Oleh: Alexander Mering
Sebuah bungkusan biru muda bunga-bunga teronggok di meja komputer. Aku yang mengucek-ngucek mata karena baru terjaga dari tidur, jadi tergoda melihatnya.
”Itu kado dari Lindu untuk papa”.
Lindu mendekatiku. Wajahnya ceria dan baru habis mandi pula. Putri sulungku ini kadang tak terduga.
”Kado apa?”
”Kado Ulang Tahun negeri kita, untuk papa”.
Aku melongo. Mosok negara yang ulang tahun, Lindu yang memberikan hadiahnya. Kepada ayahnya pula.
”Isinya apa nak?”
”Buka aja”.
Aku pun sibuk merobek bungkusan yang disteples dan ujungnya dilipat-lipat membentuk kipas itu. Lindu senyum-senyum di sampingku. Aku makin penasaran, lantas duduk di kursi plastik dekat meja komputer.
Aku terkesima. Isi bungkusan itu ternyata gambar kartun Ruru karya Lindu, sepucuk pulpen hitam merk standard yang dibungkus secarik kertas surat warna pink.
”Papa, kita punya hadiah
yaitu sebuah kertas
nanti papa buka ya”.
Demikian isi surat itu.
Aku hampir tak dapat berkata-kata. Hanya mampu memeluknya erat-erat sambil mengusap-ngusap kepalanya. Rasa sayang seorang ayah kurasakan deras mengalir dan bertumpah-tumpah tanpa dapat kucegah saat itu juga. Aku tak tahu apa makna Lindu memberikan hadiah itu. Tapi naluriku dapat merasakan cinta seorang anak kepada ayahnya. Namun mengapa dia memilih tanggal 17 Agustus? Memilih ketika republik ini tergopoh-gopoh merayakan ulang tahunnya yang ke 63?
Mungkin tak ada hubungannya. Mungkin karena ia berfikir ayahnya adalah seorang penulis. Atau bisa juga karena alam bawah sadar seorang bocah yang mendorongnya untuk melakukan itu, sebab dia adalah anak seorang journalist.
Saat yang sama, Iram juga ikut nimbrung. Putra bungsuku itu baru bangun tidur dan langsung ngoceh dalam bahasa yang entah apa artinya Maklum umurnya baru 2 tahun lebih. Oh ya, dia tampak tak mau ketinggalan dan ingin ikut dipeluk bersama.
Dadaku serasa sesak tiap kali ingat nasib mereka akan tumbuh besar kelak di negeri yang kini tengah sakit. Mereka adalah generasi pewaris rahim ibu pertiwi yang sering mencret.
Di luar rumah kami kain bendera merah putih terus saja berkibar dengan tegar.
Aku tahu Indonesia tak cuma Jakarta, tapi kata-kata merdeka yang diwariskan para pahlawan di tanah kelabiranku kini hanya meninggalkan rasa pahit. Kalimantan Barat sampai sekarang keadaannya tak lebih baik dari dapurnya warga Kali Codet.
Usia lindu baru 7 tahun. Dia adalah represntasi generasi berikutnya pewaris republik ini. Ia memaknai HUT negaranya dengan kepolosan dan caranya sendiri.
Hampir sepekan ia sibuk ikut pertandingan itu dan ini di komplek kami. Dua kali aku melihatnya pulang membawa bungkusan hadiah.
”Lindu juara V,” katanya ketika kutanya.
Dia berjaya untuk pertandingan makan kerupuk dan lari. Hadiahnya beberapa lembar buku dan pulpen, sepucuk ia hadiahkan kepadaku. Malamnya Lindu juga sibuk. Diam-diam dia mendaftar ikut lomba karaoke di Pentas Villa Ria Indah.
Wajahnya berseri-seri, diterpa lighting panggung sederhana. Suaranya melengking-lengking saat menyanyikan lagu Burung Kecilku, yang pernah dipopulerkan artis cilik Christina. Seorang ayah menghunus kamera, terjepit di antara penonton yang sebagian besar anak-anak. Beberapa jepretan dia lantas menghindar keluar arena.
Matanya perih menahan perasaan. ”Apa yang mampu kuhadiahkan kepada generasi ini, di negeri yang sedang tunggang langgang diganyang oleh para spekulan, kumpulan maling dan para bandit?”
