Oleh: A. Alexander Mering
Sore itu Vanessa V Andico pergi ke toko. Dia membeli sesuatu. Aku membeli beberapa botol minuman dan biskuit untuk Mohammad. Dia sering mengeluh lapar jika tengah malam. Setelah membayar kami berpisah di mulut labirin yang memisahkan bangunan utama dengan asrama.
Vanessa masih muda dan dan gadis yang ramah. Dia adalah salah satu member Silsilah Dialoge Movement. Sebelumya pernah mengikuti basic course, karena itu berhak mengikuti intensive program bersama kami.
Orangnya selalu tampil tenang dan menunjukan minat pada banyak hal. Di hari pertama di Zamboanga, Vanessa mendapat tugas dari Silsilah menjadi guide-ku ke camp site di atas bukit, tempat mereka menggelar Youth Camp musim panas.
Malam penutupan intensive course di Silsilah, Vannesa memberiku kalung salip kecil dari kayu. Aku sangat senang tentu saja.
“Oh, rupanya ini yang engkau beli kemarin?”
“Ya, ini adalah sebuah tradisi di Silsilah, saling memberikan hadiah”.
Wah gawat! Aku lantas izin sekejab. Secepat kilat berlari ke kamar mencoba temukan sesuatu untuk dihadiahkan, karena aku benar-benar tak siap dan tak mengira ada acara begini. Mereka menyebutnya peace buddy.
Sebelumnya nama-nama kami dikocok di sebuah tabung lantas diundi oleh panitia. Nah, nama yang tertera di kertas undian itulah yang akan menjadi peace buddy resmi tiap peserta kelak. Peace buddy-ku sendiri bukan Vanessa, tetapi Abubacar A. Ali. Dia orang Bangon, Marawi City, sebuah kota yang berjarak 10 jam naik bus dari kota Zamboanga. Aku menghadiakan shebo kesayanganku yang pernah kubawa ke liling Borneo. Aku tidak punya apa-apa selain itu untuk dihadiahkan.
“Harap Anda menjaganya dengan baik,” kataku pada Abubacar. Kami berpelukan, dan foto-foto. Abu memberikan hadiah lain pada peace buddy-nya, dan seterusnya dan seterusnya. Sehingga setiap orang dalam satu ruangan yang terdiri dari berbagai suku bangsa itu mendapat giliran menerima dan memberi. Semua orang saling memeluk, dan berjanji saling mengenang.
Ada insiden lucu malam itu. Joel T Alegado memberikan hadiah kepada peace buddy-nya, Mohammad. Bingkisannya istimewa, itu bisa dilihat dari bungkusnya. Joel adalah ibu muda berpenampilan lembut. Dia memberikan bingkisan itu sambil mencurahkan seluruh perasaannya pada Mohammad. Karena itu dia berpidato panjang untuk itu. Setelah sekitar 10 menit. Setelah usai lantas dia bertanya pada Mohammad.
“By the way. Do you understand what I am talking about?”
“No…,”
“What…? Oh my God..!”
Wajah Joel bersemu merah. Salah tingkah juga bercampur geram. Padahal dia sudah berpidato dengan sangat indah. Tak pelak, ruangan kelas pun seperti akan pecah oleh tawa peserta.
Begitulah cara Silsilah menanamkan rasa persaudaraan antara kepercayaan dan etnik yang berbeda di Zamboanga. Di luar acara seremoni kelas kami masih tukar-menukar hadiah. Aku mendapat banyak sekali hadiah, souvenir, barang-barang kecil, baju kaos. Seorang suster bahkan menghadiahkan saputangannya untukku membungkus lensa kamera.
Meski banyak cerita buruk tentang Philipina dan warganya di luar sana, tetapi aku seakan bertemu saudara sendiri di Manila dan Zamboanga. Hanya kebiasaan mereka makan cuka dan bahasa saja yang berbeda, tetapi adat budaya, tidaklah terlalu jauh meleset.
Di Manila, peace buddy-ku bertambah lagi. Dua hari menjelang kepulangan ke tanah air, pastor-pastor dari beberapa gereja di kota itu mengundang aku dan Mohammad makan siang.
Akibatnya, setiap siang aku dan Mohammad menghilang. Kepada Raul Ortega aku minta maaf tak dapat menemaninya makan bersama keluarganya di siang hari karena memenuhi undangan tersebut. Raul Ortega adalah pemilik rumah tempat kami menginap selama di Manila.
“Wah Mering, kita makan dari gereja ke gereja ni,” kata Mohammad.
“Begitulah jika kita memiliki banyak peace buddy?”
Akibatnya, hampir sebagian besar kota Manila kami kelilingi. Bahkan undangan salah seorang calon pastor di Ateneo de Manila University terpaksa tak terpenuhi. Karena sudah harus pulang ke Indonesia.
Satu hal yang tak terelakan dari kebaikan, yaitu kebaikan berikutnya yang berantai dan menjadi sebuah energy besar di dunia ini meski pun mungkin sedikit sekali yang mengingatnya. (publish in Borneo Tribune, 5 Juni 2009)
PEACE BUDDY
Sebuah tradisi Silsilah adalah peace buddy, yaitu tukar menukar hadiah antara sesama peserta, sebagai kenang-kenangan setelah mereka pulang ke Negara atau kampung masing-masing kelak. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune
Sore itu Vanessa V Andico pergi ke toko. Dia membeli sesuatu. Aku membeli beberapa botol minuman dan biskuit untuk Mohammad. Dia sering mengeluh lapar jika tengah malam. Setelah membayar kami berpisah di mulut labirin yang memisahkan bangunan utama dengan asrama.
