Sumber: http://www.go-self-sufficient.com/ |
“Apa yang harus aku lakukan agar bisa jadi manusia ibu?”
“Hmmm...”
“Ibu, aku bercita-cita menjadi manusia.”
“Anakku, itu mustahil.”
“Mengapa ibu?”
“Karena kita anjing,”
“Tapi apa salahnya menjadi manusia?”
“Tidak salah anakku, tapi kita tidak bisa?”
“Mengapa tidak?”
“Karena kita anjing sayang.”
“Tapi kita bisa belajar menjadi manusia,”
“Tak mungkin”.
“Mengapa tak mungkin?”
“Karena kita anjing…goblok!”
“Tapi ibu…”
“Tak ada tapi-tapi, tidur sana, awas jika ngompol lagi.”
Anjing kurap kecil itu terdiam. Matanya berkaca-kaca menahan kecewa. Sambil mengibaskan ekor-ekornya yang belum sempurna ditumbuhi bulu ia pun berlalu.
***
“Aku tak muluk-muluk harus menjadi seperti pak Noriman, majikanmu yang punya rumah bagus dan mobil itu. Jadi pemulung pun tak apa,” kataya kepada si Mimi, anjing pudel peliharaan pak Kepala Desa, di ujung gang.
“Guk…guk…guk..,” kata Mimi mengejek.
Ketika itu si Anjing kurap sudah remaja. Walau warga kampung memanggilnya dengan nama anjing kurap tetapi, ia tumbuh menjadi anjing muda yang gagah dan pemberani. Matanya hitam tajam, namun selalu tampak gelisah menyiratkan hasrat dan impian yang kuat.
Bulunya juga hitam tebal mengkilap, nyaris tak pernah ada noda. Walau cuma anjing liar di ujung kampung, tetapi ia berusaha menjaga penampilannya tetap perlente, sebagai anjing yang cerdas dan memiliki cita-cita luar biasa. (what the next...)