Mother Earth dari Zamboaga

By: A. Alexander Mering

Di luar sana Pulau Borneo adalah legenda. Ketika aku mengenalkan diri berasal dari pulau ini, seorang wanita ubanan bersemir coklat menyala buru-buru menghampiri.
“Anda dari Malaysia?”
“Bukan, saya dari Kalimantan Barat, di Borneo juga.”
Dia mengangguk-angguk. Aku menjabat tangannya. Dalam sekejab kami langsung akrab. Saat makan siang dia bercerita tentang mimpinya tentang pulau Borneo. Menurutnya Borneo adalah sesuatu yang sangat menggoda, karena dikenal dengan flora maupun fauna yang endemik.
“Borneo adalah firdaus, dan sangat kaya.”
Wanita ini pasti terlalu banyak membaca buku. Dia tidak tahu kalau pulau ini sedang dihancurkan. Hutannya hampir ludes, ditukar dengan hamparan kelapa sawit dari ujung ke ujung. Siamang dan orangutan dan semua yang ia bayangkan tadi cuma tinggal potret di kalender Dinas Pariwisata.
Aku batuk-batuk kecil. Aroma bunga akasia yang dibawa angin dari laut membuat dadaku sesak, sedih sekaligus gembira. Sedih karena di luar sana, pulau Borneo lebih indah cerita dari pada rupa.
Vanessa, guide saya menjelaskan nenek ini adalah seorang dedengkot pertanian di Silsilah. Dia adalah salah seorang pakar biodynamic agriculture yang dimiliki Philipina. Namanya Mary Josephine. Di Zamboanga ia dijuluki Mather Earth, karena kecintaannya pada tanaman dan lingkungan. Tapi panggilan akrabnya Ate Jojo. Dalam bahasa Tagalog, Ate artinya kakak. Beberapa hari lalu, seluruh staff dan peserta intensive program Silsilah merayakan ulang tahunnya yang ke-51 tahun. Aku Cuma bisa menghadiahkan puisi berjudul Once Upon a Time in Zamboanga. Jojo senang luar biasa. Copy puisi itu kuserahkan pagi-pagi sebelum ia berangkat kerja.
“Saya akan menterjemahkannya dalam bahasa lokal di sini”.
Jojo menenteng puisi itu ke Balunok, kampung dampingan Silsilah. Disana Silsilah membangun sebuah sekolah pertanian yang disebut Escuela del Siembradores, artinya adalah sekolah pertanian. Sekolah ini didirikan untuk mengajari petani setempat menghasilkan produk pertanian organik, tanpa bahan kimia dan pestisida, sekaligus laboratorium Jojo. Sekarang lebih dari 200 petani bergabung dan bekerja sama lembaga itu.
“Kami meyakinkan petani, mulai dari sekolah ini,” kata wakil president of Silsilah Bayanihan Siembradores, Alberto Samson ketika aku mengunjunginya pekan lalu. Kawasan itu berada di atas bukit, dikelilingi ribuan pohon kelapa dan bongkahan batu alam. Mereka menam semua jenis tanaman lokal, termasuk apotik hidup dan Strawberry.
Para petani diajari mengolah produksi pertanian mereka, menjadi bernilai ekonomi tinggi. Mulai dari membuat sabun, obat, herbal, hingga gula-gula.
Suatu pagi kami ngoborol di pendopo dekat pembibitan beberapa tanaman, tak jauh dari bangunan utama Silsilah. Beberapa burung murai melintas di atas kepala.
“Misi utama kami adalah food security”.
Jojo benar. National Geographic edisi Juni 2009 menulis bahwa panen tertinggi sekali pun tidak cukup memenuhi kebutuhan 90 juta rakyat Philipina. Apalagi Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 238 juta jiwa? Aku teringat lagi essay on the Principle of Population yang ditulis Malthus pada 1798. Malthus bilang “Pertumbuhan populasi jauh lebih besar dari kemampuan Bumi menghasilkan makanan dari manusia”.
Tidak seperti para expert lainnya, kantor Jojo sangat sederhana. Tak lebih dari 4 x 6 meter di samping bangunan utama, gedung Oasis Harmony Village, markas Silsilah. Di dindingnya penuh dengan jadwal kegiatan, kalender penaman yang berdasarkan putaran bulan dan planet seperti yang terdapat di Kimberton Hill, Biodynamic Agriculture Calendar. Seperangkat komputer, puluhan file penelitian dan buku-buku tentang pertanian. Dua meja besar penuh dengan keranjang kertas kerja, dan koleksi Jojo. Ada jamur hutan, batu gunung dan kecubung. Tirai jendelanya terbuat dari jalinan cincin rotan menjutai.
Tiang dekat pintu keluar, ditempeli puisi berjudul Footprint yang dilaminanting dan dibingkai.
Kakeknya memang seorang petani di Kagayan Vali, Luzon, yaitu bagian utara Philipina. Tapi ayahnya seorang dosen di Santo Paul University di Kagayan. Karena itu Jojo bisa mengenyam pendidikan tinggi, dan memulai minatnya dengan belajar agriculture business, farm management and agriculture economic di universitas of Philippines. Lantas ia kemudian lebih tertarik pada Biodynamic and sustainable agriculture. Tak puas cuma belajar di Philipina, ia melanjutkan pendidikannya di New Zealand dan Australia.
Dia adalah pekerja NGO tulen, bahkan memutuskan tidak menikah dan bergabung dengan Misionaris in Tioang, Quiezon Provincie. Disanalah dia berkenalan dengan Suster Marion F. Chipeco, RGS yang kemudian memboyongnya ke Silsilah.
Pastor Sebastiano D’Ambera, PIME melihat kemampuan Jojo, dan memberikan fasilitas untuk mengembangkan keahliannya. Bahkan seluruh lahan Harmony Village seluas 14 hektar juga menjadi laboratoriumnya sekarang.
“Saya bergabung dengan Silsilah, karena mereka memiliki konsep harmoni,” katanya. Harmoni juga berarti keharmonisan dengan alam.
Jojo kini tengah meneliti hubungan pertanian dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Karena menurutnya kecenderungan orang sekarang cuma terpaku pada material science tanpa melihat aspek spiritual science.

SIEMBRADORES
Jojo membantu para petani belajar dan mempraktikan pengetahuannya. Saat kunjungan ke kawasan pertanian Escuela del Siembradores, aku dan Mohammad menyempatkan diri berfoto bersama Jojo dan wakil presiden Silsilah Bayanihan Siembradores di Baluno, Alberto. FOTO Bong/Borneo Tribune.
Next Post Previous Post