By Alexander Mering
Ketika masih kecil saya hanya sesekali saja melihat orang kulit putih. Begitu kakek dan orang-orang di kampung saya menyebut orang-orang yang datang dari Eropa sana. Orang Indonesia, menyebut mereka bule. Ibu saya menyebutnya Orang Barat. Jiran saya di Malaysia pula menyebutnya Mat Salleh. Orang Iban menyebutnya Urang Ribai.
Kebanyakan yang pernah saya lihat adalah rohaniwan dan rohaniwati yang bertugas menyebarkan agama Katolik ke pelosok-pelosok Borneo, hingga ke kampung saya. Salah seorang yang saya ingat adalah Pastor Bernard dari Belanda. Pastor itu pernah mengurapi saya dengan air kudus dan juga minyak saat saya sakit payah. Ibu yang membawa saya menemuinya ke Paroki Bika Nazaret, karena saya tak sembuh-sembuh. Kira-kira kala itu saya baru kelas 1 SD. Eh, Ajaib, saya sembuh dari demam yang membuat saya nyaris lumpuh.
Di Pontianak yang notabenenya Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, saya pun masih jarang bertemu Mat Salleh. Padahal saya sudah mahasiswa di Universitas Tanjungpura di Pontianak kala itu. Pasti karena dunia pariwisatanya payah! Coba lihat di Sarawak, bejibun-jibun Mat Salleh datang tiap tahunnya. Padahal Sarawak dan Kalimantan Barat satu daratan dan cuma dipisahkan batas sempadan saja.
Soal Keindahan, niscaya Kalbar tak kalah. Bahkan semua yang terbaik, ada di Kalimantan Barat. Ambillah contoh, tumbuhan Nephentes Clepeata, hanya ada di Bukit Kelam, Kabupaten Sintang. Republik tertua di nusantara, yaitu Republik Lan Fang di Mandor dan He sun di Monterado. Danau Sentarum, sebagai danau terunik dan terluas di pulau Borneo ada di Kabupaten Kapuas Hulu! Wah, tak cukup kolom ini kalau mau di sebut satu-satu.
Soal budaya, relative sama. Bahkan Dayak di Indonesia dan di Malaysia, kebanyakan masih satu kekerabatan. Sepupu-sepupu nenek saya berada di Sarawak. Begitu juga rumpun Malayu. Beberapa pakar etnolingusitik, seperti Doktor Yusriadi, Alumni Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang kini bekerja sebagai Redaktur Borneo Tribune, mengelompokkannya sebagai kelompok Malayik. Bahasanya bahkan nyaris sama. Hanya variannya saja yang berbeda, karena disana pengaruh Inggris, sedangkan di Indonesia seharusnya dipengaruhi bahasa Belanda, Jawa dan juga Betawi (?). Mengapa bule-bule itu cuma ke Sarawak saja, dan ogah mampir ke West Borneo?
Setelah menjadi wartawan, saya memang sering bertemu orang bule. Intensitas pekerjaan membuat saya harus berurusan dengan orang-orang dari berbagai negara. Baik sekadar wawancara, teman seperjalanan dan atau sekadar say hello saja. Terutama ketika saya melancong ke luar negeri. Tetapi yang masih mengherankan, mengapa Kuching begitu ramai wisatawan manca negara, eh, di Pontianak bisa dihitung dengan jari bule-bule yang datang. Apakah karena Pontianak adalah kota yang tak jelas identitasnya. Bakan semua situs sejarahnya yang tersisa malah dirobohkan dan nyaris habis punah?
Belakangan, sejak terbuka hubungan Borneo Tribune-Tribune Institute dengan Bonn University di Jerman, ada 4 bule magang di kantor saya. Mereka mahasiswa dan mahasiswi Jerman yang kuliah di universitas tersebut. Semuanya berambut pirang! Tujuannya belajar bahasa Indonesia selama 3 bulan penuh.
