Jakarta beberapa bulan. Kalau pun ada bursa. Yang Saya ketahui, tidak menyangkut jabatan. Mengenai like and dislike,” kelitnya. Kali ini dia melihat wajah saya sekilas, tapi melengos lagi.

Cih! Lele selubang nak dibutakan-nya. Saya tahu dia tak jujur! Selain matanya yang menghindari Saya selama bicara, keterangan Dek adalah anti tesanya. Dek bilang Mutadi pernah berkata ingin menjadi Redpel karena prestasi. Keterangan Dek itu diperkuat Nur Is. Oke baiklah, tak apa, biarlah Dia berbohong dan menikmatinya!

Setelah keluar dari Equator, Dek membongkar banyak kisah yang bahkan tak terbayangkan oleh Saya sebelumnya. Misalnya, Dia menjadi salah satu pendukung setia Mutadi untuk maju ke kursi Redpel. Karena Mutadi adalah imam baginya. Padahal Dia sendiri sempat diberi janji-janji oleh Djunaini. Dek menyebut beberapa nama yang yang termasuk dalam barisan Mutadi. Antara lain Uray (Redaktur), Leo Prima dan beberapa wartawan lainnya. Leo adalah wartawan di desk criminal tapi sempat menjadi wartawan desk Kota di bawah asuhan Mutadi.

Anti tesa yang kedua, sebelumnya Dia berkata sempat keheranan mendengar isu Alex ingin menjadi Redpel dihembuskan di malam terakhir pertemuan. Tepatnya di kedai kopi, simpang Jalan Hijas, menjelang peristiwa pengusiran.

“Oleh Mutadi Alex dianggap Ancaman,” kata Dek pada suatu kesempatan. Terutama karena belakangan Saya memang akrab dengan Redpel dan Bang Fakun. Tak tanggung-tanggung, kelompok Mutadi kata Dek bahkan telah memetakan kekuatan. Wartawan yang memihak Saya pun sudah mereka hitung dengan cermat. Busyet! Sampai sejauh itu prediksi mereka. Padahal Saya berniat pun tidak menjadi Redpel. Saya pernah bilang pada Nur Is, kalau pun ditawari jabatan Saya akan tetap memilih menjadi wartawan. Karena tujuan Saya menjadi wartawan adalah menulis. Gunawan Muhamad pernah bilang, mahkota tertinggi seorang penulis adalah karyanya. Saya cuma ingin jadi penulis, menerbitkan buku, bukan menjadi siapa-siapa di Kantor Equator.

Suatu ketika Saya memang pernah tergoda. Tapi sekali lagi bukan untuk menjadi Redpel. Saya minta ditugaskan Nur Is menjadi Kepala Biro Equator Singkawang saja. Itu pun karena Saya geram pada oplah koran Equator yang cuma 35 eksemplar di sana. Saya bayangkan, jika Saya manager pemasaran, ke mana muka Saya mau disimpan. Orang pemasaran selalu berdalih, oplah segitu karena Wali Kotanya, Awang Iskhak meminta para Pegawainya tidak membaca Koran Equator. Menyusul tebongkarnya skandal seksualnya dengan Anita Chung.

Singkawang adalah Kota terbesar kedua di Kalbar setelah Pontianak. Kota yang berjuluk, Little Hongkong, kota 1000 klenteng (vihara) dan Kota Amoy ini sangat kental dengan kebudayan Tionghoa yang identik aktivitas ekonomi. Jadi dalam benak Saya, seberkuasa apa pun seorang Wali Kota di alam demokrasi ini, ia tak akan mampu melarang apa yang boleh dan tak boleh dibaca rakyatya. Orientasi pasar yang Saya fikirkan adalah masyarakat Tionghoa yang jumlahnya mayoritas di Singkawang. Saya ingin menerapkan ilmu makan bubur orang Tionghoa. Makanlah bubur mulai dari pinggir, jangan langsung dari tengah-tengahnya. Dengan ilmu ini, saya yakin mampu menjadikan Singkawang sebagai pasar Equator terbesar kedua, setelah Kota Pontianak. Bahkan sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa dan organisasi Majelis Adat Budaya Tionghoa di sana sudah Saya galang untuk diajak bekerja sama. Tapi Nur Is tetap mengirim Ramdan ke Singkawang.

