By: Alexander Mering
TEXT PHOTO: LEGENDA
Keindahan pantai pulau Santa Cruz melengenda di seluruh Philipina, bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga karena letak georgrafisnya yang dekat dengan wilayah konflik, Basilan. A. Alexander Mering dan Horonato Calugcugan berfoto bersama nelayan setempat di pulau itu, beberapa hari sebelum kontak senjata di Basilan yang menewaskan 10 orang. FOTO Mohammad/Borneo Tribune.
Suatu hari di bulan Januari,
Markus Duan Allo, wartawan Kompas terbang ke Zamboanga. Dia mewawancarai
orang-orang di Manila sebelum bertolak ke kota terpencil di ujung selatan Pulau
Mindanao, Philipina.
Mereka memberinya
peringatan, tak terkecuali Henry A Reveche, MNSA, kepala bagian urusan hubungan
dan akreditasi media luar negeri yang menangani kartu identifikasi wartawan
asing di kantor sekretariat kepresidenan Philipina di Malacanang.
"Kawasan itu penuh
dengan penduduk yang terdiri dari berbagai kelompok, dan keadaannya sulit
diprediksi. Hati-hatilah, apabila pergi ke sana,"kata Markus mengutip
pejabat tersebut.
Tapi aku sudah disini. Berdiri
tegak di pasir basah pukul 12 tengah hari. Dan yang terpenting aku belum mati,
belum diculik atau ditembakikelompok separatis,
seperti yang kerap disiarkan di media Philipina maupun media luar negeri. Aku
cuma kehausan!
“Kuya, aku perlu air minum”.
“Forgive me Bro, I forgot to bring water…”
Tentu saja dia bicara
bahasa Inggris. Tapi logatnya mengingatkanku tokoh kartun dalam film Speedy Gonzales. Maklum pengaruh Spanyol
kental di sini. Namanya Horonato Calugcugan, Kepala Sekolah Dasar yang
didirikan oleh Silsilah[1]
di pulau ini tahun1989. Tapi panggilan akrabnya Kuya Boy. Kuya berarti Abang
dalam bahasa Tagalog.
“Pulau ini bagian dari
Zamboanga, tapi tak ada sumber air bersih,” ujar Kuya Boy lagi.
Matilah aku! Teroris
pertama yang kutemui di sini justru kemiskinan. Untuk minum saja, penduduk
harus menyebrang ke pulau Zamboanga untuk membeli air. Satu galon penuh
harganya 2 Peso, setara dengan 450 rupiah. Setiap keluarga rata-rata
menghabiskan 4 galon sehari.
Namun aku masih berharap
menemukan coca-cola, atau setidak-tidaknya
minuman soda—sprite—di sini. Tapi
rupanya memang apes. Tak satu pun warung di sini menjual minuman.
Anehnya cairan cuka
berbungkus plastik bergantungan di sana-sini. Ohya, orang Philipina juga dikenal
karena bumbu cukanya.
“Dasar orang Philipina,
lebih perlu cuka dari pada air minum,” gerutuku dalam hati.
“Bro, kita singah ke rumah
pemimpin di sini,” kata Kuya Boy.
Dia merasa tak enak hati
melihatku mulai mengap-mengap dehidrasi. Apalagi angin bertiup cukup kencang
membawa hawa panas bercampur amis laut ke daratan.
Kami naik ke salah satu
rumah di sana. Sebenarnya cuma pondok yang depannya dicat biru tua. Tapi itulah
rumah terbaik yang kulihat di situ.
“Asallamualaikum warahmatullahi wabarkatuh,” seru Mohammad, teman
seperjalananku. Semua penduduk di pulau ini muslim.
Seorang pria paruh baya
berkaus kutang bolong biru nongol di balik pintu. Tanganya ada bekas tato. Ia
seorang pensiunan pegawai bank di Zamboanga dan kini menjadi Community Leader di Great Santa Cruz
Island. Istilahnya kedengaran keren. Padahal dalam bahasa lokal, disebut Porok. Hamid T Julhani namanya. Mirip
nama kebanyakan orang Melayu di Pontianak. Jadinya familiar sekali di telingaku.
Karena itu aku tak
segan-segan meminta segelas air minum. Karena jika ditunda lagi aku pasti
semaput. Begitu juga Mohammad. Kami duduk di beranda. Hanya perlu 25 menit dari
dermaga Zamboanga ke pulau ini naik bangkak,
yaitu sampan bercadar yang digerakan oleh angin. Jika 30 menit lagi naik speedboat, niscaya akan sampai di
Basilan, pulau tempat pengikut Abu Sayyap dan tentara kerap tembak-tembakkan.
