By: A. Alexander Mering
Hari masih terlalu pagi untuk mengidentifikasi keadaan di sekeliling. Kira-kira baru pukul 5, waktu Indonesia, tapi disini sudah pukul 6 pagi. Angin bertiup sepoi-sepoi ketika penumpang keluar dengan malas dari pesawat.
Untuk pertama kalinya aku menatap keadaan sekitar. Bulu mata serasa berembun saat pintu pesawat terbuka. Kiri-kanan lapangan terbang menyembul perumahan penduduk dari semak belukar, persis seperti landasan pacu Supadio Pontianak. Sepintas, Airport Zamboanga tidak sebagus bandara Supadio. Bahkan bagian kiri bangunan untuk claim bagasi cuma berdinding pagar cerucuk dari kayu sebesar lengan orang dewasa sehingga penumpang dapat melihat dengan mudah bagaimana petugas melemparkan tas ke atas roller.
“Tapi begini-begini, ini adalah bandara internasional”.
“Kalau ada teroris menembak dari luar, tak ada yang sempat menghindar,” komentar Mohammad. Kelak di Kampung Senunuc, tempat kami menetap ia lebih akrab disapa Ustadz.
Mohammad merengsek ke muka, berebut dengan penumpang lain, mencari tasnya.
Lima pria jangkung, bersorban putih dengan jangut kriwil sedada, ternyata lebih cekatan dari Mohammad. Mereka bukan orang Philippina. Dari tampangnya, sang ustadz menebak mereka berasal dari kawasan Timur Tengah. Janggut salah seorang dari mereka tampak kusut karena berebut tas dengan penumpang lainnya.
“Nah, Sampean ada kawan disini, bicaralah bahasa arab dengan mereka”.
Aku menenangkan Mohammad. Ia agak cemas karena tak bisa berbahasa Inggeris dan cuma bengong sejak dari Manila. Apalagi disini, pasti tak seorang pun yang berbicara bahasa Indonesia.
“He….he…tapi beda Ordo,” kelakar Mohammad.
Ordo adalah istilah yang dipakai dalam tradisi Katholik Roma. Ordo menunjukan sang pastor berasal dari kongregasi mana. Tapi kali ini Mohammad memakai istilah itu untuk dirinya. Aku tersenyum geli.
Selebihnya tak ada yang berbeda disini. Tampang orang-orang yang lalu-lalang sama saja dengan yang di Cengkareng atau Supadio.
Hanya kala mereka bicara anda baru tahu mereka berbeda. Wajah memang asia tulen, tapi saat mulut dibuka, yang keluar adalah bahasa Inggeris, dialek Spanish. Kadang bercampur bahasa Chavacano, yaitu campuran bahasa Spanyol dan bahasa lokal Zamboanga. Karena itulah kota ini dijuluki Asia's Latin City, sebagaimana semboyan tourism pemerintah mereka.
“Bahasa mereka mirif gado-gado, ya”.
“Ya, tapi di Pontianak tentu rasa Madura atau Melayu. Disini separuh keju lah”.
Kami tertawa ngakak. Analogi yang ngawur tentu saja. Tapi juga tak sepenuhnya salah. Sebab Zamboanga memang perpaduan berbagai etnik dan bahasa. Sejak abad ke 13 Zamboanga sudah menjadi pusat perdagangan para pelaut Cina, Melayu dengan penduduk lokal, Tausugs, Samals, Subanons, dan Badjaos.
Nama Zamboaga berasal dari bahasa Melayu, Jambangan. Tapi lidah Spanyol sulit mengejanya dengan benar, mereka menyebutnya Samboangan dan kemudian menjadi Zamboanga. Seperti mereka juga tak bisa mengucapkan nama Brunai, dan menjadi Borneo. Ah, tiba-tiba aku rindu gado-gado bibi Madura, di ferry penyeberangan, Siantan, langganan kami.
SIMBOLBudaya Spanyol masih terawat dengan baik di Zamboanga. Misalnya simbol yang terdapat di gereja Santo Ignasius dari Yoloya, yang dibangun 126 lalu oleh ordo Jusuit, tak jauh dari pusat kota Zamboanga ini. FOTO Thanapoom Laoprom, CSsR/Dok.
