Narasi Negeri Para Waktu

(“Happy new years , guru!”)

By: A. Alexander Mering

Serombongan kembang api melintas di atas kota. Lontarannya meninggalkan suitan panjang, sebelum meledak dan menimbulkan ribuan pedar cahaya di udara.
“Blaaaar!!”
Orang-orang menoleh ke luar jendela dari lantai lima Hotel Peony, dengan perasaan bangga. Hotel ini adalah salah satu bangunan yang cukup bagus dan bergengsi di jantung kota Pontianak. Ia baru saja naik status menjadi Hotel Bintang Tiga.

Seorang bocah yang tadi tertidur di ketiak ibunya, menyembulkan kepala. Sang ibu sibuk berbicara dengan orang di samping sambil menunjuk cakrawala. Ia memeluk lengan sang ibu erat-erat saat rentetan petasan dan kembang api meledak serentak di langit.
Hampir semua orang terpesona, seolah-olah baru ini pertama kali memandang kembang api meletup di udara. Pelayan hotel tak mau kehilangan kesempatan yang memang tinggal beberapa detik saja.
Seorang juru potret amatir bahkan sampai nungging-nungging, membidik langit saat ekor kembang api melintasi jendela.
“Wah, seperti liukan beribu-ribu naga,” gumamnya.
***
Tapi ternyata tak ada seorang pun yang ingat. Tak satu pun di antara kami yang sadar kemana waktu pergi saat itu, saat tahun bertukar dengan yang baru. Semacam Sertijab (serah terima jabatan) antara pejabat lama dengan yang baru. Bahkan saat jarum jam dinding tepat menunjukan angka 00.00.
Tak seorang pun melihat dia bergegas mengamit suitcase dan langsung pergi. Tak juga aku yang sejak sejam lalu menunggunya di situ. Kemana tahun-tahun sebelumnya setelah pensiun? Apakah mereka memiliki sebuah tempat untuk istirah atau sekadar mengaso sebelum 2009 merengsek masuk almanak bumi?
Dengan reputasinya yang biasa-biasa saja hingga detik-detik terakhir tadi, apakah Tahun 2008 akan di terima di Negeri para Waktu?
Aku berkhayal. Andai saja dia mengizinkan aku mengantarnya pulang. Pasti aku akan senang luar biasa dari pada menonton pesta kembang api. Karena dengan begitu aku tahu dimana ia tinggal kelak. Mana tahu sewaktu-waktu masih boleh bertandang ke rumahnya, saat-saat rindu. Ah, dia benar-benar misterius tau! Bahkan sekadar tau dimana dia membeli tiket pun tak sempat. Padahal kami sudah setahun ini bersama, melalui kesukaran dan kegembiraan bagai seorang sahabat, bahkan guru. Tapi kali ini, tak barang sekejab pun Ia sudi menampakan muka. Apakah dia ngambek? Entahlah.
Di meja ini, aku masih menunggu. Walau tahu tak memungkinkan lagi. Aku menanti, meski sudah beberapa detik berlalu. Mungkin dia sudah terlalu jauh menyeret kopernya dari sini, ke sebuah tempat yang entah di mana di suatu waktu.
Aku hanya bisa membayangkan saja punggungnya yang ringkih bergerak menjauh dari balik pintu.
Ketika suara bising petasan dan kembang api reda. Udara kota dipenuhi serbuk mesiu, debu dan perasaan hampa.
Aku masih terpaku di meja. Menghabiskan sisa music mericik.
Seorang gelandangan di simpang lampu merah, Jalan Gajah Mada menendang kaleng coca cola sisa. Ia berjalan lesu menuju jalan Tanjungpura. Angin malam Khatulistiwa menghempaskan beberapa anak rambutnya yang kaku oleh asap dan debu. Kota mulai sepi. Tinggal bau mesiu dan cebisan kertas petasan sisa pesta di mana-mana.
Nasib belum juga berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Walau dia sudah mengemis sekeras-keraasnya.
Kami berpas-pasan di ujung jalan. Aku menghela nafas panjang saat pandangan kami bertemu. Dia langsung menghindar dan berlalu.
Kota bergerak perlahan-lahan seperti biasa. Bahkan semuanya serasa mulai melambat. Detak jantung dan aliran darah orang-orang, seperti gerak sepur kereta yang kehabisan bara. Sementara peluit kehidupan menyalak keras di Tanggal Satu, almanak. Pertanda roda waktu akan segera berputar sekencang-kencangnya, hingga tahun-tahun yang sudah pensiun pun tak lagi mungkin mengejar, apalagi mendahuluinya di sirkuit waktu.
Happy New years, Guru!”

Lt 5 Hotel Peony 00.05, 1 Januari 2009
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url