by: A.Alexander Mering
Jika cinta datangnya dari mata, maka Ilmu pengetahuan datangnya dari membaca. Dan bangsa yang besar pasti mendasarkan dirinya atas ilmu pengetahuan. Sebuah badan PBB, UNESCO, dalam penelitiannya menunjukan bahwa budaya baca suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan bangsa tersebut.
Di Indonesia meski di UUD 1945 sudah menegaskan bahwa adalah tugas Negara mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi nyatanya dari publikasi UNDP tahun 2003, ketahuan kalau Indonesia berada di urutan 112 dari 174 negara dalam hal kualitas, salah satu indikatornya adalah tingkat melek huruf masyarakat. Pada penelitian lainnya, Indonesia di peringkat 39 dari 41 negara dalam hal reading literacy masyarakat! Padahal kita punya Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, punya Novel pendidikan, Laskar pelangi yang luar biasa dramatik.
Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga reputasi bangsa kita di bidang pendidikan begitu merosot?
Jika anda pernah membaca sebuah kisah tentang ekspansi kerajaan Romawi ke Mesir, anda akan tahu Julius Caesar pernah terjebak dalam kepungan tentara Mesir. Tetapi kemudian ia dilepaskan demi melindungi perpustakaan negara yang berisi himpunan hasil karya tulis para cendikiawan sebagai bahan bacaan dan investasi Mesir masa depan. Keputusan itu menyebabkan sampai saat ini Mesir menjadi tujuan para peneliti karena kekayaan dokumennya.
Bagaimana dengan Kalimantan Barat? Seorang turis yang baru tiba di Kalbar bilang, bahwa lebih gampang menemukan orang yang ngerumpi di warung kopi dari pada orang yang membaca di halte bus.
Padahal Kegemaran membaca menjadi jurus sakti negara-negara maju. Antara lain Jepang, yang kemajuan teknologinya hampir menyamai Amerika. Jepang mendorong generasi mudanya untuk membaca secara rutin sejak dini. Bahkan dimulai dari anak-anak yang belum mengenal aksara. Jepang yakin, memupuk kebudayaan membaca sejak kecil akan mempengaruhi kebiasaan warga negaranya kelak. UNESCO melaporkan mahasiswa di negara maju rata-rata membaca 8 jam sehari. Sedangkan di Indonesia hanya 2 jam. Kebiasaan ini menunjukkan kemampuan SDM negara-negara bersangkutan dalam menguasai Ilmu Pengetahuan dan IPTEK.
Awal abad ke-20, Belanda membangun 680 perpustakaan umum demi memenuhi tuntutan Politik Etis. Perpustakaan-perpustakaan ini dikoordinasi Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Hingga tahun 1930, terdapat 2.686 perpustakaan untuk umum. Tapi minat baca masyarakat tak juga terdongkrak. Meski membangun perpustakaan umum, tapi pemerintah kolonial tak memberi ruang dan waktu kepada masyarakat untuk membaca. Rakyat terlalu sibuk kerja paksa dan memikirkan bagaimana mengisi perut.
Saat Orde Baru Soeharto tak ambil pusing pada budaya baca rakyatnya. Para pustakawan disibukkan program pemerintah, mengendalikan arus informasi demi pencitraan Presiden Soeharto. Sebab masyarakat yang cerdas dianggap membahayakan “stabilitas” kedudukan penguasa.
Setelah reformasi, Informasi berkembang pesat, transparan, dan mudah didapat. Berbagai media bermunculan. Tapi lagi-lagi minat baca masyarakat tak juga meningkat! Pemerintah yang seharusnya mengambil sikap seperti yang dilakukan Mesir kepada Julius Caesar eh malah pura-pura amnesia pada amanat pasal 31 UUD 1945. Politik lebih menarik ketimbang memikirkan pendidikan rakyat! Buktinya utak-atik APBN untuk anggaran pendidikan cuma sampai 20% saja. Buku-buku malah dibakar dengan dasar politik.
Padahal bagi penguasa Mesir tadi, buku sama bernilainya dengan wilayah kekuasaan. Sebab buku-buku itulah yang mencerdaskan rakyat dan generasi Mesir kemudian. Jika Indonesia tak juga belajar dari kisah ini, sebaiknya Kalbarlah yang mengambil kemudi.
