by: Alexander Mering
Seorang ibu muda berkerudung hijau lumut tergopoh-gopoh menggendong bayi. Bocah itu menangis tak mahu berhenti. Wajahnya pucat. Suaminya seorang lelaki berjenggot tebal— masih sibuk di luar—mengurus administrasi rumah sakit.
Dua perawat datang membantu. Suster menyambut sang bayi serta menepuk-nepuknya lembut agar tenang. Perawat lelaki menghunus jarum, memasang infuse di nadi mahluk mungil itu.
“Berapa umurnya?”
“Empat bulan”.
“Demamnya sudah berapa hari?”
“Ini hari ke empat….”
Penderita gejala tipes di samping kanan, batuk berkali-kali. Kadang-kala ia mengeluh sambil memaki. Tak lama kemudian, pasien lain didorong masuk. Wajahnya gelap. Ada tanda lebam antara alis dan telinga kirinya. Masker oksigen ditelungkupkan di hidungnya. Ia mengap-mengap menghirup uap yang mengepul seperti asap dari masker tersebut. Selangnya melahirkan desis baru yang menambah bising dan sibuk ruangan ini.
“Biasa, asmanya kumat,” kata lelaki gemuk di sampingnya kepada perawat.
Entah apa lagi yang mereka percakapkan. Aku mendengarnya terkadang terang, terkadang sayup. Nyeri dari dalam perut membuatku sibuk. Sakitnya melilit-lilit seperti ada makluk kecil yang menggigit ususku.
“Dasar penyakit pukimak!”
Pandanganku kabur. Tungkai dan sendi seperti tak lagi saling menopang. Saat itulah aku tahu bahwa setiap orang pada akhirnya pasti akan sendiri saat menghadapi ajal, betapa pun riuh-reda hidupnya hari ini.
Banyak adegan terjadi di ruangan itu selama 4 jam. Lebih dari 10 pasien keluar masuk, sementara aku masih terus berbaring menatap neon di dek ruangan dengan ngilu dan sakit. Bau obat bercampur carbol menghambur ke udara, seperti yang terjadi hampir di tiap rumah sakit.
Di kiri ruangan yang jaraknya 3 ranjang dari tempat aku terbaring, seorang pasien tua tiba-tiba kejang.
“Dokter Damianus, Dokter…cepat!?”
Damianus adalah Wakil Direktur Rumah Sakit Antonius. Pagi itu gilirannya piket di UGD. Dia tergesa-gesa keluar bilik yang terletak di sudut kanan ruang . Beberapa perawat berlari menyongsong, menutup separuh tirai hijau yang memisahkan ranjang satu-dengan lainnya.
Tapi ujung kaki pria tua tersebut terus berkelojotan. Jempolnya tersembul dari balik tirai, teracung-acung. Seluruh tubuhnya bergetar hebat melawan maut. Di sampingnya, seorang lelaki menggenggam tangan tua itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca.
Dokter dan perawat bekerja cepat memasang alat. Tapi tak lama kemudian suara ngoroknya memenuhi ruangan, sebelum akhirnya hilang menyisakan hening panjang yang mencekam.
Alamak, tak terasa 4 jam sudah aku berbaring di antara erangan orang-orang yang sedang bergulat dengan maut.
***
Di atas kepala, tempat aku berbaring air conditioner mendesis-desis. Selimut tak mampu menghalau dingin. Rasannya lebih ngilu dari siksaan penyakit yang kuderita. Aku ngeri. Di kanan-kiri tiang botol infuse terpasang bejejer seperti nisan. Sebotol dialirkan melalui slang ke pergelangan tangan kiriku.
Suster Lusia, memeriksanya.
“Awas ya, jangan dipercepat sendiri, nanti kamu menggigil”.
Ini botol kedua yang dipasang, sejak aku masuk pagi tadi. Cairan itu meluruk seperti pancuran kecil ke nadiku.
Sementara di salah satu ruangan, karyawan dan para medis Rumah Sakit Santo Antonius sibuk mempersiapkan pohon natal 2008. Berbeda dari pohon natal tahun sebelumnya, kali ini terbuat dari puluhan ribu botol putih bekas infuse. Satu di antaranya masih terpasang di lenganku yang lelah.
“Selamat Natal ajal!”