Keesokan harinya, sepulangnya
kami dari sana Inquirer—salah satu
koran terbesar Philipina—dan media-media setempat memberitakan 10 orang tewas
dalam pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pengikut Abu Sayyap. Membacanya,
aku langsung mengurut dada. Untuk aku dan Muhammad sudah kembali!
Jika bom dijatuhkan di
sana, anda tinggal berdiri untuk melihatnya. Sangat dekat. Bau mesiunya pun
bisa tercium dari Santa Cruz Island. Pulau ini cuma dihuni 53 keluarga,
burung-burung pantai dan2 ekor anjing tua.
“Anjing itu dulu milik
seorang guru,” terang Boy. Meski pemiliknya sudah pergi, tapi penduduk setempat
tetap menghormati jasa-jasanya. Karena itu anjing sang guru tetap dibiarkan
hidup. Memberinya makan dengan cukup, walau tak menyentuhnya. Pekerjaan utama
penduduk pulau ini adalah nelayan selain memanen rumput laut.
Bagian pulau yang paling
besar disebut Great Santa Cruz Island dan yang kecil Little Santa Cruz Island.
“Pulau kedua cuma
dijadikan pemerintah Philipina sebagai navy
resort,” kata Kuya Boy.
Yang tak terlupakan dari
pulau ini adalah pasirnya yang selalu basah, berwarna pink muda dengan senjanya
yang memikat. Konon bisa membuat setiap orang merasa ingin jatuh cinta. Tentu
saja ada kepak burung di kejauhan dan perahu nelayan yang perlahan-lahan
tenggelam ke balik cakrawala. Selebihnya adalah hutan mangrove yang tumbuh liar
di rawa-rawa.
Karena itu walau
ditakut-takuti media, tetap saja ada turis yang nekat datang ke sana. Di atas
rawa-rawa itulah Suku Badjao[2]
atau Samal mendirikan gubuk-gubuk
bambunya dan berkeluarga. Prihatin akan keadaan ini, Silsilah lantas mendirikan
sekolah bagi anak-anak nelayan di sana. Tiap akhir pekan Kuya Boy datang
menjenguk dan mengajar murid-muridnya.
Pantaslah beberapa teman
baruku dari Kampung Sinunuc[3]
cemburu ketika mengetahui kami diberi izin pergi ke sana.
Hamid meyakinkan kalau
setakat ini pulau Santa Cruz cukup aman. Masalah utama mereka justru bukan
teroris, tapi sumber air bersih dan kemiskinan. Ia berharap ada yang membantu
menemukan teknologi murah untuk mengubah air laut menjadi fresh water yang bisa diminum.
Saat akan pulang kami
bertemu 3 warga yang bisa berbicara bahasa Malaysia. Walau terpatah-patah,
lumayanlah untuk ukuran orang yang bertahun-tahun meninggalkan negara Malaysia.
Ketiganya dulu pernah bekerja di Sabah. Mohammad tersenyum sumeringah, karena
akhirnya ada yang diajak bicara. Sebab dari berangkat tadi dia diam saja.
Apalagi President Silsilah Dialog Institute (SDI), Ms. Aminda E. Sano
mengingatkan, agar berhati-hati dan tak memotret ketika berada di pelabuhan
Zamboanga.
“Demi keselamatan kalian,
kami harus ekstra,” katanya, pagi sebelum kami berangkat.
Sehelai daun Sai-sai[4]
jatuh. Aku memungutnya sebelum pergi. Sepanjang malam aku berfikir tentang
orang-orang di pulau itu. Juga sebuah undangan
ke Basilan, yaitu sebuah provinsi yang terletak di semenanjung selatan
Zamboanga. Paginya kuterima SMS seorang teman baru dari pulau itu,”I W for U in Santa Cruz”.
Zamboanga, 2009
[2]
Ejaan lain untuk suku Bajau terkadang
juga disebut suku Samal yang pada sejatinya hidup momaden di atas laut,
sehingga disebut gipsi laut. Mereka menyebar
dari kepulauan Sulu, Filipina Selatan hingga ke negeri Sabah dan
berbagai wilayah di Indonesia.
[3]
Sebuah kampung yang berjarak sekitar 16 kilometers dari Zamboanga City Water
Shed, Philipina.
[4] Sejenis
pohon mirif pohon Ketapang (Terminalia
catappa) yang banyak tumbuh di pulau Santa Cruz.
TEXT PHOTO: LEGENDA
Keindahan pantai pulau Santa Cruz melengenda di seluruh Philipina, bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga karena letak georgrafisnya yang dekat dengan wilayah konflik, Basilan. A. Alexander Mering dan Horonato Calugcugan berfoto bersama nelayan setempat di pulau itu, beberapa hari sebelum kontak senjata di Basilan yang menewaskan 10 orang. FOTO Mohammad/Borneo Tribune.