Motivasi lainnya adalah karena Saya ingin menulis buku dan cerita panjang tentang sejarah dan kebudayaan orang Tionghoa Singkawang yang hanya pernah Saya baca di buku Orang Cina Khek dari Singkawang karya Hari Poerwanto. Itu pun buku laporan ilmiah yang kering emosi, bukan tulisan narative. Bila tinggal di Singkawang, Saya niscaya berkesempatan besar menerapkan ilmu Narrative Reporting yang pernah Saya pelajari di Pantau. Kebetulan saat itu Saya sedang tergila-gila pada tokoh legendaris Masyarakat Tionghoa Kalbar, Lo Fong Fak. Saya berkhayal, jika legenda itu di tulis dengan gaya narrative, maka buku itu akan menjadi karya jurnalistik yang memikat.

Dari pengakuan Dek dan Stevanus Akim (kepala Biro Mempawah), barulah Saya tersadar. Pantas saja isu bursa Redpel laku dijual kepada para wartawan sebagai upaya menyingkirkan Saya. Cerita Dek dan Akim diperkuat keterangan Fitri Rahyuni. Menurutnya, dalam suatu kesempatan, Mutadi pernah bertanya, “kalau Saye dan Alex maju ke pencalonan Redpel, Fitri pasti pilih Alex ya, kalian kan dekat?” Fitri bilang kalau akan mendukung dia.

Saya gerah semula. Saya gagal mendapatkan kejujuran mutadi. Untuk mengusir perasaan tak enak itu, Saya tenggak lagi Green tee di gelas hingga tandas, lalu menuangkan lagi sisanya dari kaleng.
Ceritanya tiba-tiba meloncat kepada Nur Is.

“Aku tak suka Nur Is, bukan karena dia sebagai Redpel. Tetapi kepada sikap Dia yang tidak konsisten. Seperti yang sudah Aku sampaikan dalam rapat-rapat kita. Nur, tolonglah jangan tidur di kantor. Tak enak kepada rekan-rekan. 

Dia jawab, ”oke Saya tidak lakukan. Tapi masih juga terjadi. Misalnya lagi tentang mutasi wartawan, Dia mutasi dulu baru membicarkannya dalam rapat. Gaya kepemimpinannya yang Aku tak suka bukan kepemimpinannya. 

Aku ingin kantor berjalan secara benar. Suatu ketika Dia pernah berkata,” kawan-kawan siapkan sekoci, apa maksudnya? Saya pertanyakan. Karena menurut Saya perusahaan kita masih sehat. Jawaban Dia tak dapat diterima secara pemikiran, bayangkan perbandingan dia 10 tahun kemudian media cetak tidak ada apa-apanya. Dia membandingkannya jauh-jauh dengan Amerika, disini…internet pun masih susah?”

Aku agak jengah. Tentang itu sudah berulang kali dia ceritakan. Bahkan ketika Saya berusaha menjadi jembatan komunikasi antara Dia dan Nuris yang sempat terganggu. Saya bahkan berusaha merubah pandangan Mutadi terhadap Djunaini yang tak menyenangi dirinya. 

Saya mengatakan itu hanya persoalan komunikasi. Dengan bekal teknik NAC System yang pernah Saya pelajari, dengan agak sesumbar Saya katakan pada Tanto Yakobus, jangan panggil Saya Alex jika Saya tak berhasil membuat Mutadi dan Nuris baikan lagi. Benar, Saya berhasil walau pun tak sesempurna yang Saya harapkan.

