Migrasi Laptop dan Secanting Beras

by A.Alexander Mering

Pertemuan saya dengan Anika Koeniq berikutnya di Orchadz Hotel dalam sebuah acara launching buku membuat saya terus tersenyum-senyum hingga tadi malam. Bukan karena Antropolog muda itu seorang wanita yang cantik, tetapi ini gara-gara dia mengirimkan Romo Baskoro T Wardaya secanting beras.
“Beras ini dari hasil ladang, saya sendiri yang memanennya..,” terang Anika bersungguh-sungguh.
Saya melongo. “Oh..ya? Waw....".
Ingatan saya tiba-tiba melayang ke pertemuan saya dengan Kristianus Atok, beberapa hari lalu, di rumah Yohanes Supriyadi. Kristianus Atok bilang akan mengirim laptop untuk adiknya di Jogja via HenTakun. Nah, hari ini pula Anika mengirimkan beras via orang yang sama untuk Romo Bas di sana. Kebetulan HenTakun memang akan berangkat ke Jogja untuk sebuah urusan, 19 Mei ini.
Sebetulnya tak ada yang istimewa dari dua peristiwa ini. Tapi entah mengapa saya menjadi begitu tergelitik memikirkannya sejak kemarin.
Bagi saya bukan persoalan barang itu akan dikirim ke mana atau untuk siapa? Tetapi eksistensi symbol kedua benda tersebut sebagai pengejawantahan sebuah nilai yang diwakilinya.
Beras umumnya representasi dari sebuah negara atau budaya agraris. Sedangkan Laptop adalah simbol untuk modernisasi dan teknologi. Keduanya merupakan ikon dari budaya dan zaman yang melahirkannya.
Yang satu sangat dekat dengan sifat-sifat masyarakat tradisional yang agraris sedangkan yang lain justru produk teknologi canggih era digital.
Beras yang dikantongi Anika untuk Romo Bas ini (sebenarnya lebih dari secanting), bukanlah beras sembarang beras, tapi beras kampung yang dipetik dari sebuah ladang terpencil di Menjalin. Ladang, beras dan kampung nyaris tak terpisahkan. Kampung Bolat boleh jadi representasi dari nilai kampung yang masih tradisional tadi, setelah 63 tahun Indonesia merdeka Bolat masih belum tesentuh aliran listrik PLN. Sejak tinggal disana Anika tak bisa menelpon, membuka atau mengirim email.
"Kalau mau kirim email, saya harus ke Pontianak," katanya suatu hari.
Antara laptop dan beras adalah dua hal yang sangat kontras bagi saya. Unikanya, yang mengirim beras—ikon tradisional—itu justru seorang wanita Jerman, negara Johannes Guttenberg, penemu mesin cetak. Salah satu tempat dimana teknologi dan ilmu pengetahuan modern di lahirkan.
Sebaliknya Kristianus Atok, putra kampung Nangka, justru mengirim laptop. Bahkan Alan Kay dari Xerox Palo Alto Research Center yang mengenalkan konsep laptop berupa komputer jinjing (Dynabook)tahun 1979-an ini pun mungkin tak menyangka temuannya tersebut bisa sampai ke sebuah Kampung di Kecamatan Menjalin. Tapi tentu saja Kristianus Atok bukan orang kampung biasa lagi, dia kini tengah menyelesaikan program S3-nya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Kuala Lumpur.
Saya sungguh tercengang ketika memikirkannya, memikirkan kedua kutub nilai itu sama-sama bergerak, serentak, dalam arus yang sama, dari perut Borneo menuju ke sebuah tempat yang bernama Jogja.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url