Wanita Berambut Emas

(Aku, Buku, Kampung dan Persahabatan)

By A. Alexander Mering

Walau baru pukul 10 pagi, udara dalam ruangan mulai panas. Seorang peserta nekat menyalakan rokok. Akibatnya sebentar saja ruangan jadi berkabut. Beberapa wanita mengibas-ngibaskan kertas. Ruangan serba guna milik pastoran itu memang tak ada air conditioner (AC). Dua kipas di langit-langit ruangan yang dihidupkan panitia tak mampu menyelamatkan seluruh peserta dari rasa gerah.

MC tidak mau tahu, ia terus ngoceh, apalagi setelah tahu pak camat yang dinanti guna membuka acara ternyata tak sempat hadir karena urusan dinas.
Ini memang bukan seminar biasa, tapi seminar kampung. Pesertanya juga orang kampung, pemuda perwakilan dari 40 kampung orang Dayak se kecamatan Menjalin. Konon kabarnya, baru kali inilah pemuda Dayak di sana berkumpul sebanyak itu untuk membicarakan eksistensi dan nasib mereka kelak.
Sae (siapa) nang bini (wanita) berambut emas koa (itu)?” Tanya saya pada Paulus FS, Fasilitator seminar yang duduk di samping saya. Dia orang Dayak Kanayatn, salah satu aktivis yayasan Pangingu Binua yang berpusat di Raba, Kecamatan Menjalin. Kami berbicara dalam bahasa Kanayatn campur Bahasa Indonesia, karena bahasa kanayatn saya belum begitu fasih.
Nang Mae (yang mana)?”
Saya menunjuk kursi barisan tengah. Walau bertampang kecil, seperti kebanyakan orang Indonesia, tapi saya yakin dia orang Eropa.
Koa bule’ badiapm (tinggal) ka Kampong (di kampung) Bolat.”
Sangahe (berapa) lama ia ka’ Bolat?”
“Udah lama, mungkin dah satahutn (setahun). Hari-hari ia noreh getah seperti orang kampung, mencari dan memikul kayu dari hutan.”
Nah, teryata benar, belakangan saya tahu dia antropolog dari Jerman. Anika kelahiran Woerzburg 1976 yang lalu, besar di kota Brement. Namanya Anika Koenig.
Jauh-jauh ke pedalaman Borneo karena sedang membuat penelitian untuk desertasi doktoralnya di The Australian National University in Camberra. Anika menetap di Bolat, sebuah kampung dalam kawasan Kecamatan Menjalin. Kampung ini belum ada listrik dan signal HP. Penduduknya masih hidup bersahaja, berbeda dengan kampung-kampung lain di Menjalin. Anika fasih bicara dalam bahasa Dayak Kanayatn, yaitu Ba Ahe, strukturnya bahkan lebih baik dari saya.
Saya suka sekali caranya berbicara Ba Ahe. Spell pengucapan dalam dialek eropanya terdengar lengket dan unik. Saya memuji caranya bicara itu tanpa sungkan saat kami ngobrol di pasar Menjalin. Anika akan tinggal di Bolat hingga Agustus 2008 mendatang. Sebagai jurnalis saya tertantang mewawancarainya kelak.