Tekad melakukan itu karena prihatin pada Mutadi yang sering dilecehkan Djunaini. Dalam suatu kesempatan Djunaini berkata di depan Saya, Bang Fakun dan Nur Is, ”kalau Mutadi tak bisa lagi bekerja dalam tim, sudah singkirkan saja!” Tak Cuma itu Mutadi juga dituduh antek-antek Hersan Alirosa, Ketua DPRD Pontianak yang diblacklist-nya.

“Saya sendiri tak pernah mendengar Djunaini bercerita tentang Alex begitu. Saya Pikir itu hanya penafsiran oknum-oknum yang melihat kedekatan Alex dengan Nuris,” komentarnya. Walah…, pikirannya meloncat lagi ke soal bursa Redpel. 
Padahal Saya sedang menyiapkan pertanyaan lain. 
Saya ambil alih kendali. 

Saya tanya bagaimana perasannya setelah menjadi Redpel sungguhan. Sebenarnya Saya mau menyindir, bagaimana rasanya menjadi Redpel di atas derita orang lain? Entah dia tahu maksud Saya sebenarnya. 

Tapi jawaban yang keluar dari mulutnya bernada keluhan. 
“Saya tidak melihat ada yang istimewa dalam jabatan itu. Selain tanggung jawab yang besar. Mulai dari memanage kawan-kawan hingga administrasi kantor. Seakan-akan Aku adalah seorang kasir yang dipercaya langsung memegang sebuah bank,” katanya serius.

Tiba-tiba di otak Saya terlintas bayangan Dek, sahabat kentalnya yang belakangan telah menganggap Mutadi sebagai brutus dan penelikung dalam perjuangan Mosi. Bagaimana perasaannya sebagai Imam, melihat makmumnya terzalimi?

“Setelah Saye jelaskan SMS terakhir, baru dia faham. Dia mendukung kepemimpinan Aku sekarang ini. Aku tidak melihat kemarahan lagi pada Dia. Dan Dia sebagai salah seorang yang memotivasi Aku menerima jabatan itu,” paparnya yakin. Tamkpanya Dia tidak tahu kalau Saya dan rekan-rekan senasib sering berkumpul dan berbagi cerita.

Nuris Iskandar berpesan kepada Saya untuk menanyakan juga adakah perubahan sikap Djunaini pasca peritiwa pengusiran itu? Tapi tentu Saya tidak katakan itu pertanyaan titipan Nuris.

“Ya…..kini dialog lebih terbuka, artinya ketika dia melihat satu naskah yang kurang dari sisi nara sumber, kurang data-data Dia diskusikan. Baik pada rapat, atau di luar rapat. Di sisi management, dia punya tangan-tangan yang bukan Dia sendiri harus menangani. Dia punya orang-orang yang kita sebut dalam istilah kabinet adalah orang yang diberikan kewenangan khusus menyangkut managemen dan proses. Saya tidak bicara itu bejalan atau tidak,” tandasnya.

Saya senyum-senyumdalam hati. Itu lagu lama yang diputar ulang Djunaini. Saya sempat menikmati rentak lagu itu, pasca sejumlah Redaktur eksodus ke Pontianak Pos beberapa tahun silam. Hampir tiap hari Djunaini mentraktir kami makan di kantor. Bahkan dia rela memasak sayur dan lauk-pauk dengan tangannya sendiri untuk para wartawan. Kalau sedang malas, ia juga membawa masakan istrinya dari rumah.

