Ilustrasi |
Semenjak di PHK dari pekerjaan lama, saya nyaris tiada kesibukan. Satu-satunya pekerjaan yang saya tekuni hingga sekarang adalah memotret hujan.
Bagi penduduk kota tempat Saya Tinggal, Saya tak lebih dari orang gila yang agak siuman ingatannya. Karena saya masih cukup waras untuk bertindak seperti orang beradab kebanyakan. Bahkan bagi beberapa penghuni pasar Saya dianggap sebagai rahib dalam takaran tertentu. Satu-satunya prilaku Saya yang dianggap aneh adalah kebiasaan memotret hujan. Saya mengatakan memotret hujan adalah pekerjaan, sebab hanya itu satu-satunya aktivitas tetap Saya lakukan di mata public, meski tak selalu menghasilkan uang.
Mula-mula mereka hanya mengenal saya sebagai tukang potret. Banyak diantara warga yang minta diabadikan dengan kamera Saya, lantas menghulurkan bayaran. Tapi saya selalu menolak, karena saya bukan tukang potret keliling. Kadang-kadang Saya juga dikira wartawan, tetapi setelah mengetahui bahwa saya hanya memotret hujan mereka langsung mengernyitkan kening.
“Pekerjaan macam apa itu?”
“Ah, dia seniman,”
“Bukan, dia itu wartawan,”
“Berani taruhan, dia itu pasti fotografer yang hilang ingatan”.
Macam-macam komentar orang tentang Saya. Tapi setelah bertahun-tahun lamanya dan kian banyak yang mengenal dan bertemu Saya di kota, mereka memberi gelar kepada Saya Sang Pemotret Hujan. Tapi saya tak peduli, apa pun julukan yang diberikan, Saya tetap akan memotret hujan. Mengabadikan misteri alam yang terperangkap dalam sejarah, wujud jejak kecerdasan Sang Khalik yang mengagumkan.
Karena itulah, hujan selalu menarik perhatian Saya, layaknya sebuah lukisan yang mengadung sihir dan magnit daya pikat.