Sumber gambar: http://www.anneahira.com |
Negeri kami jauh dari kedamaian. Peperangan adalah kesenangan, barangkali juga hobi. Karena itu setiap hari ada saja yang mati. Tertusuk bayonet atau belati, tapi banyak yang karena ditembak.
Setiap hari ada saja mayat. Baik yang di kubur maupun tergeletak begitu saja di tanah. Sebenarnya bukan dikubur, tetapi hanya ditimbun dengan tanah atau sampah di pinggir jalan, di sudut kota dan di kaki tangga rumah.
Anak-anak turis yang datang ke kota kami sering terjerembab karena tersandung kaki mayat yang tersembul dari gundukan tanah.
“Itu apa ayah?”
“Itu kaki orang?”
“Mengapa banyak sekali kaki menyembul dari dalam tanah, ayah?”
“Mereka sedang tidur.”
“Kok tidur di jalan?”
“Mereka tak punya rumah.”
“Oh, saya tahu, mereka seperti polisi tidur yang banyak dipasang di jalan-jalan gang itu ya ayah?”
“Ya, kadang-kadang mereka memang bikin susah.”
Sang anak terdiam. Sang ayah juga diam. Dia menyesal telah membawa sang anak bertamasya ke negeri yang salah.
***
Langit di negeri kami selalu berwarna merah. Mungkin sebenarnya bukan merah, tapi warna lidah api yang memenuhi kubah langit-langit di atas kota kami. (bersambung)