Saya berkali-kali dipuji Djunaini di kolom Kontak Minggu yang kini menjelma Kalam Redaksi, belakangan Saya dan teman-teman yang dipujinya setinggi langit itu dicacinya sebagai Malin Kundang.
Jadi kalau pun ada perubahan yang diceritakan Mutadi, itu adalah kisah basi. Akim, Fakun, Mujidi dan Johan yang diam-diam sering bercerita kalau apa yang diutarakan Mutadi atau Ridho dalam sebuah kesempatan maupun yang ditulis Djunaini dalam Kalam Redaksi cuma sekadar penghibur diri sendiri. Menutup-nutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Mutadi mengatakan dalam sebulan setengah dan mungkin akan memakan waktu hingga 6 bulan ke depan programnya adalah pembentukan disiplin. Perencanaan, rapat, penentuan akhir. “Alhamdulilah sejak sebulan terakhir ini, sudah berjalan. Tak seorang wartawan pun tidak hadir kecuali yang sakit. Ini adalah awal yang memperlihatkan adanya perubahan. Aku harap ini berlaku kontinyu.”
Hmm, tampanya dia tidak tahu kalau sebenarnya Saya dan teman-teman tahu kemana Mujedi menghilang saat rapat dan cuma menyetor satu berita saja setiap hari.

Kemana Johan pergi dan Akim raib kala rapat redaksi. Tak apa, biarlah dia tak tahu dan sesumbar, tak ada untungnya bagi Saya.

Sambil memeriksa rekorder Saya tanyakan bagaimana pandangannya terhadap Ridho Cs.
“Sama dengan kawan-kawan yang lain. Mereka hanya menginginkan Equator tetap eksis, munculnya perlawanan ini karena kekuatiran mereka tidak berjalannya perusahaan dan management. Jauh hari sebelum peristiwa terakhir, Aku juga sering ditelepon Ridho, dia mengajak bergabung. Dia tak mau memberi tahu tempat pertemuan, karena Aku belum setuju. Makanya sampai hari terakhir, Aku juga bilang, Aku tak mungkin membubuhkan tanda tangan di mosi Ridho.”

Mungkin dia benar dengan pengakuannya. Tapi Saya sudah tak peduli, semuanya sudah terjadi dan Saya bersyukur karena terbebas dan bisa bebas bicara blak-blakan, bahkan mewawancarainya seperti ini. Dengan terbuka Saya minta dia mengkritik Saya, apa yang menjadi kekurangan Saya selama bekerja di Equator hingga menimbulkan anti pati beberapa kepala Biro.

“Saye tak menyangka, ternyata anak-anak biro tak suka pada Alex, Saye tak menyangka. Persoalannya bahwa Alex terlalu kaku memperlakukan aturan. Menjalankan kewenangan terlalu tegas, tapi tidak selidik. Misalnya melarang wartawan jangan begitu, tapi tidak mencari tahu mengapa begitu! Itu yang mereka tak suka. 

Ada pernyataan, kalau Alex adalah orang daerah yang tidak tahu daerah (tak mengerti kesulitan di daerah). Alex terlalu dekat pusat kekuasaan. hingga lalai memperjuangkan apa yang diperlukan kawan-kawan di tingkat bawah. Kekurangan lain yang harus diperhatikan, adalah Alex kurang peka pada lingkungan. Misalnya memutar musik keras-keras di kantor,” katanya.

Saya tak memberikan argumentasi pada Mutadi, kecuali berterima kasih. Saya bilang, mungkin Saya telah bertindak seperti orang yang ingin meletakan air di daun talas. Karena airnya terus tergelincir, Saya menoreh daun talas itu sedikit untuk melengketkan air di sana. Tapi daun itu telah terluka.

Niat sesungguhnya Saya adalah agar Biro diurus dengan benar. Kerja keredaksian tidak dilalaikan dan profesi wartawan tidak bias, seperti yang pernah Saya alami karena menjadi kacung Djunaini. Saya marah kepada Anton misalnya, karena ia sering melalaikan tugas keredaksian dan saban hari terlambat mengirim berita ke kantor pusat. 