Pontianak Timur, 17 Agustus 2007
Sebuah bungkusan biru muda bunga-bunga teronggok di meja komputer. Aku yang mengucek-ngucek mata karena baru terjaga dari tidur, jadi tergoda melihatnya.
”Itu kado dari Lindu untuk papa”.
Lindu mendekatiku. Wajahnya ceria dan baru habis mandi pula. Putri sulungku ini kadang tak terduga.
”Kado apa?”
”Kado Ulang Tahun negeri kita, untuk papa”.
Aku melongo. Mosok negara yang ulang tahun, Lindu yang memberikan hadiahnya. Kepada ayahnya pula.
”Isinya apa nak?”
”Buka aja”.
Aku pun sibuk merobek bungkusan yang disteples dan ujungnya dilipat-lipat membentuk kipas itu. Lindu senyum-senyum di sampingku. Aku makin penasaran, lantas duduk di kursi plastik dekat meja komputer.
Aku terkesima. Isi bungkusan itu ternyata gambar kartun Ruru karya Lindu, sepucuk pulpen hitam merk standard yang dibungkus secarik kertas surat warna pink.
”Papa, kita punya hadiah
yaitu sebuah kertas
nanti papa buka ya”.
Demikian isi surat itu.
Aku hampir tak dapat berkata-kata. Hanya mampu memeluknya erat-erat sambil mengusap-ngusap kepalanya. Rasa sayang seorang ayah kurasakan deras mengalir dan bertumpah-tumpah tanpa dapat kucegah saat itu juga. Aku tak tahu apa makna Lindu memberikan hadiah itu. Tapi naluriku dapat merasakan cinta seorang anak kepada ayahnya. Namun mengapa dia memilih tanggal 17 Agustus? Memilih ketika republik ini tergopoh-gopoh merayakan ulang tahunnya yang ke 63?
Mungkin tak ada hubungannya. Mungkin karena ia berfikir ayahnya adalah seorang penulis. Atau bisa juga karena alam bawah sadar seorang bocah yang mendorongnya untuk melakukan itu, sebab dia adalah anak seorang journalist.
Saat yang sama, Iram juga ikut nimbrung. Putra bungsuku itu baru bangun tidur dan langsung ngoceh dalam bahasa yang entah apa artinya Maklum umurnya baru 2 tahun lebih. Oh ya, dia tampak tak mau ketinggalan dan ingin ikut dipeluk bersama.
Dadaku serasa sesak tiap kali ingat nasib mereka akan tumbuh besar kelak di negeri yang kini tengah sakit. Mereka adalah generasi pewaris rahim ibu pertiwi yang sering mencret.
Di luar rumah kami kain bendera merah putih terus saja berkibar dengan tegar.
Aku tahu Indonesia tak cuma Jakarta, tapi kata-kata merdeka yang diwariskan para pahlawan di tanah kelabiranku kini hanya meninggalkan rasa pahit. Kalimantan Barat sampai sekarang keadaannya tak lebih baik dari dapurnya warga Kali Codet.
Usia lindu baru 7 tahun. Dia adalah represntasi generasi berikutnya pewaris republik ini. Ia memaknai HUT negaranya dengan kepolosan dan caranya sendiri.
Hampir sepekan ia sibuk ikut pertandingan itu dan ini di komplek kami. Dua kali aku melihatnya pulang membawa bungkusan hadiah.
”Lindu juara V,” katanya ketika kutanya.
Dia berjaya untuk pertandingan makan kerupuk dan lari. Hadiahnya beberapa lembar buku dan pulpen, sepucuk ia hadiahkan kepadaku. Malamnya Lindu juga sibuk. Diam-diam dia mendaftar ikut lomba karaoke di Pentas Villa Ria Indah.
Wajahnya berseri-seri, diterpa lighting panggung sederhana. Suaranya melengking-lengking saat menyanyikan lagu Burung Kecilku, yang pernah dipopulerkan artis cilik Christina. Seorang ayah menghunus kamera, terjepit di antara penonton yang sebagian besar anak-anak. Beberapa jepretan dia lantas menghindar keluar arena.
Matanya perih menahan perasaan. ”Apa yang mampu kuhadiahkan kepada generasi ini, di negeri yang sedang tunggang langgang diganyang oleh para spekulan, kumpulan maling dan para bandit?”
Pontianak Timur, 17 Agustus 2007