Vanessa masih muda dan dan gadis yang ramah. Dia adalah salah satu member Silsilah Dialoge Movement. Sebelumya pernah mengikuti basic course, karena itu berhak mengikuti intensive program bersama kami.
Orangnya selalu tampil tenang dan menunjukan minat pada banyak hal. Di hari pertama di Zamboanga, Vanessa mendapat tugas dari Silsilah menjadi guide-ku ke camp site di atas bukit, tempat mereka menggelar Youth Camp musim panas.
Malam penutupan intensive course di Silsilah, Vannesa memberiku kalung salip kecil dari kayu. Aku sangat senang tentu saja.
“Oh, rupanya ini yang engkau beli kemarin?”
“Ya, ini adalah sebuah tradisi di Silsilah, saling memberikan hadiah”.
Wah gawat! Aku lantas izin sekejab. Secepat kilat berlari ke kamar mencoba temukan sesuatu untuk dihadiahkan, karena aku benar-benar tak siap dan tak mengira ada acara begini. Mereka menyebutnya peace buddy.
Sebelumnya nama-nama kami dikocok di sebuah tabung lantas diundi oleh panitia. Nah, nama yang tertera di kertas undian itulah yang akan menjadi peace buddy resmi tiap peserta kelak. Peace buddy-ku sendiri bukan Vanessa, tetapi Abubacar A. Ali. Dia orang Bangon, Marawi City, sebuah kota yang berjarak 10 jam naik bus dari kota Zamboanga. Aku menghadiakan shebo kesayanganku yang pernah kubawa ke liling Borneo. Aku tidak punya apa-apa selain itu untuk dihadiahkan.
“Harap Anda menjaganya dengan baik,” kataku pada Abubacar. Kami berpelukan, dan foto-foto. Abu memberikan hadiah lain pada peace buddy-nya, dan seterusnya dan seterusnya. Sehingga setiap orang dalam satu ruangan yang terdiri dari berbagai suku bangsa itu mendapat giliran menerima dan memberi. Semua orang saling memeluk, dan berjanji saling mengenang.
Ada insiden lucu malam itu. Joel T Alegado memberikan hadiah kepada peace buddy-nya, Mohammad. Bingkisannya istimewa, itu bisa dilihat dari bungkusnya. Joel adalah ibu muda berpenampilan lembut. Dia memberikan bingkisan itu sambil mencurahkan seluruh perasaannya pada Mohammad. Karena itu dia berpidato panjang untuk itu. Setelah sekitar 10 menit. Setelah usai lantas dia bertanya pada Mohammad.
“By the way. Do you understand what I am talking about?”
“No…,”
“What…? Oh my God..!”
Wajah Joel bersemu merah. Salah tingkah juga bercampur geram. Padahal dia sudah berpidato dengan sangat indah. Tak pelak, ruangan kelas pun seperti akan pecah oleh tawa peserta.
Begitulah cara Silsilah menanamkan rasa persaudaraan antara kepercayaan dan etnik yang berbeda di Zamboanga. Di luar acara seremoni kelas kami masih tukar-menukar hadiah. Aku mendapat banyak sekali hadiah, souvenir, barang-barang kecil, baju kaos. Seorang suster bahkan menghadiahkan saputangannya untukku membungkus lensa kamera.
Meski banyak cerita buruk tentang Philipina dan warganya di luar sana, tetapi aku seakan bertemu saudara sendiri di Manila dan Zamboanga. Hanya kebiasaan mereka makan cuka dan bahasa saja yang berbeda, tetapi adat budaya, tidaklah terlalu jauh meleset.
Di Manila, peace buddy-ku bertambah lagi. Dua hari menjelang kepulangan ke tanah air, pastor-pastor dari beberapa gereja di kota itu mengundang aku dan Mohammad makan siang.
Akibatnya, setiap siang aku dan Mohammad menghilang. Kepada Raul Ortega aku minta maaf tak dapat menemaninya makan bersama keluarganya di siang hari karena memenuhi undangan tersebut. Raul Ortega adalah pemilik rumah tempat kami menginap selama di Manila.
“Wah Mering, kita makan dari gereja ke gereja ni,” kata Mohammad.
“Begitulah jika kita memiliki banyak peace buddy?”
Akibatnya, hampir sebagian besar kota Manila kami kelilingi. Bahkan undangan salah seorang calon pastor di Ateneo de Manila University terpaksa tak terpenuhi. Karena sudah harus pulang ke Indonesia.
Satu hal yang tak terelakan dari kebaikan, yaitu kebaikan berikutnya yang berantai dan menjadi sebuah energy besar di dunia ini meski pun mungkin sedikit sekali yang mengingatnya. (publish in Borneo Tribune, 5 Juni 2009)
PEACE BUDDY
Sebuah tradisi Silsilah adalah peace buddy, yaitu tukar menukar hadiah antara sesama peserta, sebagai kenang-kenangan setelah mereka pulang ke Negara atau kampung masing-masing kelak. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune