Makan Siang Bersama Mediator Perang

By: A. Alexander Mering

Kami sedang mengitari meja makan saat helikopter melintas. Aku mengurungkan gerakan, tapi lelaki itu dengan tenang menyedok lauk seusai berdoa.
Rambutnya berombak putih, berkilau diterpa cahaya matahari yang dipantulkan daun kelapa, dari luar jendela. Aku agak tegang. Bukan karena helikopter itu, tapi karena inilah pertamakalinya aku duduk semeja dengan seorang mediator perang.
Helikopter menjauh. Suasana pulih seperti semula, tapi raut wajah lelaki itu tetap tak berubah, tenang dan teduh.
“Melalui Silsilah kami terus mengusahakan dialog untuk perdamaian di sini,” katanya.
Di samping kiri duduk Suster Marion F Chipeco, RGS. Di sampingku Mary Josephine dan Mohammad. Mohammad tak bicara. Entah tegang, entah karena tak faham yang dikatakan lelaki Italia itu.
Orang-orang memanggilnya Father Sebastiano D’Ambra. Seorang Pastor dari ordo PIME. Umurnya lebih dari separuh abad. Kisah hidupnya berliku-liku dan cendrung berbahaya. Persis seperti novel. Ia pernah Mendaki bukit, menuruni ngarai dan lembah ketika menjadi mediator antara pihak pemerintah Philipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) beberapa tahun silam. Ia diincar pembunuh dan lari dalam pengasingan. Ia pernah berjalan sepanjang malam dalam lebat hujan di hutan belantara.
“I Say that it was my longest shower, it lasted 15 hours,” katanya dalam sebuah wawancara dengan wartawan World Mission, The Asian Catholic Monthly Magazine, Pebruari silam. Memperingati HUT Silsilah yang ke 25, majalah itu menerbitkan laporan utama sepanjang 16 halaman tentang perjuangan D’Ambra dan Silsilah.
Walau dipengaruhi dialeg Italia, bahasa Inggeris Sebastiano mudah aku fahami. Apalagi ia bicara pelan-pelan saja. Mungkin dia tahu bahasa Inggerisku buruk. Tapi wawancara informal begini sangat membantuku memahami kisahnya.
Silsilah adalah lembaga yang ia dirikannya tahun 1984 lalu di kota Zamboanga. Mereka menyebutnya Silsilah Dialog Movement. Semboyannya Spirit Dialog with God, oneself, others and creations. Mula-mula disimbolkan dengan cincin berantai, lalu tiga orang saling menggandeng dengan garis kepala berbeda. Simbol itu distilir, mirip rangkaian garis-garis yang membentuk kepala dan separuh badan manusia. Lembaga ini telah berjasa menginisiasi rekonsiliasi antara umat beragama, khususnya Katolik dan Islam di Mindanao, Philippina.
Sebastiano datang ke Philipina, 1977. Ia sempat shock karena statistik menyebutkan tak kurang dari 100 ribu orang telah terbunuh di sana selama konflik. Karena itu ia berusaha keras menginisiasi perdamaian. Tak ada perjuangan yang tak menelan korban. Tahun 1992 Pastor Salvatore Carzeda, rekannya sesama misionaris roboh mandi darah di jalan San Jose Road, Zamboanga. Beberapa butir peluru menembus tubuh pastor malang itu. Karena terancam, D’Ambra kabur ke luar Philipina, tapi ia kembali lagi setelah itu. Hatinya sangat sedih menyaksikan gereja-gereja, masjid-masjid dan rumah penduduk dibakar begitu saja. Mendengar senapan menyalak di malam buta.
Helikopter melintas lagi. Kali ini suaranya terdengar dekat sekali.
Aku melirik Mohammad yang sibuk menarik pisang masak hijau di meja.
“Kami baru saja merayakan ulang tahun Silsilah yang ke 25,” lanjut Sebastiano.
Aku mengelap keringat. Fikiranku sukar mengingat semuanya. Tapi potongan-potongan percakapan dengan Pastor Yohanes Rubini, Op, di Pontianak beberapa waktu lalu kembali menganga. Robini berkali-kali mengingatkan agar aku dan Mohammad berhati-hati di Zamboanga. Zamboanga adalah bagian dari kepulauam Mindanao yang sampai sekarang masih sering terjadi konflik, penculikan dan pembunuhan oleh para sparatis bersenjata. Dari luar Philipina, orang-orang cuma mengenal mereka sebagai pengikut Abu Sayyap. Kampung tempat kami sekarang mengelilingi meja makan ini, cuma berjarak sepeminum teh saja dari Basilan, pulau garis depan tempat peluru sering berdesing dari arah rimba.
“Kamu bisa melihat asapnya dari Zamboanga, saat tentara menjatuhkan bom di sana,” kata Robini suatu hari. Ah, pantaslah tiap hari helikopter tentara bolak-balik ke sana.
Sebastiano mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dialog dan perdamaian. Khususnya bagi kelompok Kristen dan Islam di Philipina. Sekarang ia dibantu oleh banyak kalangan, termasuk Kristen maupun Islam dan para koleganya.
Hari itu dua lelaki dari suku yang pernah berkelahi di Borneo duduk semeja dengan Sebastiano, menyantap nasi, ikan, sayuran dengan minyak olip, pisang dan buah mangga.


DIALOGBagi Pastor Sebastiano D’Ambra, PIME, pendiri Silsilah, dialog bukan pekerjaan tetapi merupakan pengalaman spiritual dan lifestyle, suatu upaya mengejewantahkan damai dan kasih Tuhan kepada umat manusia. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more