Salah seorang dari mereka yang saya kira paling lucu adalah Christian Stegmann. Sebelumnya sudah ada Mathias Waldmayer, Dorina Loise Schulte, dan Sina Gil Mandelich yang ‘mondok’ dan juga mengharu-biru di ruang redaksi. Yanti Mirdayanti, dosen di Bonn University mengirim mereka ke Pontianak . Yanti adalah orang Indonesia yang sekarang tinggal di Jerman dan mengajar di universitas Bonn.
Kantor kami jadi warna-warni, terutama di dapur redaksi. Seperti salah satu bunyi motto kami, keberagaman. Lengkapnya: Idialisme, Keberagamaan dan Kebersamaan. Motto ini juga kristalisasi dari visi Koran Borneo Tibune, yaitu Inspirasi Peradaban Borneo.
Ohya, tentu saja tak semua kami pandai berbahasa Inggris, apalagi bahasa Jerman. Begitu juga tetamu kami yang lalu lalang setiap hari. Padahal saya ingat saat di bangku SMA, ada mata pelajaran bahasa Jerman untuk orang Indonesia. Beberapa cuma bisa cas-cis-cus tak tentu-rudu.
Tapi tak masalah, ini adalah proses. Bahkan tak sedikit wartawan yang tadinya cuma bermodal sepatah dua patah kata jadi berani menjajal bahasa Inggris-nya. Bukankah orang Singapura pun berbahasa Singglish (Singapura English), Malaysia berbahasa Mingglish (Malaysia English). Jadi tentu saja tak perlu malu jika nekad memakai Inglish atau Indonesia English yang campur ancur-ancur. Akibatnya percakapan menjadi lucu. Lantaran kerap tak nyambung. Kadang kala disambung dengan ‘bahasa tarzan’, kode sana-sini atau bahasa isyarat.
“Yak…yak…yak….,” kata Matias.
Christian menggaruk-garuk kepala, karena semakin tak faham.
Dorina dengan bibir yang sedikit dimerengkan mengucapkan,”terima kasiiih…”.
Teman-teman sebangsa dan setanah air saya yang sudah bisa berbahasa Inggris, semakin mengasah kemahirannya sehingga lebih fasih.
Keempat mahasiswa tadi pun mati-matian belajar dari crew redaksi, bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan mereka mengikuti pelatihan narrative reporting kelas Pontianak, yang diampu oleh Andreas Harsono, salah seorang muridnya Bill Kovach, yaitu ‘nabinya’ para wartawan.
Ada juga kawan-kawan yang lebai -lebai mengajarkan hal-hal yang sedikit merampot kepada teman-teman pirang saya itu. Misalnya Dorina diajari mengucapkan kata,”Merampot jak kau tu…”. Dengan logatnya yang lekat, Dorina mengucapkannya dengan vocal yang lucu sekali.
Sepulangnya dari liburan ke beberapa negara, Mathias bercerita kepada saya tentang pengalamannya di Sabah, Malaysia. Dia dan pacarnya naik taksi dan bertanya dalam bahasa Indonesia kepada sang supir.
“Berapa ongkos dari sini ke pusat kota?”
“Heii…! Kamu pasti orang Indonesia, ya?”
“Bukan, bukan….saya orang Jerman,” Kata Mathias yang baru sadar kalau dirinya latah.
Tawa kami pun pecah mendengar kisah Mathias. Jelas-jelas tampangnya bule, pacar yang bersamanya juga bule Jerman. Eh, supir taksi itu malah mengira dia orang Indonesia. Usut punya usut, ternyata supir taksi itu yang orang Indonesia dan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah.
Kemarin siang, Christian masuk ke ruangan kami. Dia berbincang dengan Hesti, salah seorang karyawati Borneo Tribune. Saat keduanya asyik bercengkrama, seokor kucing hitam dengan ulasan bulu kuning di dada menyelinap masuk, mengeong-ngeong keras, sok ramah pada Christian.
“Mungkin dia mau menyapa Christian,” kata saya.
“Ya, apa Mering suka kuching?”
”ya,… ya, saya suka”.
