Bertemu ‘Dayak’ Philipina

Oleh: A. Alexander Mering

Dia mengangkat tangan tinggi-tinggi. Suaranya seperti serangga membolongi tiang. Irama mantra yang sukar diikuti pendengaran. Kadang seperti mengerang, kadang bergumam setengah menyanyi. Tak ada yang benar-benar faham apa yang diucapkan, bahkan orang-orang dalam ruangan, tempat kami berkumpul.
“Itu bahasa Subanon,” bisik Elmer Lakandula Palahang, sorang dosen sejarah di Mindanao State University-Main, Marawi City. Sebuah kota yang berjarak 10 jam perjalanan naik bus dari kota Zamboanga. Dia teman sekelas saya di intensive Program di Silsilah.
Pantas saja banyak yang bengong. Karena umumnya masyarakat Zamboanga menggunakan bahasa Cabacano.
Klik. Klik. Klik! Aku membidik 3 kali, snapshot, tapi kurang fokus. Aku membidik sekali lagi. Kali ini close up. Nah, sangat dekat. Eh, tiba-tiba seorang photographer menyenggolku. Hampir saja telentang di lantai batu, untung sempat berpaut di kaki bangku. Bau keringat menghambur ke udara ditiup kipas angin.
Aku menyelip di antara ketiak para penonton. Lelaki itu memutar-mutar beberapa helai daun di kepala Jemes Malicay. James adalah relawan pertunjukan hari ini, dia salah seorang staff Silsilah.
Meski bukan yang terbesar, kata Elmir, populasi Suku Subanon jumlahnya cukup banyak di Philipina. Subanon artinya orang sungai. Mereka dianggap penduduk asli beberapa pulau di Philipina, seperti suku Dayak di Pulau Borneo.
“Beberapa teori mengatakan suku ini dulu bermigrasi dari Pulau Borneo”.
Hmm, jika melihat namanya, suku ini kemungkinan besar adalah perantau. Karena nenak moyangnya sudah mengenal teknologi perahu.
Seekor ayam tiba-tiba dibawa masuk ruangan. Dia meronta-ronta dalam ikatan tali. Pembaca mantra menghunus pisau, siap menggorok. Para penonton tercekat. Aku mundur beberapa tindak, mencari sudut terbaik untuk membidik. Lagi-lagi kesenggol photographer tengik.
“Karena ini hanya contoh, ayamnya tidak dipotong,” kata Timuay dalam bahasa Cabacano. Tapi jambul ayam sudah sempat dikerat sedikit, darahnya tak seberapa.
“Syukurlah”. Aku merasa lega, tapi ayam menciap-ciap lemah. James cuma cengengesan, air campur darah menetes di kepala dan telapak tangannya. Lelaki itu menyeringai puas.
Ia membabtis James, dengan air dan darah ayam. Nah James sekarang memiliki nama suku itu. Sayangnya aku lupa nama James yang baru itu. Ohya sebelumnya, dia juga mempraktikan bagaimana menikah adat ala Subanon. Relawannya Mohammad temanku dari Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) dan Jamilah. Jamilah adalah teman Elmir. Mereka bekerja pada Universitas yang sama di Merawi. Mohammad dan Jamilah tukaran cincin, dan saling menyuapi nasi dan telur ayam.
Aku terpesona. Beberapa suku di Borneo juga mempunyai ritus serupa, terutama orang Dayak. Alat peraga adatnya pun mirif. Misalnya daun sabang (Cordyline fruticosa) atau rinyuakng merah untuk acara adat. Malah dia menambahkan ikatan kucai (Allium tuberosum) dan selembar daun lain yang tak kukenal.
Lelaki itu bernama Timuay Bakil Gumandao. Salah seorang tetua adat Suku Subanon. Agak sukar mengingatnya, untung panitia mencatatnya di secarik kertas.
Timuay beraksi lagi tak peduli penonton. Ia tampak ahli. Aku teringat tukang nyangahatn di kalangan Dayak Kanayatn. Bahkan kain penutup kepalanya pun mirif, hanya motif dan warna warni saja yang bebeda.
Aku penasaran. Usai pertunjukan, ditemani seorang penterjemah aku menguntit Timuay pulang ke Kampung Limpapa. Jaraknya 40 kilometer dari kota Zamboanga. Limuay dan keluarganya tinggal di sebuah pantai laut yang bagus, di kaki bukit Paksuluan. Tapi banyak bukit di sekitar situ, termasuk Kamarangan. Lingayun, lipunuk, baga busai, dan lain sebagainya.
Agak sulit untuk mewawancarainya, karena Timuay tak bisa berbahasa Inggeris. Sedangkan aku tak mengerti bahasa Subanon dan Cabacano. Penterjemahku cuma faham Cabacano.
“Sekitar 1000 orang tinggal di bukit,” kata Timuay. Mereka hidup berdasarkan adat istiadat yang diturunkan nenek moyang. Melakukan upacara sepanjang hidupnya untuk menghormati sang khalik, alam dan roh-roh penjaga jagad raya seperti tradisi masyarakat Dayak. Jika Dayak Kanayatn menyebutnya Jubata, mereka menyebutnya Diwata, sementara roh-roh lain disebut apu-apu. Ketika aku memperdengarkan sebuah mantra penjinak lebah Dayak Kantuk Kapuas Hulu lewat HP, dia mencondongkan telinga dekat-dekat.
Karena Subanon juga memiliki mantra menjinakkan lebah, ketika akan mengambil madu. Mulai dari peraga adat, alat musik, gerak-gerik dan beberapa bahasa yang dipakai hampir mirip. Aku makin penasaran, mencoba mengorek beberapa mythology dan cerita lisan, dia bilang memerlukan waktu untuk menceritakannya. Selain itu juga harus memenuhi aturan-aturan tertentu secara adat.
Andai saja aku punya waktu cukup, niscaya aku akan semakin banyak yang aku ketahui tentang suku ini.
Aku pulang ke penginapan dengan perasaan tak karuan. Rasa penasaran yang tak terjawab lunas. Waktu terlalu pendek untuk sebuah keingintahuan, ternyata. Malamnya aku mencari Elmer lagi, dia bilang Suku ini dulunya terpecah menjadi dua. Yang tetap mempertahankan adat istiadat nenek moyangnya disebut Gumabon Gabon, kelompok yang menganut Islam disebut Kalibugan, Moro groups.
Mungkinkah mereka dan nenek moyangku dulu, sama-sama berasal dari suatu waktu, suatu tempat yang entah kapan dan dimana.

MEMBABTIS
Timuay memperagakan ritual pembatisan kepada James, salah seorang staff Silsilah yang menjadi relawan. Meski di Zamboanga berkembang pesat agama Kristen maupun Islam, tetapi adat istiadat mereka tetap dipegang, bahkan mirip dengan kebudayaan Dayang di pulau Borneo. FOTO A. Alexander Mering
Next Post Previous Post