***

Saya tidak tahu apakah muzizat selalu tampak nyata. Tapi ketika saya sedang dilanda depresi luar biasa, seorang pemuda berkulit gelap tiba-tiba nongol di Kantor sambil menyodorkan buku Chicago-Chicago, karya Romo Baskara
T Wardaya. Kami belum pernah bertemu langsung, cuma ngobrol lewat web log, sebagai sesama blogger. Namanya Hendrikus Christianus. Tapi di situs pribadinya www.merawa82.blogspot.com, dia menulis namanya HenTakun.
“Ini buku bagus, bacalah.”
Aku melirik sambil memicingkan mata, mengingat-ingat sesuatu. Ah, ya saya pernah membaca ulasan buku ini di blog pemuda itu beberapa waktu lalu. Saya tak menyangka kalau hari ini buku tersebut benar-benar berada di tangan saya.
HenTakun berasal dari kampung Kanking, di bawah kaki bukit Merawa, Ketapang. Dia baru pulang dari Jogjakarta. Tahun 2001 ia meninggalkan kampungnya untuk menuntut ilmu di kota gudeg tersebut. Ketapang kabupaten paling Selatan di Provinsi Kalimantan Barat. Pertengahan 2007 lalu para arkelog menemukan sisa-sisa kejayaan kerajaan Hindu abad ke 7 di sana. Artinya kerajaan Hindu tertua di nusantara bermula di Ketapang, bukan seperti yang di ajarkan buku-buku sejarah di sekolah Indonesia tempo doloe.
HenTakun sekarang sudah menjadi Sarjana Pendidikan Sejarah di Universitas Sanata Dharma. Dia salah seorang pengagum Baskara T Wardaya SJ, salah seorang sejarawan di universitas tersebut. Romo Bas—begitu dia biasa disapa—mengarang buku Cicago-cicago. Buku setebal 278 halaman itu mengisahkan perjalanan Romo Bas selama belajar di Marquette University, US, juga mengisahkan pertemuannya dengan Li Lu. Li lu adalah tokoh pergerakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Cina yang selamat dari pembantaian di lapangan Thiananmen 1989 lalu. Dia berhasil melarikan diri ke Amerika. Kisah hidupnya memilukan, karena kejadian itu Li Lu terpisah dari istrinya. Sebelum peristiwa yang menggegerkan dunia itu, Romo Bas bertemu Li Lu pertama kali saat musim panas tahun 1992 di Konferensi Wina, Austria. Mereka menjadi akrab. Li Lu saat itu mewakili gerakan prodemokrasi Republik Rakyat Cina. Sedang Romo Bas adalah delegasi LSM Indonesia yang concerned mengenai masalah-masalah HAM, bersama Hendardi, Sandra Moniaga, dan lain-lain.
Nah di US Romo Bas bertemu lagi dengan Li Lu. ”Lilu sempat kaget setengah mati. Saya juga kaget, tapi tidak sampai setengah mati,” kata Romo Bas.
Kisah Li Lu memang memilukan. Lebih parah dari saya. Tapi yang sangat mengesankan adalah puisi yang berikan Li Lu kepada Romo Bas. Salah satu baitnya berbunyi: ”Aku berharap kau tahu bagaimana rasanya ”lari” dengan segenap hatimu tetapi kalah—itu pun kalah mutlak….
Membacanya saja sudah terasa pahit. Apalagi jika mengalami langsung seperti Li Lu, yang walau pun akhirnya dia berhasil dengan gemilang di US, menggondol 3 gelar sekaligus di Columbia University.
Saya seakan menelan vitamin baru. Ternyata untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan kesabaran dan ketabahan yang luar biasa, hampir tiada batas.
Buku itu saya baca setiap kali sempat saja. Tak buru-buru. Persis orang mengemut gula-gula, agar manisnya lama terasa.
Sejak saat itu, buku Chicago-Chicago dan HenTakun pun resmi menjadi teman saya kemana-mana. Baru dua hari terteman, saya boyong HenTakun ke Menjalin. Membaca Curriculum vivate (CV) dan blognya membuat saya berkesimpulan kalau pemuda ini juga memiliki minat di bidang pergerakan dan sejarah. HenTakun tak menolak. Apalagi dia memang belum ada kesibukan lain, sejak pulang ke Pontianak.
Dari buku itu dan HenTakun saya semakin mengenal Romo Bas, walau pun belum pernah bertemu. Belakangan saya juga membaca buku karanganya yang bertajuk Indonesia Melawan Amerika, Perang Dingin 1953-1963. Kedua buku itu juga ikut kami boyong ke Menjalin. Usai melakukan editing di Kantor, kami bertolak ke Menjalin. Cuaca mulai gelap, karena udara kota sudah bercampur dengan gerimis. Tapi hati sudah berketetapan bulat untuk hadir pada seminar pemuda adat yang digelar panitia Naik Dango di Kecamatan Menjalin. Yohanes Supriyadi, Direktur Eksekutif Yayasan Pemberdayaan Pepor Nusantara (YPPN) berkali-kali mengirim SMS, untuk memastikan kami selamat di perjalanan. Saya membalasnya dalam bahasa Inggris, karena Yadi—panggilan akrabnya—memang sedang getol-getolnya belajar bahasa Inggris. Markas kami di Menjalin, di rumah Paulus. Sebuah Ruko tua berlantai dua, rumah tinggal sekaligus warung kopi. Di samping kanan Ruko ada sebuah pohon ketapang besar yang membuat pelataran depan toko menjadi teduh jika siang. Ini keempat kalinya saya berkunjung ke Menjalin. Tapi kali ini untuk menginap 2 malam guna membantu beberapa lembaga pergerakan yang memfasilitasi seminar pemuda adat tersebut. Meski sehari-hari saya bekerja sebagai editor di koran Borneo Tribune, tetapi kapasitas kedatangan saya kali ini ke