Hari masih terlalu pagi untuk mengidentifikasi keadaan di sekeliling. Kira-kira baru pukul 5, waktu Indonesia, tapi disini sudah pukul 6 pagi. Angin bertiup sepoi-sepoi ketika penumpang keluar dengan malas dari pesawat.
Untuk pertama kalinya aku menatap keadaan sekitar. Bulu mata serasa berembun saat pintu pesawat terbuka. Kiri-kanan lapangan terbang menyembul perumahan penduduk dari semak belukar, persis seperti landasan pacu Supadio Pontianak. Sepintas, Airport Zamboanga tidak sebagus bandara Supadio. Bahkan bagian kiri bangunan untuk claim bagasi cuma berdinding pagar cerucuk dari kayu sebesar lengan orang dewasa sehingga penumpang dapat melihat dengan mudah bagaimana petugas melemparkan tas ke atas roller.
“Tapi begini-begini, ini adalah bandara internasional”.
“Kalau ada teroris menembak dari luar, tak ada yang sempat menghindar,” komentar Mohammad. Kelak di Kampung Senunuc, tempat kami menetap ia lebih akrab disapa Ustadz.
Mohammad merengsek ke muka, berebut dengan penumpang lain, mencari tasnya.
Lima pria jangkung, bersorban putih dengan jangut kriwil sedada, ternyata lebih cekatan dari Mohammad. Mereka bukan orang Philippina. Dari tampangnya, sang ustadz menebak mereka berasal dari kawasan Timur Tengah. Janggut salah seorang dari mereka tampak kusut karena berebut tas dengan penumpang lainnya.
“Nah, Sampean ada kawan disini, bicaralah bahasa arab dengan mereka”.
Aku menenangkan Mohammad. Ia agak cemas karena tak bisa berbahasa Inggeris dan cuma bengong sejak dari Manila. Apalagi disini, pasti tak seorang pun yang berbicara bahasa Indonesia.
“He….he…tapi beda Ordo,” kelakar Mohammad.
Ordo adalah istilah yang dipakai dalam tradisi Katholik Roma. Ordo menunjukan sang pastor berasal dari kongregasi mana. Tapi kali ini Mohammad memakai istilah itu untuk dirinya. Aku tersenyum geli.
Selebihnya tak ada yang berbeda disini. Tampang orang-orang yang lalu-lalang sama saja dengan yang di Cengkareng atau Supadio.
Hanya kala mereka bicara anda baru tahu mereka berbeda. Wajah memang asia tulen, tapi saat mulut dibuka, yang keluar adalah bahasa Inggeris, dialek Spanish. Kadang bercampur bahasa Chavacano, yaitu campuran bahasa Spanyol dan bahasa lokal Zamboanga. Karena itulah kota ini dijuluki Asia's Latin City, sebagaimana semboyan tourism pemerintah mereka.
“Bahasa mereka mirif gado-gado, ya”.
“Ya, tapi di Pontianak tentu rasa Madura atau Melayu. Disini separuh keju lah”.
Kami tertawa ngakak. Analogi yang ngawur tentu saja. Tapi juga tak sepenuhnya salah. Sebab Zamboanga memang perpaduan berbagai etnik dan bahasa. Sejak abad ke 13 Zamboanga sudah menjadi pusat perdagangan para pelaut Cina, Melayu dengan penduduk lokal, Tausugs, Samals, Subanons, dan Badjaos.
Nama Zamboaga berasal dari bahasa Melayu, Jambangan. Tapi lidah Spanyol sulit mengejanya dengan benar, mereka menyebutnya Samboangan dan kemudian menjadi Zamboanga. Seperti mereka juga tak bisa mengucapkan nama Brunai, dan menjadi Borneo. Ah, tiba-tiba aku rindu gado-gado bibi Madura, di ferry penyeberangan, Siantan, langganan kami.
SIMBOLBudaya Spanyol masih terawat dengan baik di Zamboanga. Misalnya simbol yang terdapat di gereja Santo Ignasius dari Yoloya, yang dibangun 126 lalu oleh ordo Jusuit, tak jauh dari pusat kota Zamboanga ini. FOTO Thanapoom Laoprom, CSsR/Dok.