Dengan manja si kuching itu lantas menggelilingi betis Crhistian sambil menggesek-gesekkan punggungnya. Sambil mengong-ngong parau.
“Berarti kamu ada rasa kekucingan,” celetuk Christian serius.
“Apa?”
“Seperti rasa kemanusiaan, berarti juga ada rasa kekucingan,” kata dia.
Tawa kami meledak. Sekali lagi Christian menggaruk-garuk kepalanya, membuat rambut pirangnya yang kribo semakin mengembang. Ini ciri khas Christian, kalau sedang berbicara dengan orang lain.
Suatu hari dia minta ajari saya menyanyian lagu, Bapak Yakup. Lagu yang diadaptasi dari lagu Brother John yang berasal dari sebuah lagu klasik Prancis yang saya lupa judulnya.
Dorina juga punya banyak kisah lucu saat belajar. Salah satunya memakai bahasa Indonesia terpeleset.
“Itu sangat luci sekali…he..he..,” katanya. Padahal yang dia maksud adalah lucu.
Kadang saya tertawa sendiri, mengingat hal-hal kecil yang terjadi saat mengajari mereka bahasa Indonesia dan belajar bahasa Inggris dari mereka
Saya merenungkan bahwa betapa perbedaan bukanlah sesuatu yang salah. Justru kalau disyukuri ia menjadi sesuatu yang indah bahkan anugerah. Sebuah kekayaan yang menjadi pernak-pernik dan perhiasan hidup. Bagi saya, siapa yang membenci perbedaan sama saja membenci Tuhan. Sebab Tuhanlah yang menciptakan perbedaan-perbedaan.
Jika Tuhan mau, dan karena Dia Maha Kuasa, bisa saja Tuhan menciptakan dunia ini seragam. Misalnya cuma mencipta bulu mata semua, tidak ada air, tidak ada terang, tidak ada lelaki atau perempuan, tidak ada yang lain, selain bulu mata. Dan bulunya pirang semua pula! Yaaa, kau….!
Catatan 5 Pebruari 2009
Ketika masih kecil saya hanya sesekali saja melihat orang kulit putih. Begitu kakek dan orang-orang di kampung saya menyebut orang-orang yang datang dari Eropa sana. Orang Indonesia, menyebut mereka bule. Ibu saya menyebutnya Orang Barat. Jiran saya di Malaysia pula menyebutnya Mat Salleh. Orang Iban menyebutnya Urang Ribai.
Kebanyakan yang pernah saya lihat adalah rohaniwan dan rohaniwati yang bertugas menyebarkan agama Katolik ke pelosok-pelosok Borneo, hingga ke kampung saya. Salah seorang yang saya ingat adalah Pastor Bernard dari Belanda. Pastor itu pernah mengurapi saya dengan air kudus dan juga minyak saat saya sakit payah. Ibu yang membawa saya menemuinya ke Paroki Bika Nazaret, karena saya tak sembuh-sembuh. Kira-kira kala itu saya baru kelas 1 SD. Eh, Ajaib, saya sembuh dari demam yang membuat saya nyaris lumpuh.
Di Pontianak yang notabenenya Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, saya pun masih jarang bertemu Mat Salleh. Padahal saya sudah mahasiswa di Universitas Tanjungpura di Pontianak kala itu. Pasti karena dunia pariwisatanya payah! Coba lihat di Sarawak, bejibun-jibun Mat Salleh datang tiap tahunnya. Padahal Sarawak dan Kalimantan Barat satu daratan dan cuma dipisahkan batas sempadan saja.
Soal Keindahan, niscaya Kalbar tak kalah. Bahkan semua yang terbaik, ada di Kalimantan Barat. Ambillah contoh, tumbuhan Nephentes Clepeata, hanya ada di Bukit Kelam, Kabupaten Sintang. Republik tertua di nusantara, yaitu Republik Lan Fang di Mandor dan He sun di Monterado. Danau Sentarum, sebagai danau terunik dan terluas di pulau Borneo ada di Kabupaten Kapuas Hulu! Wah, tak cukup kolom ini kalau mau di sebut satu-satu.
