Karena Mata

by Alexander Mering

Dubraaaak!
Detik berikutnya aku tak lagi ingat apa-apa. Kecuali gelap yang tak terukur kedalamannya. Hujan terus saja tumpah di jalanan, menggenangi selokan tempat aku tersungkur rebah.

Pegangan rem patah dua, spedo meter dan sarang kunci pecah menjadi serpihan, berhamburan di aspal bercampur lumpur dan bercak darah. Begitu juga Helm 'standar' yang kukenakan remuk seperti kerupuk. Stang terlipat-lipat seperti kawat jemuran. Jangan ditanya bagaimana rupa tangki dan jok motor, sama-sama rinsek! 

Tapi ajaib, aku bisa selamat! Padahal wajahku penyok berlumuran darah, diparut aspal. Barangkali hampir tak ada saksi malam itu, selain sepasangan muda-mudi yang kebetulan lewat. Mereka menggoyang-goyang tubuhku yang tertelungkup, cuma terbungkus jas hujan koyak.

"Dia masih hidup".
"Ya, cepat bang angkat dia".
"Ya".


Dalam ricik hujan, sayup aku mendengar percakapan mereka. Ketika yang lelaki menyeretku ke tepi, rasanya aku masih mengigau, menggapai-gapai mencari keseimbangan. Sementara jempol jari kananku tak terkatakan sakitnya. Sakit luar biasa di kepala membuatku siuman. Pria itu membantu mengangkat sepeda motor yang bentuknya sudah tak karu-karuan.


Aku mengucapkan terimakasih, dengan mulut penuh pasir bercampur asin darah. Mereka menawarkan pertolongan sekali lagi, tapi aku bilang kantorku dekat sini.


"Tak apa-apa, sekali lagi terima kasih bang".


Aku masih kuat walau luka. Meski keseimbangan belum sepenuhnya pulih. Lagi pula pasangan itu pun tak sadar seberapa parah aku beradarah. Kala itu aku sendiri tak seberapa yakin bagian mana sebenarnya tubuhku yang parah. Sebab darah yang mengalir dari luka dengan cepat tersapu air hujan yang terus tumpah.


Naluri untuk bertahan membuatku benar-benar bangkit meraih rongsokan sepeda motor. Entah dari mana aku mendapat tenaga untuk bangkit dan pulang. Walau sudah menjadi rongsokan, tapi sepeda motor masih bisa distarter dan menyeretku sampai di tangga rumah. Aku memacunya tanpa rem tangan.


Gerakan roda belakang dan depan tak singkron karena shock-nya bengkok tak karuan. Jalannya mengingatkan aku pada anjing kurap yang berlari sehabis kaki belakangnya dipatahkan peronda malam.


Di atas sepeda motor, kepalaku bengkak rasanya terus bertambah, seperti balon ditiup dan disertai rasa sakit yang bukan alang kepalang. Aku hanya berdoa tak roboh sekali lagi di jalan.


***

Naas malam minggu, 10 Januari pukul 09.54 PM membuatku berfikir ulang tentang fungsi utama mata. Aku mulai mempertimbangkan sekali lagi pengelihatanku. Karena sebenarnya sudah lama mataku mengalami gangguan. Seingatku sejak 7 tahun silam. Sebelah kanan silinder, sebelah kiri minus 75. Entah berapa tepatnya aku tak ingat lagi, aku harus memeriksakannya lagi. Sebab aku sudah lama tak mengenakan kaca mata. Bukan karena gengsi, atau apa. Tetapi lantaran aku merasa tak praktis dan tak nyaman. Selain itu juga belum ada uang untuk membeli kacamata baru. Kacamata terakhirku sudah hancur berderai dilindas truk, kala jatuh di Jembatan Kapuas I, dua tahun lalu.


Sejak itu, setiap pulang malam dari kantor dalam keadaan hujan aku was-was. Apalagi kala melewati jalan raya yang tak ada penerangan listriknya. Diperparah lagi kaca helm yang kukenakan itu gelap.


Setelah seharian memandang screen computer, pulangnya mataku kerap berair. Lalu tak bisa menangkap dengan jelas object di depan. Terkadang lampu sepeda motor, atau tulisan reklame di sepanjang jalan tampak kembar. Jarak pandangku makin hari makin terbatas dan jauh berkurang. Beberapa waktu lalu, aku pernah ditegur atasan lantaran editingku buruk. Aku malu, tetapi karena belum mampu beli kacamata aku diam saja. Untuk mengakalinya aku membesarkan font tulisan sampai 26. Itu pun masih saja ada huruf yang salah.


Saking malunya, aku sempat minta maaf kepada Nuris, Pimred Borneo Tribune.


"Maaf, aku belum mampu beli kacamata,"


Untuk menjaga reputasi media itu, aku minta berhenti saja menjadi editor, karena pengelihatan yang tak normal lagi kala memeriksa tulisan wartawan di screen computer.
 

Nah, yang menimpaku kemarin, adalah puncak dari persoalan mata yang fungsinya sudah melemah. Maklumlah, dari kecil aku hidup susah dan nyaris tak pernah makan wortel dan makan bergizi yang membantu mata menjadi sehat. Belajar malam hari pun pakai lampu minyak tanah, karena tak punya listrik.

Gara-gara mata yang tak lagi terang aku tak melihat dengan jelas sebuah motor tiba-tiba nongol dari dalam gang, tanpa lampu pula. Tau-tau sudah di ujung moncong sepeda motorku. Aku memang berhasil mengelak dari tabrakan tapi jadinya aku yang babak belur menanggung sakitnya sendiri.Gara-gara mata, nyaris saja aku binasa!


Karena itu peliharalah mata Anda sebaik-baiknya, sebelum dunia tiba-tiba menjadi gelap selama-lamanya.

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more