ilustrasi: http://www.picturesof.net/ |
Sedia payung sebelum hujan! Ini pepatah lama yang kerap dilupakan para pengambil kebijakan di pulau ini, khususnya di Kalimantan Barat. Akibatnya, tiba-tiba rumah Uteh Berahim di Pinggir sungai Kapuas Hanyut di seret arus, rumah Bang Man di Tanjung Hulu terendam banjir.
Lantaran pengetahuan yang terbatas, orang kampung paling hanya bisa menyalahkan atau pasrah pada alam. Ini akan disusul berjejal-jejalnya pasien di Rumah sakit karena sakit perut, muntah berak, demam berdarah dan berbagai ekses yang ditimbulkan pasca banjir kelak.
Kerugian ini tidak termasuk kulkas Bu Jainab yang rusak terendam pasang, tidak termasuk berhektar-hektar padi yang puso di Mempawah dan sejumlah kabupaten.
Padahal banjir tak cuma sekadar gejala alam dan peristiwa yang selalu berulang-ulang. Bagi orang muslim yang rajin membaca Alquran dan penganut nasarani yang membaca Alkitabnya pasti tahu sejarah banjir besar di jaman nabi nuh dengan landasan teologis masing-masing.
Para ahli lingkungan berkesimpulan intervensi manusia terhadap alam kian memperbesar petaka yang terjadi akibat banjir. Banjir menjadi bagian dari fenomena global. Ketika masih hanya menjadi gejala alam, ia dengan tidak begitu sulit bisa diramalkan karena menjadi bagian dari siklus iklim. Misalnya para orang tua dulu sering bilang, kalau bulan sudah berujung dengan uruf 'er' maka sudah saatnya musim hujan dan banjir. Tetapi ketika menjadi fenomena global maka ramalan banjir yang demikian tak lagi mempan.
Lalu bagaimana dengan kota Pontianak yang dulu dikenal sebagai kota air walau tak sama persis dengan Amesterdam, Belanda? Mengapa sekarang makin parah jadi kota banjir pula? Wali kota yang baru mesti memikirkan apa yang pernah ditulis oleh Prof. Abdul Hamid, di situs Borneo Blogger Community, mengenai Rekayasa Anti Bencana Banjir. Design Tata ruang kota Pontianak yang sangsot bisa menjadi sumber petaka banjir seperti yang dialami Jakarta beberapa waktu lalu.
Seorang blogger dari Kalimantan Selatan, menulis dengan getir sebuah artikel berjudul Mencipta Bencana di Tanah Borneo di situsnya http://taufik79.wordpress.com.
"Kepulauan Nusantara sekilas di peta persis seperti bilah lidi atau korek api yang disusun oleh anak-anak dalam permainan mereka. Seandainya Pulau Kalimantan rusak atau hancur maka bilah lidi kepulauan Nusantara akan patah."
Jika pulau ini terus dieksploitasi tanpa memikirkan kelestarian lingkungan, maka tak cuma lidi itu yang patah, tetapi 3 negara yang bergantung kawasan Heart of Borneo sebagai menara air mereka juga akan musnah.
Belajarlah kepada sejarah. Memanglah Masjidil Haram di Mekah saja pernah kebanjiran, dan telaga Zam Zam pernah laput, tetapi Tuhan juga tak mahu manusia menyerah.
Jangan mengira pepatah lama dan kearifan lokal di atas cuma berlaku di jaman Hang Jebat dan Hang Tuah. Salah-salah jangankan sedia payung sebelum hujan, warga Kalbar dan khususnya Pontianak bahkan tidak tahu mahu sedia apa sebelum tenggelam. Salah satu jalan adalah Merekayasa Banjir sebelum pulau terbesar ketiga di dunia ini tenggelam!*