Seorang ibu muda berkerudung hijau lumut tergopoh-gopoh menggendong bayi. Bocah itu menangis tak mahu berhenti. Wajahnya pucat. Suaminya seorang lelaki berjenggot tebal— masih sibuk di luar—mengurus administrasi rumah sakit.
Dua perawat datang membantu. Suster menyambut sang bayi serta menepuk-nepuknya lembut agar tenang. Perawat lelaki menghunus jarum, memasang infuse di nadi mahluk mungil itu.
“Berapa umurnya?”
“Empat bulan”.
“Demamnya sudah berapa hari?”
“Ini hari ke empat….”
Penderita gejala tipes di samping kanan, batuk berkali-kali. Kadang-kala ia mengeluh sambil memaki. Tak lama kemudian, pasien lain didorong masuk. Wajahnya gelap. Ada tanda lebam antara alis dan telinga kirinya. Masker oksigen ditelungkupkan di hidungnya. Ia mengap-mengap menghirup uap yang mengepul seperti asap dari masker tersebut. Selangnya melahirkan desis baru yang menambah bising dan sibuk ruangan ini.
“Biasa, asmanya kumat,” kata lelaki gemuk di sampingnya kepada perawat.
Entah apa lagi yang mereka percakapkan. Aku mendengarnya terkadang terang, terkadang sayup. Nyeri dari dalam perut membuatku sibuk. Sakitnya melilit-lilit seperti ada makluk kecil yang menggigit ususku.
“Dasar penyakit pukimak!”
Pandanganku kabur. Tungkai dan sendi seperti tak lagi saling menopang. Saat itulah aku tahu bahwa setiap orang pada akhirnya pasti akan sendiri saat menghadapi ajal, betapa pun riuh-reda hidupnya hari ini.
Banyak adegan terjadi di ruangan itu selama 4 jam. Lebih dari 10 pasien keluar masuk, sementara aku masih terus berbaring menatap neon di dek ruangan dengan ngilu dan sakit. Bau obat bercampur carbol menghambur ke udara, seperti yang terjadi hampir di tiap rumah sakit.
Di kiri ruangan yang jaraknya 3 ranjang dari tempat aku terbaring, seorang pasien tua tiba-tiba kejang.
“Dokter Damianus, Dokter…cepat!?”
Damianus adalah Wakil Direktur Rumah Sakit Antonius. Pagi itu gilirannya piket di UGD. Dia tergesa-gesa keluar bilik yang terletak di sudut kanan ruang . Beberapa perawat berlari menyongsong, menutup separuh tirai hijau yang memisahkan ranjang satu-dengan lainnya.
Tapi ujung kaki pria tua tersebut terus berkelojotan. Jempolnya tersembul dari balik tirai, teracung-acung. Seluruh tubuhnya bergetar hebat melawan maut. Di sampingnya, seorang lelaki menggenggam tangan tua itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca.
Dokter dan perawat bekerja cepat memasang alat. Tapi tak lama kemudian suara ngoroknya memenuhi ruangan, sebelum akhirnya hilang menyisakan hening panjang yang mencekam.
Alamak, tak terasa 4 jam sudah aku berbaring di antara erangan orang-orang yang sedang bergulat dengan maut.
***
Di atas kepala, tempat aku berbaring air conditioner mendesis-desis. Selimut tak mampu menghalau dingin. Rasannya lebih ngilu dari siksaan penyakit yang kuderita. Aku ngeri. Di kanan-kiri tiang botol infuse terpasang bejejer seperti nisan. Sebotol dialirkan melalui slang ke pergelangan tangan kiriku.
Suster Lusia, memeriksanya.
“Awas ya, jangan dipercepat sendiri, nanti kamu menggigil”.
Ini botol kedua yang dipasang, sejak aku masuk pagi tadi. Cairan itu meluruk seperti pancuran kecil ke nadiku.
Sementara di salah satu ruangan, karyawan dan para medis Rumah Sakit Santo Antonius sibuk mempersiapkan pohon natal 2008. Berbeda dari pohon natal tahun sebelumnya, kali ini terbuat dari puluhan ribu botol putih bekas infuse. Satu di antaranya masih terpasang di lenganku yang lelah.
“Selamat Natal ajal!”