Puncaknya ketika berita penangkapan Camat Jangkang oleh Polda Kalbar dalam tuduhan terlibat trafficking. Tak cuma camat, mantan Dandim dan mantan pejabat tinggi Imigrasi Sanggau juga diduga terlibat. Peristiwa itu terjadi di depan mata Anton, aneh sekali dia mengaku tak mengetahui. Saya minta dia melengkapi berita itu dengan mewawancarai keluarga sang Camat dan pihak terkait disana, sementara Saya sudah terlebih dahulu menghubungi Bupati, Sekda Sanggau dan Kadispen Polda Kalbar. Anton berjanji akan berusaha, tapi hingga dua hari menanti tak satu laporan pun dikirim.

Belakangan Saya tahu mengapa Anton sering lalai. Menurut Tanto, Dia sering kabur dari Biro untuk mengurus proyek. Saya tak mau berspekulasi tentang proyek Anton, tapi sehari sebelum melakukan wawancara dengan Mutadi Pronk bertandang ke rumah Tanto. Dia mengeluhkan sering ditugaskan Anton mencari berita, sementara Anton yang dapat nama. Karena itu ia ingin menuntut kantor memberinya honor. Pronk adalah staf iklan yang ditempatkan di Sanggau.

Sebelum bertugas di Sanggau Anton adalah Kepala Biro Putussibau. Meski menjadi anak emas Djunaini, di Kalangan Redaksi Anton tergolong bermasalah. Setidaknya dua kali dia mendapat surat peringatan karena melalaikan pekerjaan. Yang terakhir Dia disidang para redaktur karena menghilang beberapa hari tanpa izin, sepulang mengikuti kunjungan kerja DPRD ke Palembang. Ini hanya satu dari banyak fakta yang dilakukan Anton. Tak termasuk sepak terjangnya selama menjabat Kepala Biro Kapuas Hulu. Misalnya Dia mampu mempekerjakan dan membayar sejumlah karyawan biro tanpa digaji dari kantor Pusat. 

Tetapi Djunaini menganggap itu kreativitas yang menguntungkan perusahaan. Tanpa berfikir dari mana Anton mendapatkan uang untuk operasional biro dengan banyak karyawan.
Adakah ini yang dimaksud Saya tak mengerti permasalah di Daerah? Adakah Mutadi juga tahu itu? Saya tidak tahu. Saya juga tak mau memikirkannya. Saya batuk-batuk kecil sebelum meminta Mutadi menyampaikan uneg-uneg terakhirnya, tanpa perasaan sungkan.

“Kawan-kawan, maksudnya Alex, Dek, Nur Is, Tanto, Yusriadi, berlaku seakan-akan tidak intelektual. Tidak menggunakan kelebihan keilmuan yang ada pada kawan-kawan untuk menyikapi persoalan secara dingin. Kalian masih mengedepankan emosi, tidak melihat kepentingan yang lebih besar. Kalian mengutamakan, jalan sendiri dibanding musyawarah. Aku dengar talk show di radio, itu melukai perasaan kawan-kawan yang lain, mulai dari tukang sapu, tukang ketik, tukang bersih-bersih, supirnya.

Mengapa baru sekarang berteriak-teriak tentang kebebasan pers, mengapa tidak dari dulu? Ketika kita masih punya kewenangan, punya suara. Padahal ketika hari pertama pertemuan, Saya sudah sarankan: Coba kita ajak (Djunaini) dialog, kita datangkan di meja, lebih enak, lebih mengalir, tetapi tak didengar. Alasannya, takut terpengaruh secara psikologis. Statment-statemen pimpinan, menggelegarnya suara pimpinan,” katanya. Mutadi mendambahkan Saya dan rekan-rekan telah menjadi hakim yang tak bijak bagi Djunaini.

Saya belum sempat melemparkan pertanyaan selanjutnya. Dia sudah buru-buru menyambung cerita. “Satu jam setelah kejadian, pas sama-sama mau menuju ke ruang iklan. Beliau duduk. Ketika itu ada Leo Prima dan Ramdan juga. Ketika itulah kesempatan Aku memberi tahu mengapa Aku sempat ikut tanda tangan. 