Soal budaya, relative sama. Bahkan Dayak di Indonesia dan di Malaysia, kebanyakan masih satu kekerabatan. Sepupu-sepupu nenek saya berada di Sarawak. Begitu juga rumpun Malayu. Beberapa pakar etnolingusitik, seperti Doktor Yusriadi, Alumni Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang kini bekerja sebagai Redaktur Borneo Tribune, mengelompokkannya sebagai kelompok Malayik. Bahasanya bahkan nyaris sama. Hanya variannya saja yang berbeda, karena disana pengaruh Inggris, sedangkan di Indonesia seharusnya dipengaruhi bahasa Belanda, Jawa dan juga Betawi (?). Mengapa bule-bule itu cuma ke Sarawak saja, dan ogah mampir ke West Borneo?
Setelah menjadi wartawan, saya memang sering bertemu orang bule. Intensitas pekerjaan membuat saya harus berurusan dengan orang-orang dari berbagai negara. Baik sekadar wawancara, teman seperjalanan dan atau sekadar say hello saja. Terutama ketika saya melancong ke luar negeri. Tetapi yang masih mengherankan, mengapa Kuching begitu ramai wisatawan manca negara, eh, di Pontianak bisa dihitung dengan jari bule-bule yang datang. Apakah karena Pontianak adalah kota yang tak jelas identitasnya. Bakan semua situs sejarahnya yang tersisa malah dirobohkan dan nyaris habis punah?
Belakangan, sejak terbuka hubungan Borneo Tribune-Tribune Institute dengan Bonn University di Jerman, ada 4 bule magang di kantor saya. Mereka mahasiswa dan mahasiswi Jerman yang kuliah di universitas tersebut. Semuanya berambut pirang! Tujuannya belajar bahasa Indonesia selama 3 bulan penuh.
Salah seorang dari mereka yang saya kira paling lucu adalah Christian Stegmann. Sebelumnya sudah ada Mathias Waldmayer, Dorina Loise Schulte, dan Sina Gil Mandelich yang ‘mondok’ dan juga mengharu-biru di ruang redaksi. Yanti Mirdayanti, dosen di Bonn University mengirim mereka ke Pontianak . Yanti adalah orang Indonesia yang sekarang tinggal di Jerman dan mengajar di universitas Bonn.
Kantor kami jadi warna-warni, terutama di dapur redaksi. Seperti salah satu bunyi motto kami, keberagaman. Lengkapnya: Idialisme, Keberagamaan dan Kebersamaan. Motto ini juga kristalisasi dari visi Koran Borneo Tibune, yaitu Inspirasi Peradaban Borneo.
Ohya, tentu saja tak semua kami pandai berbahasa Inggris, apalagi bahasa Jerman. Begitu juga tetamu kami yang lalu lalang setiap hari. Padahal saya ingat saat di bangku SMA, ada mata pelajaran bahasa Jerman untuk orang Indonesia. Beberapa cuma bisa cas-cis-cus tak tentu-rudu.
Tapi tak masalah, ini adalah proses. Bahkan tak sedikit wartawan yang tadinya cuma bermodal sepatah dua patah kata jadi berani menjajal bahasa Inggris-nya. Bukankah orang Singapura pun berbahasa Singglish (Singapura English), Malaysia berbahasa Mingglish (Malaysia English). Jadi tentu saja tak perlu malu jika nekad memakai Inglish atau Indonesia English yang campur ancur-ancur. Akibatnya percakapan menjadi lucu. Lantaran kerap tak nyambung. Kadang kala disambung dengan ‘bahasa tarzan’, kode sana-sini atau bahasa isyarat.
“Yak…yak…yak….,” kata Matias.
Christian menggaruk-garuk kepala, karena semakin tak faham.
Dorina dengan bibir yang sedikit dimerengkan mengucapkan,”terima kasiiih…”.
