by Wisnu Pamungkas
Sejak ia di terminal ia telah meleleh
menjadi kemungkinan yang lain lagi; menjadi keringat para
pecundang dan bentakan orang-orang yang kesurupan
angan-angan untuk bahagia.
Kadang-kadang ia boleh menjadi tukang tipu atau tukang peras
yang kesepian. kadang-kadang ia berfikir untuk mati saja,
atau diam-diam menyelipkan pisau pada setiap lamunannya,
pada takdir yang mengalir deras dari kantong waktu ke kantong
waktu yang selalu saja mendidih di luar keinginan.
Ia adalah perjalanan yang selalu bisa membujuk setiap orang
untuk pulang atau pergi (sama sekali), selama-lamanya
Terminal Sintang, 10 Desember 1997
Sejak ia di terminal ia telah meleleh
menjadi kemungkinan yang lain lagi; menjadi keringat para
pecundang dan bentakan orang-orang yang kesurupan
angan-angan untuk bahagia.
Kadang-kadang ia boleh menjadi tukang tipu atau tukang peras
yang kesepian. kadang-kadang ia berfikir untuk mati saja,
atau diam-diam menyelipkan pisau pada setiap lamunannya,
pada takdir yang mengalir deras dari kantong waktu ke kantong
waktu yang selalu saja mendidih di luar keinginan.
Ia adalah perjalanan yang selalu bisa membujuk setiap orang
untuk pulang atau pergi (sama sekali), selama-lamanya
Terminal Sintang, 10 Desember 1997