Aku mengatakan tiga hal yang tak Saye suka dari bapak. Pertama bapak tidak objektif, Aku yang paling merasakan selama ini. Ketika kesalahan itu Aku yang buat, dia tahu dan Aku jadi sasaran. Ketika dilakukan oleh orang yang dia sayang, dianggap lebih, jangankan dimarah ditegurkan pun ndak, dan dia akui itu. 

Ke dua kepentingan keluarga dan perusahaan. Ke tiga adalah kepentingan pribadi. Dua pertanyaan terakhir tak dia jawab, dia langsung membicarakan rencana-rencana perbaikan yang harus dilakukan malam itu juga.

***

Kedekatan Saya dengan Redpel pun karena ingin belajar sesuatu yang tak Saya dapatkan selama bekerja di Equator. Sebab sejak menjadi wartawan, sebagian besar waktu habis untuk memburu berita. Bahkan Lindu—Putri sulung Saya—kerap tak bertemu Saya dalam keadaan bangun. Pagi pukul 05.00 saya sudah berangkat. Saya harus meliput menggunakan oplet, karena belum punya kendaraan sendiri. Pulang dinihari. Hari Minggu pun tak sempat, bahkan kewajiban beribadah ke gereja pun sering saya lalaikan demi mengejar berita ekslusif.

Belakangan setelah menjadi redaktur di Pontianak, siang hari Saya punya sedikit Waktu luang. Minat Saya belajar dari para senior tumbuh lagi. Cantelan ‘kabel ilmu’ yang terdekat dengan Saya adalah Nur Is dan Yusriadi. Keduanya sosok yang Saya kagumi. 

Saya memilih Nur Is, karena kami sering sama-sama telat pulang. Kebiasan Saya pertama kali bekerja di Equator, jarang sekali pulang cepat. Walau kerja telah selesai saya ingin tahu apa yang dilakukan para senior dan Saya ingin belajar. Apa saja, yang tak pernah saya dapatkan hanya dengan membaca dan menulis!

Saya heran kepada Nur Is. Dia bisa mengatur jam tubuh begitu rupa. Bangun atau tidur kaapan saja. Dia punya istilah jika ditanya tentang ‘ilmu’ tidurnya itu.

“Dunia ini sudah ada yang mengaturnya…,” seloronya. Walau pulang pukul 02.00 atau 03.30 dinihari, dia selalu bangun pagi. Seabrek-abrek kerja berhasil ia tangani. Tak cukup cuma mengemban tanggung jawab yang diberikan Djunaini, sosok Nur Is adalah pemimpin yang creative. Banyak ide cerdas yang lahir dari tempurung kepalanya untuk kemajuan perusahaan. Lebih dari itu, ia Muslim yang taat dan menghargai perbedaan. 

Misalnya Tanto yang Katolik baru teribasa membuat Tanda Salib saat makan justru setelah kerab diingatkan Nuris. Dalam banyak kesempatan Nuris bilang kepada Saya dan rekan-rekan,” Surga mbok ya jangan dikapling-kapling. Tuhan jak tak sepelit itu.” Saya merasa nyaman dan cocok. Bahkan di kantor Saya menyerukan, siapa yang membenci perbedaan sama dengan membenci Tuhan!

Nur Is mendapat banyak kesempatan belajar ke luar. Bahkan ke Luar Negeri berkali-kali. Dua kali ke Amerika, ke Thailand, ke Malaysia dan ke Pulau Jawa sudah tak terhitung banyaknya. Bagi Saya, prestasi begini tak mungkin dimiliki sembarang orang di Provinsi berpenduduk sekitar 4 juta jiwa ini. Karena itu pula Saya ingin menimba ilmu darinya, yang tak mungkin pernah Saya dapat dari Harian Equator. Saya bukan meremehkan. 