seminar ini adalah sebagai aktivis Tribune Institute. Lembaga ini mulanya hanya sebuah unit di kantor Borneo Tribune, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan jurnalisme. Tapi belakangan lembaga ini resmi kami dirikan terpisah dari redaksi sehingga ia bisa lebih fokus dalam menyebarluaskan ilmu jurnalistik. Tidak saja kepada para wartawan, siswa-siswi SMA atau ke kampus-kampus, tetapi juga kepada komunitas dan masyarakat kampung. Gerakan ini kami sebut gerakan citizent journalism. Di Menjalin ini saya ingin menggugah kesadaran para pemuda tentang pentingnya menulis untuk mengingu (menjaga) Adat istiadat dan kearifan lokal mereka. Karena masyarakat Kalbar sangat kental dengan tradisi oralnya. Nah saya dan teman-teman di Tribune Institute ingin meningkatkannya menjadi tradisi tulisan. Sebab seperti kata Pramoedya Anata Toer,” menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
***
”Hi...Hallo...”
”Ya..Hallo juga...”.
Saya dan Anika berjabat tangan. Perkenalan singkat kami berlanjut ke diskusi akrab tentang masyarakat Dayak di Menjalin. HenTakun sibuk menjepret kami dengan Olympus E-500. Mula-mula hanya kami berdua yang ngobrol di dekat jendela, belakangan ikut juga nimbrung peserta lainnya. Saya juga mengajak bang Yadi bergabung. Anika mengatakan kalau keberadaannya di Kampung Bolat untuk meneliti kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Saya jadi teringat beberapa nama yang pernah melakukan pelitian terhadap suku ini. Antara lain Nancy L Peluso, Simon Takdir yang belakangan Kristianus Atok, kandidat Doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Kristianus Atok berasal dari Kampung Nangka Menjalin. Saya menyebut beberapa nama tersebut untuk Anika.
Usai acara seminar kami berjanji akan bertemu lagi saat acara puncak Naik Dango esok harinya, tanggal 9 Mei 208. Saya inggin mewawancarinya tentang pandangannya terhadap wanita Dayak Kanayatn di Kecamatan Menjalin, khususnya Kampung Bolat tempat ia tinggal.
Sayangya keesokan harinya ia datang terlambat. Acara Naik Dango sudah hampir bubar. Kami nongkrong di beranda depan ruko Paulus, di bawah pohon Ketapang. Anika yang melintas melintas bersama Simon Pabaras kami panggil untuk singgah dan ngobrol. Simon adalah seorang aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar. Selain saya dan HenTakun, Paulus dan Tambaleng juga ada.
Dari soal Naik Dango dan adat istiadat setempat, obrolan kami hingga bagaimana Anika bisa terdampar di Kecamatan Menjalin.
”Salah satu dosen di Universitas Sanata Dharma menjadi sponsor Visa saya, ketika akan membuat penelitian di Indonesia,” kata Anika.
Saya penasaran.
”Apakah Anika Kenal Romo Bas?”
“Apakah Namanya Baskara T Wardaya?
”Ya....ya.. itu nama lengkapnya”.
“Wah, itu benar. Bas teman ibu saya”.
Perasaan nyaris meledak. Saking girangnya saya pun berdiri sambil menunjuk HenTakun yang duduk di depan kami.
”Ini...ini dia salah satu murid Romo Bas? Bahkan dia membawakan buku Romo untuk saya.”
Buku Chicago-Chicago saya tarik dari dalam tas dan memberikannya ke tangan Anika. “Ini bukunya, sudah baca belum?”
“Wah tidak menyangka, ternyata dunia ini sempit ya?”
Wajah Anika berbinar-binar. Tentu ia sangat suprice. HenTakun apalagi. Senyumnya mengembang. Dengan cekatan dia langsung menghunus Nokia 5200-nya, memencet nomor Romo Bas. Volume loudspaekernya sengaja dibuka sehingga kami bisa menyimak semua. Hentakun menceritakan pertemuan kami dengan Anika. Berkali-kali Romo Bas bilang,” luar biasa, luar biasa. Sungguh tak menyangka”.
Memang tak disangka dua orang yang mengenal baik romo Bas bisa bertemu di sebuah kecamatan di jantung Borneo ini. Dalam sekejab HP HenTakun langsung pindah ketangan Anika, ia Bicara dengan girangnya dengan sang Pastur. Saling menanyakan Kabar. Anika mebmeri tahu Romo kalau ibunya akan datang ke Indonesia Agustus nanti. Wah, suara Romo terdengar senang sekali. Begitu juga Anika.
”Ternyata Mujizat itu nyata ya Romo,” kata HenTajkun takjub.
Dia juga memperkenalkan saya pada Romo Bas, sebagai temannya dan juga penggemar buku Romo. HP tersebut lantas berpindah ke telinga saya. Dada saya benar-benar penuh oleh kegembiraan. Sebelumnya saya tak menyangka buku karya pastur tersebut akan berada di tangan saya, kedua saya tak menduga sama sekali bisa berbicara begitu akrab dengan pengarangnya sekaligus. Teknologi memang membuat orang lain seakan hanya tinggal sejengkal di sebelah dinding kita saja. Inilah mujizat ketiga yang saya terima abad ini. Lama saya termanggu memikirkan kejadian itu. Sebuah buku telah mengantarkan saya kepada sebuah keadaan yang luar biasa.
Sebelum kembali ke Pontianak hari itu, sekali lagi kami berjanji akan berjumpa. Karena Anika akan ke Pontianak tanggal 18 Mei ini. Saya mengundangnya untuk sebuah wawancara.




Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url