Teman-teman sebangsa dan setanah air saya yang sudah bisa berbahasa Inggris, semakin mengasah kemahirannya sehingga lebih fasih.
Keempat mahasiswa tadi pun mati-matian belajar dari crew redaksi, bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan mereka mengikuti pelatihan narrative reporting kelas Pontianak, yang diampu oleh Andreas Harsono, salah seorang muridnya Bill Kovach, yaitu ‘nabinya’ para wartawan.
Ada juga kawan-kawan yang lebai -lebai mengajarkan hal-hal yang sedikit merampot kepada teman-teman pirang saya itu. Misalnya Dorina diajari mengucapkan kata,”Merampot jak kau tu…”. Dengan logatnya yang lekat, Dorina mengucapkannya dengan vocal yang lucu sekali.
Sepulangnya dari liburan ke beberapa negara, Mathias bercerita kepada saya tentang pengalamannya di Sabah, Malaysia. Dia dan pacarnya naik taksi dan bertanya dalam bahasa Indonesia kepada sang supir.
“Berapa ongkos dari sini ke pusat kota?”
“Heii…! Kamu pasti orang Indonesia, ya?”
“Bukan, bukan….saya orang Jerman,” Kata Mathias yang baru sadar kalau dirinya latah.
Tawa kami pun pecah mendengar kisah Mathias. Jelas-jelas tampangnya bule, pacar yang bersamanya juga bule Jerman. Eh, supir taksi itu malah mengira dia orang Indonesia. Usut punya usut, ternyata supir taksi itu yang orang Indonesia dan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah.
Kemarin siang, Christian masuk ke ruangan kami. Dia berbincang dengan Hesti, salah seorang karyawati Borneo Tribune. Saat keduanya asyik bercengkrama, seokor kucing hitam dengan ulasan bulu kuning di dada menyelinap masuk, mengeong-ngeong keras, sok ramah pada Christian.
“Mungkin dia mau menyapa Christian,” kata saya.
“Ya, apa Mering suka kuching?”
”ya,… ya, saya suka”.
Dengan manja si kuching itu lantas menggelilingi betis Crhistian sambil menggesek-gesekkan punggungnya. Sambil mengong-ngong parau.
“Berarti kamu ada rasa kekucingan,” celetuk Christian serius.
“Apa?”
“Seperti rasa kemanusiaan, berarti juga ada rasa kekucingan,” kata dia.
Tawa kami meledak. Sekali lagi Christian menggaruk-garuk kepalanya, membuat rambut pirangnya yang kribo semakin mengembang. Ini ciri khas Christian, kalau sedang berbicara dengan orang lain.
Suatu hari dia minta ajari saya menyanyian lagu, Bapak Yakup. Lagu yang diadaptasi dari lagu Brother John yang berasal dari sebuah lagu klasik Prancis yang saya lupa judulnya.
Dorina juga punya banyak kisah lucu saat belajar. Salah satunya memakai bahasa Indonesia terpeleset.
“Itu sangat luci sekali…he..he..,” katanya. Padahal yang dia maksud adalah lucu.
Kadang saya tertawa sendiri, mengingat hal-hal kecil yang terjadi saat mengajari mereka bahasa Indonesia dan belajar bahasa Inggris dari mereka
Saya merenungkan bahwa betapa perbedaan bukanlah sesuatu yang salah. Justru kalau disyukuri ia menjadi sesuatu yang indah bahkan anugerah. Sebuah kekayaan yang menjadi pernak-pernik dan perhiasan hidup. Bagi saya, siapa yang membenci perbedaan sama saja membenci Tuhan. Sebab Tuhanlah yang menciptakan perbedaan-perbedaan.
Jika Tuhan mau, dan karena Dia Maha Kuasa, bisa saja Tuhan menciptakan dunia ini seragam. Misalnya cuma mencipta bulu mata semua, tidak ada air, tidak ada terang, tidak ada lelaki atau perempuan, tidak ada yang lain, selain bulu mata. Dan bulunya pirang semua pula! Yaaa, kau….!
Catatan 5 Pebruari 2009