Namun, 6 tahun 3 bulan bekerja di Equator, tak pernah sekali pun Saya di kirim ke Jawa Pos untuk belajar. Katak saja ogah dikukung dalam tempurung, apalagi Saya!

Banyak kali saya berdiskusi dengan jebolan Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura Pontianak (Untan) angkatan 1992 itu. Mulai dari harapan dan masa depan Koran Equator hingga ide-ide nakal tentang mungkin tidaknya Ibu Kota Indonesia pindah ke Kalbar? Dari hal remeh-temeh di meja redaksi hingga persoalan-persoalan Republik ini. 

Saya kerab mendebatnya, dan berkata kalau negara ini tak lebih dari sebuah negeri tanpa nabi yang begitu bangga menyebut dirinya Indonesia. Sebaliknya dia dengan optimis mengatakan bahwa Kalbar memiliki peluang besar untuk maju dengan seabrek-abrek pengalamannya menangani konflik etnis dan berbagai kelebihan lainnya.

Jarang Saya mendengar kata menyerah dari mulut Nur Is. Nyaris dalam tiap kali pertemuan, dia memotivasi wartawan. Dia bilang menjadi journalist saja sudah sebuah kemewahan. Nilainya tidak dapat diukur dalam bentuk uang atau gaji yang dibayar perusahaan. Akses dan jaringan membuat seorang wartawan memiliki pergaulan yang luas. Padahal gaji wartawan dan redaktur Equator pas-pasan untuk mengepulkan asap dapur. Karena itu bagi Saya Nuris tidak sekadar seorang pimpinan di kantor, tapi juga Sahabat di kala Saya rasa penat diblender hidup.

Semakin lama, Saya merasa banyak sekali ide-ide kami yang cocok. Misalnya tentang keinginan memperbaiki wajah Equator supaya tampil menjadi lebih menarik dan unik. Kami ‘menginfeksi’ Kabag pracetak, dengan mengajaknya berdiskusi sambil memberikan beberapa referensi yang pernah kami lihat.

Mewujudkan ide itu—saat menjalani pelatihan narative reporting di Pantau Jakarta—Saya menelepon Nur Is di Pontianak. Menanyakan apakah mau menjadi tuan rumah workshop design tata wajah newspaper and magazine? Pengajarnya pakar design dari New Yortk Time, Georgia Scoot! Gayung bersambut, Nuris bilang jangan dilewatkan kesempatan Emas untuk belajar. 

Kehadiran Georgia tidak saja bermanfaat untuk Harian Equator, tetapi juga bagi media-media lain di Kalbar. Sambil senyum sumrigah, Saya katakan pada Eva di Pantau, Redpel Saya sudah setuju! Tapi tahu sikap yang ditunjukan Djunaini?

Pukul 01.30 dinihari menjelang pelaksanaan Workhop, usai mentraktir kami makan Nasi Melda Djunaini marah-marah. Nuris sedang makan ketika Djunaini berpidato, “tak ada gunanya mendatangkan pakar dari ujung dunia sekali pun, tak guna mengirim wartawan pendidikan jauh-jauh ke Jakarta! Mana hasilnya?”

Saya benar-benar salut kepada Nur Is yang mampu bersabar. Walau dilecehkan, tapi enteng saja Dia menyelesaikan kudapannya. Bahkan tanpa banyak bunyi nasi pun bersih di pinggan. Andaikan Saya yang dimarahi Djunaini malam itu, mungkin piring itu sudah melayang ke mukanya. Karena tak seperak pun kami memakai uang Equator untuk kegiatan itu. Padahal yang kami lakukan justru untuk kemajuan kantor.

Pemimpin, otaknya kok jorok? Sudahlah tak membantu, malah marah-marah! Seharusnya Dia memotivasi, bukannya ngenyek. Dalam bahasa Pontianak kata itu artinya melecehkan.