Jika cinta datangnya dari mata, maka Ilmu pengetahuan datangnya dari membaca. Dan bangsa yang besar pasti mendasarkan dirinya atas ilmu pengetahuan. Sebuah badan PBB, UNESCO, dalam penelitiannya menunjukan bahwa budaya baca suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan bangsa tersebut.
Di Indonesia meski di UUD 1945 sudah menegaskan bahwa adalah tugas Negara mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi nyatanya dari publikasi UNDP tahun 2003, ketahuan kalau Indonesia berada di urutan 112 dari 174 negara dalam hal kualitas, salah satu indikatornya adalah tingkat melek huruf masyarakat. Pada penelitian lainnya, Indonesia di peringkat 39 dari 41 negara dalam hal reading literacy masyarakat! Padahal kita punya Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, punya Novel pendidikan, Laskar pelangi yang luar biasa dramatik.
Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga reputasi bangsa kita di bidang pendidikan begitu merosot?
Jika anda pernah membaca sebuah kisah tentang ekspansi kerajaan Romawi ke Mesir, anda akan tahu Julius Caesar pernah terjebak dalam kepungan tentara Mesir. Tetapi kemudian ia dilepaskan demi melindungi perpustakaan negara yang berisi himpunan hasil karya tulis para cendikiawan sebagai bahan bacaan dan investasi Mesir masa depan. Keputusan itu menyebabkan sampai saat ini Mesir menjadi tujuan para peneliti karena kekayaan dokumennya.
Bagaimana dengan Kalimantan Barat? Seorang turis yang baru tiba di Kalbar bilang, bahwa lebih gampang menemukan orang yang ngerumpi di warung kopi dari pada orang yang membaca di halte bus.
Padahal Kegemaran membaca menjadi jurus sakti negara-negara maju. Antara lain Jepang, yang kemajuan teknologinya hampir menyamai Amerika. Jepang mendorong generasi mudanya untuk membaca secara rutin sejak dini. Bahkan dimulai dari anak-anak yang belum mengenal aksara. Jepang yakin, memupuk kebudayaan membaca sejak kecil akan mempengaruhi kebiasaan warga negaranya kelak. UNESCO melaporkan mahasiswa di negara maju rata-rata membaca 8 jam sehari. Sedangkan di Indonesia hanya 2 jam. Kebiasaan ini menunjukkan kemampuan SDM negara-negara bersangkutan dalam menguasai Ilmu Pengetahuan dan IPTEK.
Awal abad ke-20, Belanda membangun 680 perpustakaan umum demi memenuhi tuntutan Politik Etis. Perpustakaan-perpustakaan ini dikoordinasi Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Hingga tahun 1930, terdapat 2.686 perpustakaan untuk umum. Tapi minat baca masyarakat tak juga terdongkrak. Meski membangun perpustakaan umum, tapi pemerintah kolonial tak memberi ruang dan waktu kepada masyarakat untuk membaca. Rakyat terlalu sibuk kerja paksa dan memikirkan bagaimana mengisi perut.
Saat Orde Baru Soeharto tak ambil pusing pada budaya baca rakyatnya. Para pustakawan disibukkan program pemerintah, mengendalikan arus informasi demi pencitraan Presiden Soeharto. Sebab masyarakat yang cerdas dianggap membahayakan “stabilitas” kedudukan penguasa.
Setelah reformasi, Informasi berkembang pesat, transparan, dan mudah didapat. Berbagai media bermunculan. Tapi lagi-lagi minat baca masyarakat tak juga meningkat! Pemerintah yang seharusnya mengambil sikap seperti yang dilakukan Mesir kepada Julius Caesar eh malah pura-pura amnesia pada amanat pasal 31 UUD 1945. Politik lebih menarik ketimbang memikirkan pendidikan rakyat! Buktinya utak-atik APBN untuk anggaran pendidikan cuma sampai 20% saja. Buku-buku malah dibakar dengan dasar politik.
Padahal bagi penguasa Mesir tadi, buku sama bernilainya dengan wilayah kekuasaan. Sebab buku-buku itulah yang mencerdaskan rakyat dan generasi Mesir kemudian. Jika Indonesia tak juga belajar dari kisah ini, sebaiknya Kalbarlah yang mengambil kemudi.