Sikapnya yang tak simpatik terus berlanjut hingga kedatangan Georgia. Meski workshop diadakan di Kantor Equator, tak sekali pun Djunaini datang menyapa tamu dari negeri paman Sam itu. Sebagai seorang pimpinan kesannya Dia sombong sekali. Nabi saja tak pelit memberi salam. Entah apa yang ada di benak Djunaini tentang Georgia. 

 Padahal Big Bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, dalam sebuah kesempatan pernah berlari-lari menyongsong dan menyalami Bill Kovach, saat beliau bertamu ke Jawa Pos. Bill Kovac Bagi Saya adalah nabinya jurnalistik.

***

Meski pepatah Dayak Iban mengatakan: Agik idup, agik ngelaban (selagi masih hidup masih melawan) tetapi Saya tak berniat melawan Djunaini. Bahkan menerima penghinaan tersebut dengan besar hati. Sebab walau kedua orang tua saya sama-sama orang Dayak yang berasal dari rumpun Ibanik, tetapi kakek Saya, Hasun Bayaan almarhum yang Kayan memberi last name Saya Mering.

 Arti harafiahnya adalah tunas padi yang tumbuh kembali setelah terbakar atau diserang hama. Maka saat Andreas Harsono bilang, “kini kalian telah dithabiskan dengan api,” Saya merasa last name saya itu penuh arti.

Saya menulis buku ini karena saya Jurnalis, ya saya menulis, bukan ngecap di warung kopi! Menulis bukan dimaksudkan untuk melawan, tetapi sebagai peringatan bahwa Saya dan teman-teman (semoga saja ini tak termasuk narsis) pernah menjadi pelaku sejarah pers di Kalbar.

Kepada teman-teman, dalam beberapa kesempatan Saya mengatakan ini adalah cara-cara yang dipakai Tuhan untuk mengubah nasib Saya dan teman-teman menjadi lebih baik. Meminjam istilah Bang Fakun: rezeki bukan cuma di Equator. Nur Is menambahkan, cacing yang tak punya mata dalam batu pun bisa hidup. Apatah lagi seorang manusia, ciptaan Allah?

Meski salah seorang pelaku sejarah, tapi sukar sekali Saya menuliskan pengalaman ini. Tapi Saya berusaha keras menuliskannya, apalagi ketika Yusriadi minta masing-masing kami menuliskan 20 halaman. Berkali-kali Saya menghadap komputer untuk memulai, tapi yang tertulis malah sepotong puisi, memoir.

Hikayat Lima Enggang Borneo

setelah semuanya selesai, yang tinggal hanya sejarah
buku putih di meja belajar anak-anak
potret buram sebuah alamat tanpa bingkai
dan burung-burung terbang meninggalkan rumah

setelah semuanya selesai, yang tinggal hanya sejadah
perpisahan tanpa tanda tangan
hati terlanjur hancur ditikam fitnah,
dan burung-burung pesta mematuk bangkai

setelah semuanya selesai, yang tinggal cuma kisah
lukisan tua seekor tupai tanah di kandang
yang mengira dirinya telah menjadi macan
tapi burung-burung menganggapnya cuma seekor cecunguk

setelah semuanya selesai, yang tinggal cuma sajak
lima Enggang di ubun-ubun Borneo
mengangkat paruh, siap mengangkasa

Pontianak, 28 November 2006


Nah, Saya menulis supaya tidak lupa, supaya tidak berdosa kepada anak cucu dan pembaca. Saya menulis untuk membebaskan diri dari syak wasangka sejarah. Saya menulis untuk keseimbangan ruhani, untuk sesuatu yang tak terfikirkan saat ini. Karena menulis adalah sebuah ritual yang mahal bagi Saya, sebuah upaya untuk setia, jujur dan tidak congkak. Dengan menuliskan memoir ini, Saya berharap akan selamat dari penyakit struk dan darah tinggi. ***
Next Post Previous Post